Tradisi Menjelang Puasa di Sukabumi

kang-warsa

Oleh: Kang Warsa

Tulisan mengenai tradisi menjelang bulan Ramadan telah banyak dipublikasikan oleh media daring dan cetak. Hal ini memberikan pesan adanya kohesivitas antara ajaran yang ada di dalam agama dengan cara-cara (al-‘urf) yang dilakukan oleh masyarakat dalam melengkapi ajaran agar lebih membumi dan menjadi bagian dari kehidupan secara integral.

Bacaan Lainnya

Bagaimana juga, tradisi hingga budaya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat tidak hanya dimiliki oleh sekelompok orang dan penganut keyakinan tertentu saja.

Artinya, ibadah-ibadah mahdlah yang telah ditetapkan di dalam Islam memiliki kekhasan hanya boleh dilakukan oleh penganut Islam, namun warna-warni tradisi yang mengikuti ibadah ritual sama sekali tidak dilarang diikuti dan dikerjakan oleh siapapun, tanpa pengecualian.

 Atas alasan itu, jika kita mengkaji sejarah perkembangan agama-agama di Nusantara beberapa abad lalu, misalnya penyebaran Islam di wilayah ini tidak terlepas dari sikap akomodatif para penyebar Islam terhadap tradisi yang telah menjadi soko guru kehidupan masyarakat.

Memang menjadi satu keniscayaan, antara praktik ibadah atau ritual mahdlah, hubungan langsung manusia dengan Tuhan selalu diiringi oleh praktik muammalah, hubungan manusia dengan sesamanya.

Maka, pengamalan tradisi-tradisi sebagai bentuk komplementaritas dengan praktik ritual keagamaan diperbolehkan selama tidak merusak, menambah, dan mengurangi takaran dalam ibadah mahdlah tersebut.

Misalnya, seorang muslim diwajibkan shalat, tidak menutup kemungkinan selama dalam praktik shalat menggunakan pakaian dengan beragam varian dan bentuk, tentu saja harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan; menutup aurat dan bersih.

Akhir-akhir ini memang banyak pihak yang mencoba memisahkan antara praktik ibadah ritual dengan tradisi hanya karena mereka memiliki pandangan tidak utuh seperti menduga-duga bahwa tradisi-tradisi ini telah menjadi bagian dari ritual.

Kelompok ini acapkali mengeklaim: “Hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah!” kemudian mengkategorikan tradisi sebagai papaes dalam bingkai bid’ah. Padahal sudah jelas, secara terminologi, bid’ah memiliki arti menambah atau mengurangi praktik ibadah mahdlah.

Sangat sederhana memahami perbuatan bid’ah, sebagai contoh: jumlah rakaat shalat subuh yaitu 2 (dua) rakaat, akan dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah jika dengan sengaja jumlah rakaat ditambah menjadi 3 (tiga) atau dikurangi menjadi 1 (satu).

Akan menjadi aneh jika sebuah kelompok menuding kepada orang yang berusaha memeriahkan (mengekspresikan) rasa suka cita dalam menghadapi bulan Ramadan sebagai pelaku bid’ah. Saya berpikir, sangat tidak mungkin Allah memasukkan seseorang ke dalam neraka hanya karena dia mengikuti pawai obor menjelang bulan puasa.

Beberapa alinea di atas perlu saya kemukakan agar kita memahami bahwa praktik ibadah dengan kehidupan keseharian dalam bingkai muammalah sulit dipisahkan. Tradisi menjadi bagian penting dalam kehidupan karena dengannya agama akan lebih mudah didakwahkan kepada semua golongan.

Kenyataan ini menjadi andalan para penyebar Islam dengan menggandeng tradisi menjadi media penyampaian pesan-pesan ilahi yang melangit menjadi pesan yang lebih mudah dicerna oleh masyarakat yang tinggal di bumi. Tanpa strategi seperti ini, Islam akan sulit diterima di masyarakat Nusantara beberapa abad lalu.

Pada masa formatif atau pembentukan Islam di Nusantara, sebelum penyebaran Islam dilakukan melalui pendekatan tradisi, ajaran Islam baru diterima oleh sebagian kecil masyarakat Nusantara selama delapan abad (800 tahun) lamanya.

Dan setelah strategi dakwah para wali melalui pendekatan tradisi, mereka hanya memerlukan waktu sepuluh tahun saja dalam memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat hingga terbentuk komunitas muslim dalam skala besar.

Tradisi Menjelang Puasa dan Algoritma Sosial

Tradisi menjelang puasa merupakan kebaruan yang dibuat oleh masyarakat. Merujuk pada asal kata tradisi (tradere) berarti persembahan dan pemberian yang diperlihatkan secara luas, hal  ini menunjukkan keinginan kuat masyarakat untuk memperlihatkan rasa suka cita mereka terhadap kedatangan bulan puasa.

Ungkapan lain yang sedang trending selama beberapa tahun terakhir ini yaitu algoritma. Secara sederhana, tradisi dihasilkan dari algoritma sosial, kesadaran masyarakat dalam menata kehidupan sebagai aplikasi atau penerapan rumus-rumus yang telah diberikan oleh alam dalam kehidupan, seperti; harmonis, kesetaraan antara jagat besar dengan jagat kecil.

Maka perhatikanlah, tradisi-tradisi menjelang puasa yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari elemen dasar hubungan manusia dengan alam ini.

Nisfu Sya’ban telah menjadi tradisi paling populer di Sukabumi. Tradisi ini diisi oleh kegiatan berkumpul di masjid, membaca hadiah, dan mengaji surat Yasin. Sesuai artinya, Nisfu berarti pertengahan, pelaksanaannya bertepatan dengan tanggal 14 atau 15 bulan Sya’ban.

Umat Islam meyakini buku catatan amal setiap individu diserahkan oleh malaikat kepada Allah SWT pada tanggal 15 Sya’ban. Masyarakat juga telah biasa membawa air bening yang disimpan pada botol, ketel, atau keler, ditempatpat di tengah-tengah masjid.

Di dunia tradisional, keyakinan penuh terhadap keberkahan air  yang telah diisi oleh bacaan ayat-ayat suci masih begitu kuat. Keberkahan air ini dapat memiliki banyak khasiat saat diminum atau dibasuhkan pada wajah.

Tradisi semacam ini dipandang berbau klenik atau khurafat oleh beberapa pihak. Walakin penelitian beberapa tahun terakhir telah menemukan, partikel air akan lebih aktif saat dibacakan kalimat-kalimat yang baik.

Tidak mengherankan sejak jaman dahulu masyarakat tradisional telah memiliki cara penyembuhan setiap penyakit dengan meminum air yang telah dijampi oleh ajengan atau tokoh yang dianggap memiliki ilmu.

Hubungan antara kehidupan manusia dengan alam tampak dari tradisi meminum air berkah. Membaca kalimat kebaikan seperti ayat suci Al-Quran terhadap air berarti manusia sedang melakukan komunikasi kepada air dengan menempatkannya pada posisi yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri.

Dilihat dari ilmu sosial, Nisfu Sya’ban telah menjadi bagian dari pranata sosial di bidang keagamaan kemudian membentuk tindakan sosial dan menjadi ciri utama masyarakat gammeinschaft atau paguyuban.

Struktur masyarakat Sukabumi sekalipun mereka yang tinggal di wilayah urban perkotaan masih kuat dipengaruhi oleh budaya paguyuban daripada lawannya, budaya patembayan. Tidak hanya di perdesaan, Nisfu Sya’ban juga masih dilakukan oleh masyarakat urban perkotaan Sukabumi.

Nisfu Sya’ban juga telah menjadi lem perekat ikatan antar anggota masyarakat. Berkumpul di mesjid, silaturahmi antar generasi dari mulai anak-anak sampai lansia, mengekspresikan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia umur.

Tidak sampai disana, optimisme tercipta dalam pelaksanaan Nisfu Sya’ban, masyarakat memiliki harapan mereka dapat sampai di bulan Ramadan.

Dalam benak anggota masyarakat telah lahir satu tekad: mereka akan memperbaiki diri di bulan Ramadan tahun ini. Islam sangat menganjurkan agar umat memiliki sikap optimis (raja) dalam kehidupan.

Hubungan erat atau paguyuban tidak sekadar diperlihatkan oleh masyarakat kepada orang-orang yang masih hidup dalam wujud silaturahmi, kepada orang-orang yang telah meninggal dunia pun menjaga hubungan baik dengan mereka tetap dilakukan melalui ziarah ke kuburan.

Masyarakat memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap salah satu hadits: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga hal: sodaqoh, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh.”

Ziarah kubur merupakan bagian refleksi ciri anak saleh seperti yang diungkapkan dalam hadits ini. Oleh karena itu, beberapa hari menjelang bulan puasa, areal pemakaman sudah tentu dipenuhi oleh para peziarah, menabur bunga, membaca hadiah diiringi doa.

Tradisi ziarah kubur menjelang bulan puasa menjadi bukti ikatan yang kuat antara manusia yang masih hidup dengan mereka yang telah meninggal. Menjadi bukti bahwa norma etika yang dipegang teguh masyarakat bukan sekadar harus dipraktikkan kepada orang-orang yang masih hidup, sikap hormat dan santun juga harus ditunjukkan kepada leluhur yang telah meninggal.

Pihak yang melarang tradisi ini harus dimaklumi karena secara kasat mata mereka memang sulit mengakomodir tradisi-tradisi lokal. Kelompok seperti ini lebih memilih mengadopsi budaya dan tradisi bangsa lain mulai dari cara berbicara, berpakaian, dan melakukan tindakan sosial lainnya, lantas menelantarkan budaya dan tradisi leluhur sendiri.

Seminggu sampai satu hari menjelang puasa, pasar tradisional, pasar modern, dan pusat perbelanjaan  dipenuhi oleh pengunjung. Munggahan merupakan tradisi khusus yang telah lama berkembang di masyarakat. Diambil dari kata unggah artinya pindah posisi ke tempat yang lebih tinggi, masyarakat memiliki harapan diri mereka akan menempati posisi tertinggi dalam hal spiritual di bulan puasa nanti. Posisi tertinggi ini dapat menjadi alasan kenapa bulan Ramadan mendapatkan sebutan bulan peleburan dosa. Era internet telah mengadopsi kata unggah sebagai padanan kata untuk upload.

Tradisi munggahan menjadi fase transisi dan pembiasaan diri masyarakat Islam menjelang puasa. Hal paling kentara dalam tradisi ini yaitu masyarakat menyiapkan penganan atau makanan yang akan dijadikan menu santapan saat sahur. Aktivitas pasar menjadi lebih meriah, berdampak pada peninggkatan ekonomi masyarakat. Tidak sedikit orang memiliki anggapan sikap masyarakat seperti ini terkesan memaksakan diri, padahal tidak demikian. Masyarakat tidak merasa terpaksa apalagi memaksakan diri, karena setiap apapun yang mereka lakukan pada akhirnya menjadi tanggung jawab mereka juga. Itu merupakan wujud kecintaan mereka akan kedatangan bulan Ramadan.

Puncak tertinggi tradisi menjelang puasa yaitu penyucian diri melalui kuramas. Masyarakat diharuskan mandi, membersihkan diri, menghilangkan kotoran  tiga sampai sehari sebelum menunaikan puasa. Ramadan adalah bulan suci harus disambut dengan kondisi lahir dan batin yang bersih. Tradisi kuramas telah berlangsung di masyarakat Sukabumi –mungkin sejak Islam menyebar di wilayah ini- dan tetap dilestarikan sampai sekarang.

Melestarikan tradisi-tradisi masyarakat menjadi tanggung jawab generasi sekarang agar kita tidak mengalami kebuntuan dalam menelusuri apa yang telah diciptakan oleh generasi sebelumnya, para pendahulu. Dalam bingkai muammalah dan hubungan sosial, al-urf atau tradisi dan kebiasaan masyarakat pada saatnya nanti dapat menjadi rujukan dan referensi penentuan hukum dalam keagamaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *