Menyalahkan Drosophila Melanogaster

Oleh: Kang Warsa

Konon, Nimrod (Namrudz) seorang raja angkuh dari Mesopotamia yang hidup sejaman dengan Nabi Ibrahim itu meninggal tidak disebabkan oleh hal besar. Memang begitulah, kejatuhan orang-orang angkuh selalu disebabkan oleh hal kecil, dalam Bahasa Sunda ada pribahasa: kabeureuyan mah tara ku tulang munding, tapi ku cucuk peda.

Bacaan Lainnya

Nimrod mengalami sakit keras, hidung membengkak, seekor Drosophila Melanogaster memasuki lubang hidungnya. Tidak kuat menahan sakit akibat infeksi, hidung membengkak, Nimrod frustrasi, lantas memukul sendiri hidungnya dengan sebuah kapak besar. Bisa jadi cerita tersebut -Nimrod memukul hidungnya- terlalu dibesar-besarkan.

Saat masih kecil dan menginjak dewasa, Nimrod tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi seorang raja besar dengan prestasi dan capaiannya seperti membangun menara Babel.

Ia hanya seorang penjelajah dan pemburu. Ketangkasan gerak dan sikap cekatan dalam dirinya diakui oleh orang-orang di sekelilingnya, ia diangkat sebagai pemimpinan mereka, lambat laun pengakuan atas prestasi dan kehebatannya menempatkan dirinya pada tangga tertinggi kekuasaan, raja Mesopotamia tepatnya menjadi penguasa Babilonia.

Kisah-kisah dalam perjanjian lama dan al-Quran rata-rata selalu mengupas penguasa dan umat-umat jaman dulu tampak sering lupa daratan. Nimrod mengalami satu fase dalam kehidupannya, satu pengakuan secara otoriter bahwa dirinya merupakan seorang raja maha serba bisa, ia mengindetikkan dirinya dengan Tuhan.

Bukan sekadar Nabu dan Marduk. Dewa-dewa yang saling terikat secara kekeluargaan itu hanya simbolisasi keyakinan yang dianut oleh masyarakat saja, sementara itu Tuhan benar-benar telah terinkarnasi dalam diri Nimrod.

Begitulah pemberitaan di dalam kitab-kitab suci menyebutkan, Nimrod tidak pernah melihat ke masa lalu jika dirinya pernah menjadi manusia kecil, rendahan, kelas pemburu. Prestasi-prestasi yang telah diraihnya justru telah meningkatkan super ego dan merendahkan serta menganggap sepele setiap persoalan.

Dalam sebuah percakapan antara dirinya dengan Ibrahim, Nimrod mengemukakan logika-logika fantastis. Jika Tuhan Ibrahim dapat membunuh dan menghidupkan seseorang, tidak berbeda dengan Nimrod, dia membunuh seorang budak dan memerdekan budak lainnya. “ Aku dapat membunuh dan menghidupkan manusia, tidak berbeda dengan Tuhanmu, Ibrahim!”

Bagi Nimrod, kematian merupakan sebuah permainan saja. Gen seorang pemburu dalam dirinya mengalir sangat deras. Hidup adalah upaya manusia dalam menguasai segala hal yang ada di sekitarnya, tanpa itu manusia akan mengalami kepunahan.

Persoalan kematian hanya masalah teknis saja. Orang mati dengan cara dibunuh disebabkan terhentinya aliran darah melalui pembuluh utama ke seluruh tubuh. Orang yang mati secara wajar disebabkan oleh terhentinya denyut jantung, bukan disebabkan oleh dicabutnya roh atau nyawa oleh Tuhan.

Ibrahim mengajukan konjungsi kausalitas yang lebih irrasional, “ Jika kamu benar-benar tuhan, maka pindahkanlah matahari dari Timur ke Barat sebagaimana Tuhanku melakukannya.” Nimrod hanya diam. Sejak saat itu, Ibrahim telah diposisikan sebagai seterunya. Seorang pembamkang yang mengaburkan inkarnasi Tuhan dalam dirinya.

Sebuah refleksi permusuhan yang tidak pernah usai antara penguasa dengan pemberontak, antara pemerintah dengan kelompok oposisi. Penguasa otoriter seperti Nimrod, seorang megalomania yang senang merendahkan masalah-masalah kecil itu tersungkur oleh seekor Drosophila Melanogaster.

Semangat dan nilai-nilai yang termaktub di dalam kitab suci ini kadang selalu dijadikan dalil penguat bagi kelompok-kelompok opisisi untuk menyerang pemerintah. Kelompok opisisi sering mengibaratkan perlawanan mereka sebagai imaji dari Ibrahim melawan Nimrod, Musa melawan Ramses II, Elia melawan Ahab, Isa melawan Herodes, dan Rasulullah melawan aristokrasi Mekah.

Para oposan mengaburkan kisah profetik dengan rasa haus mereka terhadap madu kekuasaan. Mereka melupakan, Ibrahim dan para nabi lainnya berjuang tidak atas dasar motivasi politik dan kekuasaan.

Bagaimana hebatnya peng-kamuflase-an wahyu digunakan oleh oposan untuk menyerang penguasa. Saya sempat tercenung –beberapa hari pascapilpres 2019, pengibaratan Firaun kepada penguasa dan Musa kepada kelompoknya.

Padahal Musa tidak pernah membicarakan kekuasaan. Motivasi perjuangan Musa adalah semangat pembebasan. Ia membawa umatnya keluar dari Mesir.

Beranikah anda yang selalu menggambarkan diri sebagai seorang Musa membawa keluar pendukung-pendukung anda dari Indonesia. Eksodus dari Indonesia ke Suriah satu tahun lalu saja pada akhirnya hanya berbuntut penyesalan.

Ada kabar baik yang sangat menggembirakan, kedewasaan bangsa kita dalam berpolitik sejak jaman Gus Dur sampai sekarang dapat dikatakan terus mengalami peningkatan. Pemerintah tidak lagi menggunakan cara-cara represif dalam menangani kelompok oposisi dan kelompok yang memiliki cita-cita mengubah dasar negara.

Jika saja kita tetap memandang pemerintah sebagai seorang Nimrod atau Ramses maka jangan harap mereka akan membuka ruang dialog dengan para pembangkang.

Orde Lama memandang para pembangkang sebagai kelompok kontra revolui, Orde Baru selalu memandang para pembangkang sebagai kerumunan Drosophila yang harus digebug dan dimatikan.

Era reformasi –sesuai dengan namanya- kelompok oposisi tetap disebut sebagai penyeimbang kekuasaan. Nimrod tidak pernah membuka ruang dialog kepada siapa pun, Ibrahim dibakar hidup-hidup.

Ahab tidak pernah membuka ruang diskusi kepada oposisi apa pun, Elia diburu dan dipanah.

Firaun tidak pernah mengenal kompromi kepada perongrong kekuasaan, Musa dikejar hingga Laut Merah. Herodes tidak pernah memberi peluang kepada Isa seorang Aramia.

Abu Jahal tidak pernah memandang Nabi Muhammad sebagai teman berdiskusi, Darunnadwah (Parlemen saat itu) memutuskan anak Abdullah itu harus dibunuh. Yazid tidak pernah mengajak saingan politiknya duduk satu meja, Husen dipenggal kepalanya.

Dan para Nabi serta orang-orang saleh tersebut tidak pernah menggadang-gadang dirinya sebagai penguasa tertinggi. Mereka hanya ingin membebaskan manusia dari cakar-cakar tajam penguasa yang tampak halus tetapi sangat mematikan.

Kesombongan manusia sering menempatkannya berada di tempat yang lebih rendah dan harus dipersalahkan. Anda mungkin pernah mengendarai motor tanpa menggunakan helm setelah magrib.

Di jalanan, tiba-tiba seekor drosophila memasuki mata anda, terasa perih, anda mengucek-ucek mata sambil mengeluarkan serapah: mahluk sialan, masuk ke dalam mataku!

Anda bersikap dengan memakai pikiran Nimrod dan pengusa tiran. Kawanan Drosophila Melanogaster atau “rametuk” itu tidak bersalah, mereka memang sedang bermain-main di jalan, lantas ditabrak oleh anda, masuk ke dalam mata anda. Justru, mereka lah yang seharusnya mengomel: manusia gila, menabrak kami saat sedang bermain-main.

Tetapi kita selalu mengedepankan sikap otoriter bahwa kita ini manusia, mahluk hebat, mahluk pemburu, mengerdilkan mahluk yang memang sudah kecil. Kita selalu menihilkan sikap dan begitu berat mengucapkan permohonan maaf meskipun kepada seekor Drosophila Melanogaster yang telah kita tabrak.

Sebab aku lah manusia, mahluk yang telah mampu membangun menara-menara tinggi seperti Nimrod yang telah membangun menara Babel.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *