Menulis Makalah Ilmiah Al-Quran: Etika Komunikasi di Media Sosial (Bag 2)

kang-warsa

Oleh: Kang Warsa

Jauh sebelum manusia mengenal dan memperkenalkan media sosial, peradaban-peradaban kuno telah memiliki cara dalam mempresentasikan karya, pandangan, dan pikiran mereka melalui media-media konvensional. Kehidupan manusia Nusantara di Jawa dapat kita ketahui dengan mengamati relief-relief pada candi.

Bacaan Lainnya

Dapat dikatakan, relief candi merupakan status masa lalu berisi pesan dari leluhur kepada generasi-generasi setelahnya. Dengan mengamati relief pada bagian Kamadhatu (ranah nafsu) Borobudur tersurat pesan heterogenitas kehidupan kelompok akar rumput yang kerap dihiasi oleh tindak-tanduk pelampiasan birahi. Konon, relief Kamadhatu ini disembunyikan di bagian bawah Candi Borobudur.

Menggambar, lebih tepatnya memahat pada batu,  situasi kehidupan yang dipenuhi oleh pelampiasan nafsu, untuk masyarakat kita, sekarang ini dapat dipandang hal tabu. Dapat juga dikategorikan sebagai perbuatan tidak baik karena mengandung unsur pornografi. Harus diakui, saat ini kita memang telah banyak membuat batasan-batasan, pada akhirnya pikiran kita sebagai manusia modern terjebak pada generalisasi waktu.

Kita tentu saja tidak dibenarkan menarik kesimpulan bahwa apa yang dipraktikkan oleh manusia Nusantara pada abad 8 sampai 14 masehi  memiliki nilai dan etika kehidupan yang sama dengan sekarang. Kemahiran pembuat relief Kamadhatu menampilkan adegan vulgar pada dinding terbawah Candi Borobudur merupakan refleksi kejujuran dalam menampilkan beberapa cuplikan kehidupan saat itu.

Kemungkinan lain yang dapat kita tafsirkan terhadap relief Kamadhatu pada Candi Borobudur yaitu relief pada candi bukan merupakan refleksi kehidupan realitas saat itu. Tiga tahap pada Candi Borobudur dengan ornamen-ornamennya merupakan triloka yang diserap dari Budhisme. Gambar pada Cabdi Borobudur merupakan pars prototo yang mewakili kondisi kehidupan pada setiap tingkatan. Kamadhatu ditempatkan pada bagian paling bawah candi adalah tampilan kehidupan manusia yang masih diselubungi oleh ahamkara, seni-seni yang ditampilkan kerap dipenuhi oleh taburan birani.

Tetapi kehidupan manusia tidak pernah menempati satu kondisi absolut. Pada perkembangan spiritual berikutnya, manusia dapat berpindah ke tempat yang lebih tinggi, menempati Rupadhatu, tempat perwujudan bahwa manusia adalah benar-benar manusia, mahluk berbudaya, berkesenian, dan berperadaban. Pada bagian Rupadhatu ini, sang arsitek Borobudur menampilkan relief sosial kultural yang lebih manusiawi.

Manusia Rupadhatu telah keluar dari lorong penguk birahi, mereka telah tampil dalam pentas-pentas seni, meramaikan pasar, dan membangun koordinasi dalam kehidupan. Pencapaian tertinggi spiritualitas tercipta ketika manusia telah menanggalkan dua kehidupan sebelumnya menuju alam Arupadhatu, alam nir-rupa, terbebas dari presentasi diri, buana yang telah lepas dari kebutuhan pemujaan dan pemujian.

Etika Komunikasi di Media Sosial Generasi Z

Era kejayaan kerajaan Nusantara telah menjadi salah satu babak sejarah kehidupan manusia. Generasi terus berganti, entah itu hanya dengan rupa yang berbeda atau sama sekali muncul dalam bentuk baru. Cara manusia melakukan komunikasi terus berkembang seiring penemuan ilmu komunikasi dan alat-alat komunikasi. Abad ke 8, komunikasi visual, misalnya penyampaian ajaran kebaikan, hanya mampu ditampilkan pada relief candi dan dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Para pemahat relief candi harus menjalani ritual tertentu terlebih dahulu, tidak langsung asal memahat bebatuan. Selain pada relief candi, komunikasi visual juga  telah ditulis pada buku dari daun lontar, tentu saja dengan cetakan terbatas, dikerjakan oleh para mahakawi, dan dikonsumsi oleh kalangan terbatas juga. Di Amerika dan Eropa saja, sampai abad ke 17, hanya golongan bangsawan yang dapat membaca karya-karya besar para penulis saat itu.

Makalah ilmiah karya Dini Nuraeni dari Kecamatan Citamiang telah mampu mendeskripsikan perkembangan komunikasi manusia secara runut mulai dari generasi baby boomers hingga generasi Z. Ada semacam kekhawatiran, proses komunikasi yang semestinya berjalan sesuai dengan ethos justru telah banyak keluar dari kaidah-kaidah kemanusiaan. Bagi Dini, kenyataan ini merupakan dampak negatif dari perkembangan teknologi dan informasi yang tidak diimbangi oleh seperangkat aturan yang jelas.

Lebih dari itu, disebabkan oleh tercerabutnya etika ketimuran dari diri bangsa ini. Berbeda dengan status pada prasasti dan relief candi, pada dinding-dinding media sosial, siapa saja dapat menulis kata-kata, mengunggah gambar, dan memberikan komentar dengan ungkapan paling brutal sekalipun tanpa dibatasi oleh status sosial mereka. Media sosial tanpa etika tidak jauh berbeda dengan vandalisme pada dinding-dinding di sepanjang jalan. Selain kumuh, juga kerap tumpang-tindih hingga sulit dibaca apalagi dicerna secara benar. Dini mengharapkan etika dalam bermedia sosial harus ditanamkan di dalam diri generasi Z sebagai anak-anak yang kerap bercengkerama dengan dunia digital.

Etika Komunikasi di Media Sosial Menurut Al-Qur’an dan Sunnah

Seminggu lalu, warga diresahkan oleh penyebaran informasi bohong tentang aksi berandal motor di sejumlah tempat di Sukabumi. Meskipun keberadaan berandal motor ini memang telah menjadi momok, namun penyebaran informasi bohong begitu masif tentang aksi kekerasan dan kebrutalan berandal motor melalui media obrolan daring kemudian disebarluaskan secara berantai merupakan sebuah kejahatan informasi yang telah mengintimidasi warga. Aparat kepolisian telah mengamankan pembuat informasi bohong tersebut.

Dari satu kasus di atas tampak begitu hebat pengaruh informasi bohong, mampu menekan alam mental warga dalam jumlah banyak. Informasi bohong telah menjelma melebihi sebuah propaganda, bukan sekadar mengajak warga untuk mengikuti dan mengakui ajakan propadandis, juga telah menekan mental warga dalam mengerjakan rutunitas. Beberapa teman menumpahkan kekesalannya di media sosial, misalnya dengan menulis: ”Gara-gara hoaks geng motor, para pedagang mengalami kerugian karena harus menutup warung mereka sejak sore hari.”

Dalam makalah Risma Puspitasari, peserta dari Kecamatan Gunungpuyuh, penyebaran informasi bohong seperti di atas, kemudian diterima oleh warga sebagai informasi valid disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, informasi diterima begitu saja tanpa melalui proses pemeriksaan. Hal ini berbanding lurus dengan masih rendahnya minat membaca warga. Ada kecenderungan, tanpa membaca utuh sebuah informasi pun dengan segara ditarik satu kesimpulan bahwa informasi tersebut memang benar.

Kedua, penyebaran informasi semakin masif dan marak dipengaruhi oleh ambiguitas kebenaran konten informasi. Ada semacam hibrida konten atau muatan informasi, antara hal yang benar dan bohong disatupadukan. Dua hal yang muncul dari konten informasi seperti ini yaitu antara informasi yang benar dan bohong memiliki derajat sama, keduanya dipandang benar atau salah. Dinding media sosial tidak lagi dimeriahkan oleh ratapan netizen, justru dipenuhi oleh ujaran kebencian, kemarahan, fitnahan, dan perundungan.

Media Sosial dan Peserta Didik

Umat Islam memercayai sejak Isa Al-Masih hingga Rasulullah diutus merupakan masa fatrah atau terputus. Selama enam abad inilah di wilayah Timur Tengah, Asia Kecil, dan Eropa Selatan kodifikasi ucapan dan prilaku Isa Al-Masih dibukukan, firman Tuhan telah disusun sejak abad ke 2 masehi. Ruang gerak para penganut paganisme semakin menyempit, mereka kerap diperangi oleh masyarakat yang telah memilih jalan Tuhan.

Etika dan ajaran yang dibawa oleh Isa Al-Masih ini hanya menyentuh wilayah pinggiran daerah Haran (Makkah), dianut oleh keluarga-keluarga kecil yang jauh dari kebisingan Makkah yang kosmopolit. Satu tahun sekali, Makkah menjadi pusat pertemuan para sastrawan. Sebuah suq (areal komersial) bernama Ukaz menjadi arena pementasan karya para penyair Arab. Bagi masyarakat Arab, komunikasi secara komunal tersebut merupakan cara untuk meningkatkan muruwwah (jati diri) mereka kepada bangsa-bangsa lain. Di puncak kejayaan Ukaz sebagai media komunikasi massal inilah genetika keburukan orang-orang Arab Jahiliyyah juga mengalami peningkatan. Ukaz telah menjelma menjadi semacam diseminasi muruwwah dengan nuansa egosentris.

Dalam situasi agresivitas keegoisan dan keruntuhan akhlak inilah, Rasulullah diutus kepada bangsa yang telah mengalami dekadensi. Masyarakat Jahiliyyah, berasal dari kata JHL berarti mudah marah, mudah terprovokasi, hanya dengan hembusan berita atau informasi bohong dapat dengan mudah melakukan pertumpahan darah dalam skala besar. Makkah Jahiliyyah tidak mengenal sistem pendidikan, meskipun terdapat kelompok penyair, namun rata-rata penduduknya merupakan pemuja kemasyhuran dan kesemuanya dapat diraih dengan pedang, bukan melalui literasi.

Armstrong dalam buku Muhammad: The Prophet of Our Time menaruh rasa takjub kepada Nabi Muhammad dengan alasan hanya dalam waktu 23 tahun telah berhasil menghaluskan kekasaran jahiliyyah dengan akhlak terpuji. Jika di era jahiliyyah, dinding Ka’bah dipenuhi oleh tempelan syair karya para pujangga kuno, pasca-futuh Makkah, karya-karya sastra dan beragam informasi yang mengedepankan ashobiyyah primordialistik  mampu direduksi pada bingkai: keutamaan manusia dilihat pada akhlak dan ketaqwaannya. Sejumlah dalil dan hadits banyak menyoal: Allah tidak akan melihat rupa, pangkat, dan hartamu melainkan pada hati dan perilakumu.

Makalah ilmiah Mira Rahmawati, peserta dari Kecamatan Lembursitu berjudul Media Sosial dan Peserta Didik: Implementasi Pendidikan Islam dalam Membangun Etika Komunikasi Revolusi 4.0 terpilih menjadi makalah terbaik dalam penyelenggaraan MTQ ke-41. Makalah ini mengupas etika komunikasi sebagai bagian dari hal pokok dalam Islam, yaitu akhlak. Salah satu tanda ketika akhlak tidak diindahkan telah memengaruhi cara manusia dalam melakukan komunikasi. Di era revolusi indistru 4.0, komunikasi antar sesama kerap  lebih banyak diisi oleh kegaduhan dan percekcokan tanpa henti. Etika komunikasi sebagai cabang dari ilmu komunikasi sudah selaiknya ditanamkan kepada peserta didik sejak usia sekolah dasar.

Pengguna media sosial terus mengalami penambahan sejak satu setengah tahun terakhir. Sebelumnya, media sosial seperti Facebook hanya dimanfaatkan oleh kelompok umur remaja dan dewasa. Sejak tahun 2012, media sosial telah dimanfaatkan oleh berbagai kelompok umur. Memang tidak ada aturan yang melarang memanfaatkan media sosial bagi kelompok umur tertentu. Dari 63 juta pengguna internet, 95% pemilik akun media sosial merupakan penduduk usia produktif dan usia sekolah.

Etika komunikasi di media sosial, dalam tiga makalah di atas, harus dijadikan pembelajaran di lembaga pendidikan, keagamaan, dan pranata sosial lainnya. Memang sudah semestinya, sebagai manusia timur dan berkeyakinan, akhlak harus benar-benar diposisikan pada ranah tertinggi manusia. Akhlak merupakan hal pokok di dalam Islam di samping ibadah dan syariah. Dalam terma tasawuf, akhlak disejajarkan dengan klimaks spiritualitas manusia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *