Menulis Makalah Ilmiah Al-Quran: Etika Komunikasi di Media Sosial (Bag 1)

kang-warsa

Oleh: Kang Warsa

Menulis Makalah Ilmiah Al-Quran (M2IQ) merupakan salah satu cabang yang diperlombakan dalam setiap perhelatan Musabaqoh Tilawatil Quran. Kehadiran salah satu cabang ini diharapkan dapat melahirkan solusi alternatif bersumber dari Al-Quran oleh pihak yang konsern dalam memandang perubahan penting atau dinamika sosial yang terjadi. Atas alasan itulah, tema atau topik yang ditetapkan oleh penyelenggara pada perlombaan ini selalu berbanding lurus dengan situasi dan kondisi sosial yang sedang menjadi  tren dalam kehidupan.

Bacaan Lainnya

Dalam M2IQ Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Ke-41 di Kota Sukabumi, panitia memberikan tema “Etika Komunikasi di Media Sosial” kepada peserta. Tema ini dipandang cukup penting dengan beberapa alasan. Pertama, pengguna media sosial atau netizen selama satu dekade   terakhir ini terus-menerus mengalami peningkatan. Kedua, jenis media sosial yang diciptakan oleh pengembang juga terus bertambah dengan beragam fitur dan jenisnya, hal ini dimaksudkan agar lebih laik dipilih oleh pengguna media sosial.

Ketiga, pemanfaatan media sosial telah mengalami perubahan. Jika sepuluh tahun lalu, media sosoal hanya dimanfaatkan sebagai media  bertegur sapa dan silaturahmi secara virtual, maka sejak tiga tahun terakhir ini media sosial telah berubah menjadi belantara dan medan gelap. Tidak mudah bagi penggunanya untuk menerima informasi apakah benar, valid, atau hoaks di media sosial terkini. Keempat, ini mungkin alasan yang lebih menarik, bahwa era disrupsi telah mengeliminasi nilai hingga norma ketimuran yang sebelumnya dijadikan landasan berpijak masyarakat dalam melakukan komunikasi.

Kandungan Al-Quran tentang etika komunikasi dapat dijumpai pada ayat yang sudah populer, keharusan bertabayun sebelum sebuah informasi disimpulkan apalagi jika informasi ini disampaikan oleh pihak yang tidak berkompeten, dalam terma Al-Quran disebut fasiq. Kehati-hatian ini berbanding lurus dengan kaidah kasundaan sing asak pikir  atau  sing asak ngéjo bisi tutung tambagana, sing asak nénjo bisi kaduhung jagana. Informasi dengan kepelbagaian, ciri, dan tipe yang mudah diproduksi, didistribusikan, dan diterima melalui saluran kontemporer bernama media sosial akan sangat sulit dipilah dan dipilih jika sikap tabayun, berimbang, dan check and recheck  tidak lagi dijadikan kadah dasar.

Dalam beberapa alinea ke depan akan penulis paparkan konklusi dari tiga peserta Menulis Makalah Ilmiah Al-Quran yang berisi pembahasan Etika Komunikasi di Media Sosial dalam perspektif Islam. Penting digarisbawahi, sebagai muslim, kita tidak boleh menutup mata atau berpura-pura tidak tahu bahwa produksi dan distribusi informasi tidak benar justru sedang marak dan digandrungi oleh umat Islam sendiri. Rata-rata informasi bohong atau hoaks selama pandemi Covid-19, satu tahun lebih ini,  jika mencermati jejak digital,  lebih banyak diproduksi oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Islam dan mengembel-embeli setiap informasi dengan label keislaman. Selanjutnya disebarkan kepada umat Islam dengan tujuan mengecoh dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam menangani pandemi.

Meskipun umat Islam telah diwanti-wanti untuk tidak mudah percaya begitu saja terhadap informasi yang diterima, walakin ketika informasi dikemas sedemikian rupa apalagi jika sudah dihiasi oleh taburan ayat dan dikeluarkan oleh pihak yang mengeklaim sebagai lembaga otoritatif keagamaan telah dipandang sebagai informasi sahih. Tanpa memikirkan dampak atau akibat yang terjadi, lebih jauh lagi tanpa memerhatikan Surat Al-Hujurat ayat 6 sebagai landasan berpijak penerimaan dan penyebaran informasi, tidak sedikit umat Islam membagikan kembali informasi bohong  melalui media sosial dan media obrolan karena kadung telah diyakini sebagai sebuah “kebenaran”.

Pada perkembangan selanjutnya, informasi bohong tersebut diproduksi dan didistribusikan oleh pihak yang telah mengetahui bahwa umat masih mudah diperdaya atau dibodohi oleh informasi bohong. Sampai saat ini umat memang masih memiliki keyakinan terhadap ketidaksukaan pihak tertentu kepada Islam. Padahal ketidaksukaan ini jika kita lebih giat bermuhasabah dan instrospeksi, justru telah menjadi ciri khas umat kepada pihak lain. Tentu saja sikap seperti ini tidak dianjurkan dalam etika atau adab keislaman. Praktik nyata terhadap situasi ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saat diperlakukan tidak baik oleh orang-orang Makkah dan kaum hipokrit di Madinah. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan, Rasulullah tidak membalas penyakit dengan menyebarkan penyakit yang sama justru memberikan obat penawar untuk mengeliminasi penyakit tersebut.

Medsos, antara Surga dan Neraka

Makalah yang ditulis oleh Muhammad Farhan An-Nuri dari Kecamatan Gunungpuyuh meskipun belum menjadi makalah terbaik pilihan dewan hakim, setelah saya baca berulang-ulang dapat menjadi jendela masuk bagaimana para stakeholders menstimulasi umat dalam mempersepsi hingga memilah validitas dan kebohongan informasi. Makalah dengan judul Medsos, antara Surga dan Neraka sebenarnya lebih cocok dikategorikan sebagai artikel bergenre populer. Jenis artikel seperti ini dapat dengan mudah diterima oleh pembaca karena menggunakan pendekatan induktif dengan memaparkan banyak peristiwa. Simpulan akhir tulisan ini diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.

Media sosial, terlepas dari motivasi usaha para pengembangnya, merupakan alat yang dapat digunakan dan dijadikan “perantara apapun” oleh penggunanya. Medsos dapat digunakan sebagai media penyampai kebaikan dan ajaran yang seharusnya dipahami oleh umat atau sebaliknya digunakan sebagai media penyampai kebaikan kamuflase yang dibalut oleh kabut seolah-olah benar. Seperti unggkapan Dante Allieghieri, eksistensi surga dan neraka memang sangat tipis, kedua tempat ini tidak memiliki jarak yang kasat mata. Sebagai seorang Summa Peta, penyair agung di zamannya, Divina Commedia salah satu karya Dante telah menginspirasi para seniman dalam mewujudkan penggambaran surga dan neraka dalam satu bangunan. Tampaklah, batas antara surga dan neraka ini memang samar.

Vaksinasi Nilai Al-Quran untuk Generasi Terkonfirmasi Positif Virus Medsos

Makalah yang ditulis oleh M. Nadhir Al-Ghifari dilatarkelakangi oleh kekhawatiran peserta Kecamatan Citamiang ini dalam memandang eksistensi medsos selama dua tahun terakhir. Sebuah dramaturgi, pandangan yang memiliki anggapan kesamaan antara nilai-nilai sosial dengan sebuah pentas dalam pertunjukan drama. Nilai yang sedang dianut oleh netizen memiliki kemiripan dengan realitas yang ada. Dua alam yang berbeda, maya dan nyata namun disatupadukan oleh nilai yang sama. Hal ini dapat dibenarkan, meskipun faktanya banyak ditemui perbedaan diametral antara sikap seseorang di dunia nyata dengan dunia maya. Namun harus diakui, sikap mudah marah, mudah tersinggung, gemar berdebat, dan banyak mengemukakan retorika kosong telah menjadi ciri khas kita entah itu di dunia maya atau di alam nyata.

Umat Islam memiliki keyakinan Al-Quran merupakan obat penawar terhadap gejala-gejala penyakit sosial, bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan penganut keyakinan lain, misalnya orang-orang Kristen meyakini dengan mengamalkan sepenuhnya dan memberikan penafsiran yang relevan terhadap ayat-ayat Injil, kerajaan Tuhan akan lahir di dunia ini. Hal ini memang benar, sejarah panjang rekonstruksi pemikiran  Islam dan Kristen telah melahirkan jutaan buku dan ratusan teori tidak hanya dalam menyelesaikan sengketa teologis, terutama pada arus utama kehidupan.

Masalah yang timbul justru terlihat pada kesenjangan antara teori yang dilandasi oleh kitab suci dengan praktik nyata dalam kehidupan. Islam mengajarkan kebersihan, namun dalam praktik keseharian nilai ini hilang saat kita melihat kekumuhan pasar, karut-marut jalanan, sampah meramaikan sungai, hingga kekusaman diri kita sendiri. Dalam agama Kristen dikatakan jika pipi kananmu ditampar maka berikanlah pipi kirimu terhenti pada nilai dan ajaran, sebab dalam  praktiknya ajaran luhur Isa Al-Masih ini begitu sulit dikerjakan di era yang kerap diwarnai oleh percekcokan.

Swaering Word  Kehidupan Sosial Masa Kini

Perdebatan dan percekcokan sulit dihentikan di dalam media sosial hal ini disebabkan oleh kustomisasi penyaringan kosa kata kasar masih belum maksimal dibubuhkan oleh pengembang media sosial. Mengingat media sosial merupakan saluran, kemunculan kata-kata berisi umpatan dan kasar sudah tentu dikembalikan kepada penutur atau pengguna kata-kata tersebut. Media sosial selain digunakan untuk memasarkan diri, mamajang produk reka cipta, juga telah menjadi etalase serapah dan umpatan. Kebocoran kata-kata dari alam verbal ke ranah digital ini menjadi lebih marak dan mudah dilakukan oleh para netizen.

Di dalam kehidupan sosial kontemporer, kita dapat dengan mudah menjumpai pelafalan kata-kata kasar  seperti; anjing, babi, goblok, dongo, dan pilihan kosa kata lainnya. Jika dibandingkan dengan tida dekade sebelumnya, kata-kata seperti ini jarang dilafalkan oleh anak-anak hingga orang dewasa, bahkan cenderung diucapkan oleh orang-orang dengan kategori tertentu, misalnya oleh golongan tuccha, sepadan dengan  premanisme.  Sampai medio tahun 1990-an, kata-kata kasar ini diklasifikasikan dengan sebutan “bahasa terminal”. Kelahiran era reformasi sampai zaman internet seperti sekarang tidak sekadar mengakibatkan kebocoran kran informasi, juga menyebabkan kebocoran verbal, mudalnya kata-kata kasar diucapkan oleh generasi tua dan diterima atau dirangsang oleh indera pendengaran generasi muda. Bahkan seorang bayi pun dapat dengan mudah menerima berkas kata-kata kasar yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Ketiga karya ilmiah di atas patut mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Dewan hakim telah memilih karya Fasqal Febrian sebagai peraih nilai tertinggi pada MTQ ke-41 Kota Sukabumi. Ketiga tulisan ini dapat dijadikan acuan oleh Pemerintah Kota Sukabumi dalam mensosialisasikan bagaimana sebaiknya media sosial digunakan oleh para neziten Sukabumi sebagai alat perekat komunikasi. Seperti disampaikan oleh Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi dalam pembukaan dan penutupan MTQ ke-41, perhelatan keagamaan ini harus menjadi rujukan yang baik dalam mensyiarkan nilai-nilai kebaikan. Tiga karya ilmiah berikutnya akan penulis paparkan dalam tulisan kedua opini ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *