Kroni Texmaco

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan/Net

OLEH: DAHLAN ISKAN

GIGIN Praginanto menjadi wartawan yang beruntung: ia ditelepon sumber berita penting. Yang sudah 20 tahun tidak muncul ke permukaan: Marimutu Sinivasan. Si pemilik grup Texmaco.

Bacaan Lainnya

Tentu Sinivasan punya kepentingan: ingin melawan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia tantang Sri Mulyani berdebat soal ekonomi. “Biar rakyat yang menjadi hakim apakah dia pantas menjadi menteri keuangan,” katanya.

Sinivasan menganggap Sri Mulyani-lah yang memerintahkan untuk menagih utang Rp 100 triliun ke Texmaco. Lihatlah video wawancara Gigin dengan Sinivasan. Begitu keras ia “menghajar” Sri Mulyani. Sambil memuji-muji Presiden Jokowi.

Intinya: Sinivasan mempersoalkan tiga tuduhan padanya.

Pertama, Texmaco dikategorikan sebagai menerima BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia). “Saya punya surat pernyataan dari Bank Indonesia, Texmaco tidak pernah menerima BLBI,” katanya. Surat itu sempat diperlihatkan ke Gigin.

Kedua, Sinivasan dituduh sebagai antek Suharto. “Saya bertemu Pak Harto hanya di acara formal,” katanya. “Tanyakan ke Tutut, putri Pak Harto. Atau ke ajudan. Yang semua masih hidup,” katanya.

Yang ketiga, Sinivasan menolak tuduhan bahwa Texmaco punya utang Rp 100 triliun. “Utang saya ke bank BUMN itu Rp 8 triliun,” tegasnya.

Utang itu, katanya, utang biasa. Bukan hasil Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Jaminannya pun 200 persen dari nilai pinjaman.

Rupanya Sinivasan tidak bisa lagi diam. Ia sudah lebih 20 tahun tidak mau tampil di media. Kali ini ia angkat bicara. Setelah asetnya dinyatakan akan dilelang.

Ia percaya pada kualitas kewartawanan Gigin. Rupanya Sinivasan mengikuti channel radio digital Gigin, Bravos. “Di Bravos saya memang menempatkan diri semata-mata sebagai wartawan. Yang tidak memihak,” ujar Gigin pada saya.

Tiga minggu lalu Gigin ke rumah saya, di Surabaya. Ia anak Jogja yang dibesarkan di Surabaya. Lalu kuliah di Universitas Indonesia.

Karir wartawannya dimulai di majalah TEMPO. Sembilan tahun Gigin di TEMPO. Ia generasi di bawah saya. Jauh. Setelah itu Gigin menjadi wartawan Nikkei –koran bisnis terbesar di Jepang. “Saya lebih lama di Nikkei daripada di TEMPO,” katanya.

Saat itulah Gigin pernah mewawancarai Sinivasan. “Sudah lama sekali. Saya sudah lupa,” katanya.

Justru Sinivasan yang tidak lupa Gigin. Ia minta agar Gigin mewawancarainya. Untuk disiarkan di channel Bravos.

“Kapan Sinivasan menghubungi Anda?” tanya saya.

“Sudah lama. Lebih tiga minggu. Kebetulan saya ada jadwal lain di hari yang ia tentukan,” tuturnya. Sinivasan pun sabar. Mencari waktu lain yang Gigin bisa.

“Ketika saya menyediakan waktu, ganti ia yang tidak bisa. Ia kan sering ke luar negeri,” ujar Gigin.

Cocok-cocokan waktu itu sampai empat kali. Akhirnya cocok: minggu lalu. Seru. Sinivasan terlihat begitu ingin banyak berbicara.

Justru dari video itu saya baru tahu: Sinivasan ternyata masih ada. Masih hidup. Masih mengurus Texmaco. Saya kira ia sudah meninggal. Setelah adiknya tewas bunuh diri, tidak lama setelah krisis moneter 1998.

Begitu lama tidak pernah mendengar nama Sinivasan. Begitu sabar ia bersembunyi dari media. Termasuk sampai 10 tahun ia dicekal, tidak bisa ke luar negeri.

Ia sendiri ternyata pernah mendengar bahwa dirinya dikira sudah tidak ada. Atau sudah melarikan diri ke luar negeri. Ternyata ia masih aktif. Di umurnya yang kini sudah 85 tahun.

Sinivasan masih mampu jalan darat jarak jauh. Ia pilih naik mobil ketika pulang ke Jakarta dari Batu (Malang). Di Batu Texmaco memang punya pabrik batik.

Bicaranya masih tegas, meski kata-katanya sudah mulai berjarak. Terasa pula nafasnya sudah menyesuaikan diri dengan umurnya. Dan kalau berjalan terlihat ada perlambatan di langkahnya.

Sesekali ia mengucapkan kata yang tidak sesuai dengan pikirannya. Misalnya kata “Washington”, mestinya “New York”. Kan tidak ada pasar modal di Washington. Demikian juga ketika ingin mengucapkan tahun 1946, yang terucap tahun 1960. Yakni tentang kedatangan kembali tentara Inggris ke Indonesia.

Selebihnya ingatan Sinivasan sangat baik. Kelihatannya orang yang punya banyak uang punya ingatan lebih baik, menurut survei asal-asalan.

Sinivasan tidak bisa menerima kalau diragukan nasionalismenya. Ia ingatkan hanya dirinyalah yang menyaksikan begitu banyak pergolakan di Indonesia.

Ia lahir tahun 1937. Di Medan. Di keluarganya sudah tiga generasi lahir di Medan.

Waktu kecil ia melihat tentara Jepang datang ke Medan. Ia tinggal di gang kecil di dekat rumah sakit umum. Hanya 200 atau 300 meter dari rumahnya itulah Jepang bermarkas.

Ia bisa melihat langsung kekejaman Jepang. Termasuk melihat sendiri 10 pejuang Indonesia digorok leher mereka. Lalu digantung di depan umum. Itulah cara Jepang untuk menimbulkan ketakutan rakyat.

Ia juga menjadi “saksi” proklamasi. “Tanggal 16 Agustus 1945 saya masih menyanyikan lagu nasional Jepang. Tanggal 18 Agustus saya sudah menyanyikan Indonesia Raya,” katanya.

Ketika kelas 2 SMP, Sinivasan merantau ke Jakarta. Putus sekolah. Ia dagang tekstil di Pasar Tanah Abang.

Ia kenal Menteri Berdikari TD Pardede. Yakni pengusaha tekstil terkemuka di Medan. Pardede sampai punya klub sepak bola terkenal kala itu: Pardedetex.

Pardede-lah yang minta Sinivasan agar jangan hanya berdagang. “Bikinlah industri tekstil. Di Jawa Tengah. Kita harus Berdikari di bidang sandang,” ujar Pardede, menteri kebanggaan Bung Karno itu, seperti ditirukan Sinivasan.

Mulailah Sinivasan ke Semarang. Bikin pabrik tenun sederhana. Membuat kain dengan mesin yang digerakkan tangan.

Dari situlah berkembang menjadi industri tekstil. Lalu berkembang lagi ke industri mesin tekstil. Texmaco memproduksi mesin-mesin tenun.

Dari mesin tenun Texmaco berkembang ke mesin-mesin lainnya. Termasuk traktor. Molding. Truk, dan mesin apa saja.

Ketika Pak Harto mulai mendengungkan cintailah produksi dalam negeri, Texmaco diperintahkan membuat mesin truk. Lahirlah truk merek Perkasa. Pemerintah memesan Perkasa 1.000 truk. Termasuk untuk tentara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *