Kita Sering “Mengecilkan” Kota Sukabumi

Oleh: Kang Warsa

Anda mungkin pernah mendengar seseorang berkata begini: Sukabumi ini kota kecil, hanya terdiri dari tujuh kecamatan. Setelah mengucapkan pernyataan seperti itu, teman di samping anda menambahkan pernyataan yang tidak kalah seru: Iya, saking kecilnya, saya dapat mengelilingi dan mendatangi setiap sudut kota ini dalam satu hari saja. Benarkah ucapan kedua orang ini? Saya pikir itu sebuah kelakar yang dilebih-lebihkan saja.

Bacaan Lainnya

Ucapan dua orang di atas terlalu mengecilkan ukuran Kota Sukabumi. Faktanya, meskipun ukuran Kota Sukabumi lebih kecil dari Kabupaten Sukabumi, tidak pernah ada peristiwa seseorang dapat mengelilingi dan memasuki setiap sudut dan gang-gang se-Kota Sukabumi dalam satu hari dan dipublikasikan oleh media massa.

Saya berbincang-bincang dengan salah seorang caleg –sekarang sudah dilantik- saat masa kampanye. Menurut penuturannya, “ Gilaaa, cape banget! Padahal hanya beberapa TPS saja yang aku datangi”. Beberapa TPS itu artinya belum mencapai satu kelurahan, apalagi satu kecamatan, apalagi satu Dapil, apalagiiiiii satu kota.

Jadi berdasarkan dua fakta di atas saya menyimpulkan jangan terlalu sering kita percaya kepada orang yang mengatakan ungkapan-ungkapan klise tentang kecilnya ukuran Kota Sukabumi. Apalagi jika anda memercayai orang yang sering mengecilkan Kota Sukabumi saat orang ini asyik berleha-leha sambil memegang ponsel cerdas dan merasa sangat serba tahu tentang Kota Sukabumi.

Pandangan-pandangan yang cenderung mengecilkan Kota Sukabumi ini –jika saya mau berhiperbolik- telah memengaruhi alam bawah sadar hampir setiap orang.

Bukan hanya masyarakat biasa, saya sering mendengar orang-orang yang memiliki jabatan tertentu membuat pernyataan yang sama:

Sukabumi ini kota kecil. Agar Kota Sukabumi terlihat tidak kecil, maka sapiens-sapiens di kota ini membuat wejangan baru: kota kecil sejuta cerita. Satu pernyataan yang memperlihatkan betapa besar riuh gemuruh percakapan, pemberitaan, omongan, dan verbalisme di kota ini.

Saya sebenarnya menganggap wajar hal ini, orang-orang membuat pernyataan: Sukabumi kota kecil tidak bermaksud mengecilkan Kota Sukabumi secara kualitas, hanya ukuran luasnya saja. Walakin, alam bawah sadar manusia yang telah dipengaruhi oleh sikap mengecilkan ukuran kotanya sendiri dapat berdampak pada pikiran-pikiran lain.

Misalnya, menganggap kecil ukuran sebuah kota dapat melahirkan pikiran menyederhanakan pengelolaan dan penataan kota. Saat pemerintah belum dapat menyelesaikan program-program yang telah ditetapkan, orang-orang mengatakan: Bagaimana sih pemerintah ini, mengurus kota Sukabumi saja tidak mampu!

Menganggap kecil ukuran kota dapat juga melahirkan rumus sederhana dalam aljabar, andaikata Kota Sukabumi terdiri dari tujuh kecamatan dengan luas seluruh kota mencapai 48 km persegi, maka seharusnya dalam tujuh bulan pun pembangunan dan program-program yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus sudah terselesaikan.

Pengandaian versi aljabar itu memang sederhana, jika satu wilayah memiliki luas dengan ukuran kecil maka percepatan pembangunan wilayah tersebut harus lebih secepat, bila perlu cepatnya secepat-cepatnya, quantum!

Sayang sekali, rumus dan formula percepatan pembangunan tidak hanya menggunakan pemahaman pengandaian versi aljabar. Membangun sebuah kota tidak sama dengan mengukur luas selembar triplek selanjutnya dibagi sekian, menghasilkan sekian, diberi garis, dan dipotong sekian bagian.

Percepatan pembangunan hanya sebuah hiperbolik, istilah yang pernah digaungkan di era Orde Baru untuk membangkitkan alam bawah sadar manusia tentang pentingnya pembangunan bangsa Indonesia fisik dan mental.

Coba pikirkan secara jernih, istilah-istilah di atas sebenarnya terkesan bombastis, toh pelaksanaan pembangunan dan pencapaian-pencapaian program apapun -bukan hanya di Indonesia, juga di berbagai negara lainnya- berjalan wajar dan biasa-biasa saja.

Persoalan keberhasilan pembangunan ini ditentukan oleh efektifitas dan ketepatan sasarannya. Bukan dilakukan atas dasar “harus selesai serba cepat”.

Pembangunan sebuah kota bukan pekerjaan para pegawai media massa yang dikejar deadline, peristiwa hari ini harus dipublikasikan tengah malam agar besok hari dapat dibaca oleh publik. Seorang Sangkuriang tidak dapat memenuhi keinginan Dayang Sumbi saat program pembangunan sebuah danau dan kapal pesiar mini itu harus dikerjakan sesegera mungkin.

Harus serba cepat entah tuntutan dari siapa dan apa yang harus dipercepat itu merupakan ciri utama pikiran sapiens modern. Pikiran ini dipengaruhi sangat besar oleh cara pandang spasial manusia terhadap kondisi obyektif sebuah wilayah yang telah dimasukkan ke dalam pemetaan grafis.

Anda akan menganggap jarak dari pusat keramaian kota di Cikole ke Pemandian Air Panas Cikundul begitu dekat saat dilihat pada google-map. Ya, karena ukuran ponsel yang anda pegang tidak sebesar televisi LED. Jarak dari Cikole ke Cikundul itu cukup jauh. Misalnya anda mengendarai tikar Aladin dari Cikole untuk sampai di Cikundul, dengan kecepatan 25 km/ jam dan tanpa kemacetan lalu-lintas udara, anda akan tiba di tempat tujuan 35 menit berikutnya.

Serba cepat dalam mengerjakan segala sesuatu itu ternyata tidak hanya berlaku dan merupakan hasil konvensi lokal, melainkan telah menjadi trend global.

Saat ini, orang Kota Sukabumi akan dengan mudah membandingkan capaian pembangunan di Tokyo dengan kotanya sendiri, melalui ponsel cerdas, tanpa berpikir panjang dengan kecepatan tinggi orang itu menyimpulkan: kenapa orang lain bisa menghasilkan pembangunan lebih baik dari kita, dengan waktu singkat pula?

Padahal, pembangunan Tokyo telah berlangsung sejak selesai Perang Dunia II dan itu pun diawali dengan membuka kesadaran bersama terlebih dahulu. Tidak “ujug-ujug”.

Setelah mengunjungi Kota Malang dan Batu dua tahun lalu, saya pernah menulis keberhasilan penataan PKL, jalan, kendaraan, dan pembangunan destinasi-destinasi wisata di dua kota itu sebanding dengan lama waktu pemerintah dan masyarakat dalam membangun kesadaran bersama.

Kesadaran bersama yang mereka bangun adalah membiasakan berpikir bahwa kotanya merupakan kota besar.

Seorang pemandu wisata dari Batu berkata kepada saya, meskipun Batu ini terbilang baru berdiri tapi kami selalu membiasakan berpikir: kota kami besar. Malang dapat menata PKL dan memindahkannya ke tempat relokasi baru setelah 16 tahun membangun kesadaran bersama.

Modal utama dalam memajukan sebuah kota seperti Sukabumi adalah memiliki kesadaran bersama bahwa kota ini merupakan kota besar, rumah bersama, tempat tinggal yang harus selalu dirawat, bukan lahan rebutan, bukan lahan pertikaian, bukan lahan mencari keuntungan pribadi atau golongan, bukan tempat pembuangan sampah, kota yang harus bersih dan sehat, kota pendidikan, kota kesenian, kota kebudayaan, kota berperadaban. Jangan sekali-kali mengatakan kepada anak-anak, Sukabumi ini kota kecil, dalam satu hari saja kamu bisa mengililinginya, nak! Sebab kalimat seperti ini merupakan kebohongan terbesar dalam sejarah kasukabumian.

Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kota Sukabumi menempati urutan nomor tiga dari lima besar kota dengan luas terkecil di Provinsi Jawa Barat. Kota-kota tersebut antara lain; Kota Cirebon (37.36 km2), Kota Cimahi (39.27 Km2), dan Kota Sukabumi (48.25 Km2). Ukuran luas besar dan kecilnya sebuah kota harus kita yakini jangan dijadikan alasan untuk “mengecilkan” kota tersebut, termasuk Kota Sukabumi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *