Joker Dan Bibit Kebencian

Oleh: Kang Warsa

Mengomentari sebuah film dapat saja dilakukan dan dipandang dari berbagai perspektif, tergantung genre film. Tidak ada aturan baku harus bagaimana kita mengkritik film. Di era Revolusi Industri 4.0 kita telah diberikan fasilitas untuk mengekspresikan unek-unek hingga pikiran dalam bentuk komentar. Seolah-olah kita mendapatkan peluang dan kesempatan, apa yang terlintas dalam pikiran dapat langsung dituangkan ke dalam tulisan.

Bacaan Lainnya

Sifat dasar dan bawaan manusia sebagai mahluk sosial memang selalu gemar berkomunikasi. Bahkan, kita sebagai mahluk sosial dengan sangat enteng mengatakan, dengan Tuhan pun kita dapat menjaga ikatan dan melakukan komunikasi.

Kecenderungan berpendapat dan mengemukakan isi pikiran yang ada di dalam diri manusia sulit dibendung, termasuk mengomentari film. Orang yang tidak pernah dan kurang menyukai film pun saat media sosial dipenuhi oleh para pengkritik film tiba-tiba ikut urun rembuk menulis komentar mengenai film.

Dua bulan lalu, para pengguna media sosial saling silang mengeluarkan komentar terhadap dua film: Hayya yang telah diputar di bioskop dan The Santri yang baru menayangkan trailler-nya. Sangat lumrah, perbincangan di negara ini sudah dapat diterka ke mana arahnya, isi komentar para pengguna media sosial tampak menyeret film ke ranah keyakinan atau agama.

Sikap sebagian besar umat beragama seperti ini, keseringan membawa setiap persoalan dan menghubungkannya dengan pandangan keyakinan disebabkan oleh cara pandang kita terhadap agama bersifat mekanis. Agama selalu dipandang sebagai alat dan media yang harus bisa menjawab setiap persoalan kehidupan.

Agama diyakini dapat ditarik ke mana saja, diposisikan seperti kartu joker, ditempatkan sekehendak kita. Padahal, persoalan mendasar dalam film Hayya dan The Santri tidak terletak dari perspektif keyakinan. Kedua film tersebut lebih kuat dipengaruhi oleh nuansa usaha (bisnis).

Tetapi biarlah, toh segalanya berlalu begitu saja. Budaya popular memang seperti ini. Obyek pembicaraan dan serbuan komentar selalu beralih topik bahasan.

Joker, si penghibur menjadi bulan-bulanan bualan. Nilai film tersebut melonjak sampai 9.1 di atas film-film produksi Hollywood lainnya. Hampir setiap kritik memberikan penilaiain, film tersebut sangat apik dan bagus, mengandung nilai filosofis, dan direkomendasikan untuk ditonton.

Kesukaan kita kepada Joker –sebagai sebuah film- bukan tanpa alasan. Jauh di dalam alam bawah sadar kita, karena watak dan tabiat manusia merupakan mahluk lemah, tidak memiliki piranti sempurna, cenderung pelit, secara paralogis saat ini kita sedang berada di dalam penjara kehidupan.

Maka saat menonton Joker, hormon di dalam diri kita memancar kuat mengisi ruang otak. Aspek kejiwaan dalam diri kita memerintahkan: benar di dalam hidup ini orang-orang kecil dan lemah selalu menjadi obyek penderita meskipun banyak berbuat baik.

Dari beberapa coretan para pengkritik film Joker telah melahirkan kalimat sederhana: orang jahat dilahirkan dari orang baik yang tersakiti, terasing, dan terbuang.

Seorang teman menyarankan agar saya jangan menonton Joker. Dia memaparkan isi pikirannya tentang adegan-adegan dalam film ini. Kekerasan yang ditampilkan di dalam Joker dapat memengaruhi emosi penonton.

Sayang sekali, saya sudah menonton Joker, dan saya memandangnya hanya sebatas hiburan, tidak lebih dari itu. Tentang pengaruh secara emosional setiap tayangan seperti film, hal tersebut merupakan keniscayaan. Jangankan film, saat kita menonton pertandingan sepak bola saja emosi kita selalu meledak-ledak.

Siapa saja dapat mencibir, mencemooh, atau tiba-tiba kegirangan saat menyaksikan kesebelasan idola bermain dengan apik melawan kesebelasan lawan.

Pengaruh film, pertandingan sepak bola, dan tayangan apa saja merupakan sensasi tidak tetap. Hanya sepintas saja. Kita memang dituntut jujur pada diri sendiri, saat menyaksikan Joker membunuh tiga orang di sub-way kereta api, kita menyetujui imajinasi si Arthur atas dalih pembelaan.

Lambat laun, sikap setuju itu semakin melemah saat Arthur melampiaskan ketidakstabilan jiwanya dengan mengarang cerita sejumlah pembunuhan lainnya tanpa merasa bersalah dan ia menyatakannya sebagai tindakan subyektif, hanya sebagai adegan humor dalam kehidupan.

Saat pikiran subyektif memengaruhi manusia, jiwa manusia akan dipenuhi oleh cara pandang introvert, apa pun yang dilakukan oleh diri sendiri itulah yang terbaik, paling benar, dan selalu mengandung kebenaran.

Bagi orang lain, sikap kita seperti di atas dipandang menyebalkan atau merupakan sebuah kejenakaan saja, masa di dalam kehidupan ada orang yang hanya memandang kebenaran sesuai kehendak diri kita semata.

Tentu saja, subyektivitas dalam diri kita itu sangat luar biasa dan memiliki pengaruh besar bagi orang lain pada gelombang vibrasi yang sama, para pemuja subyektivitas, penggemar identitas, dan pemuja simbol.

Luapan pernyataan subyektif -seseorang- akan diamini dan dinyatakan sebagai kebenaran. Permainan kata, kalimat, hingga tindakan subyektif itu dipamerkan berulang-ulang, memengaruhi para simpatisan.

Maka lihatlah, akhir film Joker diisi oleh adegan penjarahan dan demonstrasi warga Gotham tanpa disuruh oleh siapapun. Mereka sependapat dengan pernyataan Joker: orang-orang kaya di Gotham sama sekali tidak akan pernah merasakan apa yang dialami oleh para jelata dan kaum papa.

Bagi orang-orang Gotham, Joker merupakan pahlawan yang telah membuka tabir alam bawah sadar mereka yang selalu dipenuhi oleh penderitaan. Satu atau dua dekade ke depan akan lahir sosok dari kegelapan, Batman, seorang pahlawan andalan para bangsawan Gotham.

Joker dan Kebencian

Banyak pengamat film mengungkapkan -semacam rekomendasi- agar film Joker ditonton secara jeli. Namun sebagian psikiater bahkan pejabat Kementerian Pertahanan Amerika Serikat menyarankan kepada warganya agar berhati-hati saat menonton Joker. Pengaruhnya dapat mengakar dan menancap ke ruang alam bawah sadar manusia. Kementerian Pertahanan Amerika Serikat memiliki kekhawatiran munculnya kekerasan di negara itu pascapemutaran Joker di bioskop.

Fakta sebenarnya, film ini sangat sedikit memengaruhi – aspek kejiwaan- para penonton dan penggemar film. Tabiat dan delusi akut Joker justru telah lama ditanamkan di dalam kehidupan ini, benih-benih kebencian tumbuh dengan subur di sudut-sudut kehidupan, entah dilandasi oleh pandangan keagaman, kesukuan, dan golongan.

Setelah Perang Dingin selesai, desain benturan peradaban dialihkan: dari Amerika Serikat dengan Uni Soviet menjadi Barat dengan Islam. Wacana yang kita temui dalam The Clash of Civilization karya Samuel Huntington dicerna secara serius oleh mayoritas Muslim di dunia.

Kelompok-kelompok Islam konservatif berusaha membuktikan kebenaran tesis Huntington. Permusuhan kepada Barat dilakukan dengan alasan kesejarahan, perselisihan panjang antara Islam dan Barat direka ulang dalam tulisan-tulisan di kampus dan sekolah-sekolah menengah atas.

Media-media kelompok Islam konservatif sering memunculkan tulisan dan tajuk dengan judul besar: Ancaman Barat, Bahaya Westernisasi, Globalisasi dan Westernisasi, dibumbui oleh kalimat provokatif, Perang Salib Modern.

Tanpa harus diperintah oleh siapa pun, mayoritas umat Islam tiba-tiba saja memendam kebencian kepada Barat.

Selama dua dekade, benih-benih kebencian dengan alasan yang kurang jelas itu telah tumbuh menjadi pohon-pohon kokoh. Dunia telah hadir seperti halnya Gotham dalam film Joker. Politik luar negeri Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dipandang sebagai kebijakan penguasa dan kelompok bangsawan Gotham yang sering menyakiti jelata merupakan refleksi negara-negara berkembang.

Padahal, jika kita jernih dalam berpikir, harus dibedakan antara politik luar negeri satu negara dengan semangat kemanusiaan orang-orang yang ada di negara tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Israel memang melakukan tindakan tidak manusiawi, membunuh warga Palestina, tetapi tidak seluruh orang Yahudi harus dicap sebagai kelompok anti kemanusiaan.

Jebakan politis itulah yang telah memenjarakan pikiran sebagian besar kita dalam membenci Barat secara keseluruhan.

Kebencian tidak lagi berbentuk benih, saat ini sudah siap dipanen. Para penganut faham ini secara telaten menyebarkan virus kebencian kepada umat Islam lainnya. Isu krusial yang sering dihenbuskan yaitu Barat merupakan musuh Islam, di saat ada orang Islam (moderat) melakukan hubungan yang baik dengan Barat mereka memandangnya sebagai musuh yang sama.

Untuk membohongi umat Islam lainnya mereka mengeluarkan dalil keagamaan: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian kaum itu”.

Kebencian mereka kepada Barat merupakan kebohongan dan fantasi di dunia, fakta yang terjadi, mereka sangat bersuka cita menggunakan produk-produk negara dan kelompok yang mereka benci.

Namun kebencian itu sudah mengakar dan sangat akut. Dalam Joker kita dapat menyaksikan para pemujanya, orang-orang Gotham sangat bersuka cita setelah Franklin, seorang komedian Gotham ditembak di stasiun televisi, disiarkan langsung.

Kebencian mereka kepada penguasa dan kemapanan tatanan telah menghapus nilai kemanusiaan. Mereka tidak lagi memandang pembunuhan sebagai tindak kejahatan, melainkan hanya sebuah adegan komedi, pertunjukkan subyektif yang telah diskenariokan oleh sang sutradara.

Sama halnya dengan pandangan sebagian besar kita terhadap peristiwa penusukan Wiranto. Orang-orang yang telah tercederai secara politis dan mereka yang telah tercemari virus kebencian bersuka ria seperti para pemuja Joker berhamburan ke jalanan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *