IKN Mendongak

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

Oleh: Dahlan Iskan

SUDAH ada kok pembangunan fisik di IKN Nusantara: membangun bendungan. Itulah satu-satunya kegiatan fisik di sana.

Bacaan Lainnya

Saat ini. Kegiatan itu terlihat di kiri-kanan jalan utama IKN –jalan milik perusahaan konglomerat Sukanto Tanoto. Lokasi proyek ini di sekitar 2 km dari portal pintu masuk.

Itulah proyek Waduk Sepaku.

Itu rencana lama.

Sudah lebih 30 tahun.

Ide awalnya, dulu, untuk menjadi sumber air minum kota Balikpapan.

Kini airnya akan dibagi dua: 1.500 liter untuk IKN. Yang 1.000 liter lagi untuk Balikpapan. Kalau pipa sejauh sekitar 50 Km jadi dibangun.

Nama Bendungan Sepaku ibarat guntur setengah abad tanpa hujan. Penetapan IKN membawa hujan itu turun. Rencana lama ini akhirnya dilaksanakan.

Alhamdulillah.

Air dari bendungan itu sangat ditunggu. Terutama untuk IKN sendiri. Pembangunan fisik IKN secara besar-besaran tentu tidak bisa jalan tanpa air.

Di lain pihak, ini bukan bendungan besar. Dari cadangan air bersihnya saja bisa dilihat: hanya cukup untuk IKN kecil. Berarti IKN tidak boleh meledak jadi seperti Jakarta. Ada problem pendukung seperti air.

Atau, kelak, kalau ternyata meledak juga, harus mengambil air dari Sungai Mahakam –sekitar 60 km dari IKN.

Problem pendukung berikutnya adalah jalan menuju ke IKN.

Saya salah kira. Minal aidin wal faizin. Bayangan saya, dari exit tol Samboja itu tinggal 30 menit lagi. Yang berarti dari Bandara Balikpapan ke IKN 1 jam. Kan dari bandara ke exit tol Samboja hanya 30 menit.

Ternyata saya salah. Orang tua ternyata banyak salahnya –meski juga banyak tabungannya. Mohon maaf lahir batin. Lingkungan ternyata sudah berubah. Total.

Kecamatan Sepaku –yang saya kenang ”hanya” sebagai sebuah lokasi transmigrasi, telah berkembang begitu besar. Lalu lintas menuju IKN ini ternyata sudah begitu ramai. Terutama sejak sebelum kantor kecamatan Sepaku. Sampai 3 km sebelum IKN.

Berarti, dari Bandara Balikpapan, IKN tidak bisa ditempuh dalam 1 jam. Mustahil. Kalau pun ngebut. Bisa hampir 2 jam. Terlalu jauh. Tidak bisa diterima.

Presidennya sendiri –entah siapa nanti– memang bisa naik helikopter. Layak. Tapi para duta besar tentu keberatan –terutama dari negara sekelas Senegal.

Pilihannya: melebarkan jalan lama itu. Menambah satu jalur lagi di kiri. Juga satu jalur lagi di kanan. Sekalian memperbaiki infrastruktur daerah. Agar berkah IKN ikut dinikmati rakyat setempat –yang ternyata begitu dekatnya dengan IKN.

Apalagi jalan raya jurusan Samarinda-Banjarmasin itu menjadi empat lajur. Berkahnya mengalir sampai jauh: sampai Banjarmasin.

Tapi, itu, hanya akan menolong percepatan 30 menit. Masih terlalu lama untuk ke suatu ibu kota negara besar seperti Indonesia.

Pilihan lain: membuat jalan tol baru. Dari exit Samboja. Ke IKN. Tidak panjang: sekitar 35 km. Tapi harus dengan uang negara. Belum menarik bagi investor biasa. Kecuali Sang Investor mendapat sweeter di proyek lain.

Hanya saja, Anda sudah tahu, jalan tol baru itu hanya membawa berkah untuk investornya.

Pilihan berikutnya: langkah yang sangat besar. Yakni membangun tol layang di atas pantai Balikpapan. Dari bandara Sepinggan, melengkung sampai dekat Kampung Baru. Langsung nyambung ke jembatan di atas laut. Melengkung tinggi di atas Teluk Balikpapan.

Semua berstatus jalan tol.

Begitu turun jembatan tol-nya bisa berakhir. Sudah nyambung ke jalan lama poros Banjarmasin-Samarinda. Dari arah berlawanan menuju Sepaku.

Ini akan bersejarah.

Jalan tol di atas laut itu –dan jembatan panjang di atas teluk itu– tidak harus pakai uang negara.

Proyek itu bisa dibangun secara komersial. Sudah ada peminatnya. Sudah ada kajiannya. Sudah ada desain teknisnya. Semua izin daerah pun sudah pernah selesai.

Persoalan yang muncul, kala itu, tinggal satu: harus berapa meter tinggi jembatan. Yang melengkung di atas Teluk Balikpapan itu. Jangan sampai mengganggu kapal yang lewat di bawahnya.

Itulah yang dulu menghambat. Proyek itu pun tidak terlaksana.

Di dalam Teluk Balikpapan itu memang ada pelabuhan besar. Sebagai pengganti pelabuhan lama di dalam kota. Di dekat kilang-kilang minyak Pertamina. Yang sudah tidak bisa dikembangkan lagi itu.

Investornya, kala itu, merencanakan setinggi 45 meter. Dianggap lebih dari cukup. Itulah desain yang ekonomis. Itu sudah tinggi sekali.

Pemberi izin, kalau tidak salah, menginginkan 65 meter.

Dua teori itu saling bertahan. Tidak pernah bisa menemukan keputusan.

Tapi dengan gaya pemerintahan sekarang soal ketinggian itu pasti bisa diterobos. Melarang total ekspor produk sawit saja berani. Apalagi hanya soal ketinggian jembatan. Upil.

Dengan tol di atas laut ini tidak hanya IKN yang menikmati. Juga masa depan. Bahkan masa kini. Ups… Masa lalu pun ikut mengagumi.

Itu keinginan lama di Balikpapan. Agar kalau menyeberang ke Penajam tidak perlu lagi pakai speedboat. Banyak orang yang menyeberang di sini. Mereka selalu mendongak ke atas: kapan ada jembatan melintang di atasnya.

Lalu-lintas penyeberangan di sini sangat ramai. Ini jurusan besar. Menuju ibu kota Penajam Paser Utara. Terus lagi ke Paser induk. Lanjut ke Tanjung, Barabai, Martapura akhirnya ke Banjarmasin.

Poros itu, terutama dari Balikpapan sampai Tanjung, telah jadi aorta besar ekonomi: minyak, batu bara, sawit.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *