Tempe Setelah Belajar Dorayaki

Rustono minta waktu dua minggu. Ia belum berani juga memberitahu ibunya di desa, di Grobogan. Ia hubungi dulu teman-temannya: siapa tahu kenal laki-laki yang kawin dengan wanita Jepang. Dan tinggal di Jepang. Ia akan minta nasehat. Bagaimana rasanya. Apa saja problemnya.

Ketemu. Satu orang Bandung. Ia cari nomor telponnya. Ia hubungi. ”Jangan seperti saya,” kata orang itu. ”Harus kerja dari subuh sampai malam. Tidak bisa ketemu anak. Waktu berangkat anak belum bangun. Waktu pulang anak sudah tidur,” tambahnya.

Bacaan Lainnya

Orang itu lantas memberi saran. Jadi pengusaha saja. Kecil-kecilan tidak apa. Nasehat itu yang terus terngiang di telinganya: jadi pengusaha. Lantas ia ajak Tsuruko bicara. Ia ceritakan nasehat tersebut. ”Saya akan tetap bertanggungjawab sebagai suami. Tapi dukung saya. Untuk jadi pengusaha,” ujar Rustono pada calon istrinya itu.

”Saya tidak akan ngrepoti istri. Tapi kalau di awal-awal hidup nanti sulit apakah bisa menerima. Tidak marah-marah. Tidak rewel,” katanya.

Sang calon setuju saja. Pada apa yang diminta maling hatinya itu. Dasar cinta. Maka berangkatlah keduanya: ke Grobogan. Ke desa kelahiran Rustono. Ke rumah ibunya di desa. Yang lantainya anyaman bambu. Yang dindingnya kayu. Yang dinding dapurnya gedhek. Yang halamannya dipenuhi mangga. Juwet. Dan tanaman singkong.

Rustono berpesan pada ibunya. Agar ada yang bersihkan WC. Yang akan datang ini calon menantu. Dari Jepang pula. Yang begitu tinggi kebersihannya. Rustono minta restu ibunya. Minta restu ayahnya: ke kuburannya. Lantas berangkatlah si calon pengantin ke Kyoto. Kawin di Kyoto. Tidak ada acara apa pun. Tidak pakai cara apa pun. Hanya ke catatan sipil. Berdua.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *