Bangkit Setelah Gagal di Dolly

Saya sudah terkesan sejak mengenalnya. Tiga tahun lalu. Sejak dia menjabat Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. Namanya agak sulit dieja: Dalu Nuzulul Kirom. Fakultasnya sulit dipelajari: Teknik Elektro. Aktivitas sosialnya sulit dimengerti: merehabilitasi bekas kompleks pelacuran terbesar: Gang Doly. Surabaya.

Terutama membenahi aspek ekonominya. Agar para pelacur tidak kembali ke profesi tertuanya. Saya sudah membayangkan betapa sulit melaksanakannya. Masih mahasiswa tapi berani masuk ke persoalan yang begitu rumit. Tapi saya menangkap ada api di dadanya: anak ini militan. Penuh ide. Badannya memang kurus dan kulitnya agak gelap. Tapi jalan pikirannya terang penderang.

Bacaan Lainnya

Mungkin karena dia dilahirkan di malam 17 bulan puasa. Malam peringatan turunnya kitab suci Al Quran. Nama Dalu Nuzulul Kirom berarti malam turunnya kemuliaan. Dalu pun menguraikan rencana-rencana mulianya. Penuh gejolak. Sesak idealisme. Seperti mau meledak.

Dia lantas minta saran saya. Saya merenung sejenak. Perlukah anak muda penuh ide seperti Dalu diberi saran? Tidakkah nasehat hanya akan merusak idealismenya? “Lakukan saja apa yang ada di pikiran Anda. Saran terbaik akan datang dari lapangan,” kata saya.

“Tapi saya ingin ketemu Anda lagi. Enam bulan lagi. Ingin mendengar hasilnya,” sambung saya. Saat itu.
Enam bulan kemudian saya kena perkara. Tidak bisa menemui Dalu. Juga tidak bisa menemui aktivis mahasiswa lain sekelas Dalu.

Di bidang lain. Bulan lalu Dalu menghubungi saya. Ingin bertemu. Saya pikir dia akan menceritakan perkembangan Gang Doly. Setelah dua tahun tidak ketemu. Tapi rasanya tidak. Tahun lalu saya muter Gang Doly. Mengunjungi taman-taman baca Al Quran di komplek pelacuran itu. Yang dibuka oleh aktivis pemuda di sana.

Tapi bukan Dalu. Nama Dalu tidak berkibar lagi di Doly. Kami pun sepakat bertemu di rumah saya. Senin kemarin. Pukul 07:00. Kebetulan hari Senin pagi adalah satu-satunya hari libur bagi saya: libur senam. Saya kaget. Dalu membawa rombongan enam orang. Salah satunya wanita berjilbab. Mereka adalah para junior Dalu di ITS, Unair dan UIN Sunan Ampel.

Status mereka baru lulus kuliah. Ada akutansi, dokter hewan, teknik kimia dan fakultas dakwah. Umur mereka antara 22 dan 23 tahun. Hanya Dalu yang 28 tahun. Dua tahun saya tidak ketemu Dalu. Tampilannya tidak berubah. Kurus, gelap, menggebu-gebu dan penuh idealisme. “Apa kabar Doly?,” tanya saya.
“Itulah Pak, mengapa saya ingin ketemu,” jawabnya.

Dalu lantas menceritakan ruwetnya birokrasi di Doly. Kehadiran orang seperti Dalu bisa saja dianggap pesaing. Bukan partner. Saya sudah menyangka. Tapi biarlah aktivis-idealis seperti Dalu mengalaminya sendiri.

Mumpung masih belia. Benturan itu akan memperkaya jiwanya. Sekalian ujian. Apakah idealismenya karbitan.
Dalu ternyata segera bangkit. Itulah baiknya kejatuhan terjadi di saat anak masih muda. Mudah bangkit. Gampang “move on”.

Setelah dua tahun tidak bertemu ternyata Dalu bukan karbit. Dalu, dan teman-teman mudanya itu sudah banting stir. Membuat start-up company. Bidang garapnya masih sarat idealisme. Tapi sudah lebih memiliki roh. Sudah memiliki fondasi. Untuk kelak bisa berkembang. Ke samping maupun ke atas. Inilah jenis start-up yang berpijak ke bumi lokal tapi siap menjunjung langit nasional. (DIS/BERSAMBUNG BESOK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *