Bubur Ketenagakerjaan

Pagi ini saya diundang Pak Handi. Beliau karyawan di BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sukabumi. Saya lupa jabatannya apa. Yang pasti dia mengurusi banyak hal.

Saya diundang untuk coffee morning di Bubur Ayam Bunut. Salah satu wisata kuliner tersohor di Sukabumi. Kebetulan saya sudah sarapan. Jadi cuma minum susu panas saja.

Bacaan Lainnya

Bincang-bincang pun dimulai.

Kami membahas hal ihwal tentang BPJS Ketenagakerjaan. Program jaminan sosial pemerintah. Orang zaman old, lebih akrab menyebutnya Jamsostek. Bukan BPJS Ketenagakerjaan. Karena BPJS Ketenagakerjaan adalah Jamsostek.

Apa itu BPJS Ketenagakerjaan? Eh, maaf. Mungkin saya merasa nyaman dengan menanyakan, apa itu Jamsostek? Jaminan sosial tenaga kerja. Ya, itu singkatannya.

Jamsostek adalah program pemerintah untuk melindungi para tenagakerja. Baik itu ‘berpelat merah’ maupun swasta. Bahkan tenagakerja non upah seperti petani pun, ter-cover dalam Jamsostek.

Dulu, mindset yang berkembang adalah harus kecelakaan bahkan (naudzubillahmindzalik) harus meninggal dunia baru bisa mendapatkan manfaat dari Jamsostek. Uang puluhan juta rupiah, manfaatnya. Ya, memang begini. Tapi ini mindset yang salah.

Jamsostek itu juga untuk masa depan kita. Pasca pensiun. Pasca kita sudah tidak lagi produktif. Kita berhak mendapatkan manfaatnya. Namanya Jaminan Hari Tua disingkat JHT.

Saya pribadi menganggap Jamsostek adalah investasi yang tak kasat mata. Setiap bulannya harus keluar uang untuk iuran. Tapi bedanya tidak ada laporan saldo terakhir. Tidak seperti menabung di bank. Atau investasi tabungan emas di Pegadaian. Namun, manfaatnya nanti akan kita rasakan.

Yang menjadi masalah dari Jamsostek adalah namanya sekarang. BPJS Ketenagakerjaan. Mendengar nama BPJS, hal pertama yang tercuat adalah BPJS Kesehatan. Tidak percaya? Coba saja ketika ‘BPJS’ di Google sekarang juga. Pasti yang kali pertama direkomemdasikan adalah BPJS Kesehatan. Bukan BPJS Ketengakerjaan.

Lantas di mana masalahnya? Sudah bukan rahasia lagi, bahwa BPJS Kesehatan memiliki rapor merah bagi masyarakat. Seperti; besaran premi bulanannya. Diskriminasi di rumah sakit tertentu. Hingga problem-problem lainnya yang menjadikan orang malas bahkan takut menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Ya, ini masalah BPJS Kesehatan. Bukan BPJS Ketenagakerjaan. Tapi yang menjadi masalah BPJS Ketenagakerjaan adalah sama-sama memiliki nama BPJS. Masyarakat awam acap kali menyangkut pautkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan adalah sama. Padahal beda. Eh, maksudnya sama-sama program pemerintah, tapi beda aturan main.

Kalau BPJS Kesehatan itu untuk kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan untuk tenagakerja (ya iya lah, anak TK juga tahu).

“Tapi Alhamdulillah, masyarakat sekarang sudah banyak tahu dan paham apa itu BPJS Ketenagakerjaan. Ini berkat sosialisasi kami terus menerus ke masyarakat,” kata Pak Handi.

Sekadar informasi, setiap karyawan BPJS Ketenagakerjaan setiap harinya bergerilya ke desa-desa, ke kampung-kampung, bahkan ke pelosok-pelosok. Gol mereka semua orang yang bekerja menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Baik itu yang PNS, non-PNS, swasta, tukang ojek, hingga buruh tani. Pokoknya siapa saja yang bekerja.

Wilayah kerja BPJS Ketekangakerjaan Sukabumi tidak hanya wilayah Kota Sukabumi saja. Tapi mencakup kabupaten Sukabumi hingga Kabupaten Cianjur.

Ya, luas banget. Dan ini bukan pekerjaan yang mudah. Ini dilakukan agar masyarakat paham dan mau menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Termasuk juga para penjual bubur ayam. Sukabumi itu juga terkenal sebagai kota bubur ayam. Bubur Ayam Bunut dan Bubur Ayam Odeon adalah salah dua contohnya. Tapi yang paling banyak adalah Bubur Ayam Cianjur. Kok bukan Bubur Ayam Sukabumi? Entahlah.

Yang pasti, saya ingin menamakan tulisan ini dengan judul Bubur Ketenagakerjaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *