Bebek Jontor: Kesuksesan Usaha Kuliner di Kota Sukabumi

Oleh Kang Warsa

Sejak revolusi agrikultur yang berlangsung 12.000 tahun lalu, manusia melalui peran pentingnya menaklukkan alam telah menempati piramida puncak rantai makanan. Hal tersebut memiliki arti, manusia atau sapiens telah mengalami evolusi dan perubahan lebih cepat jika dibandingkan dengan mahluk lain yang sama-sama menempati Bumi sejak milyaran tahun lalu itu. Padahal, pada babak panggung kehidupan sebelum revolusi agrikultur, manusia masih menempati piramida paling rendah baik dalam rantai makanan juga peradabannya.

Bacaan Lainnya

Revolusi agrikultur merupakan amphiteater pementasan teragung dalam sejarah perkembangan manusia ketika manusia tidak hanya sekadar mengonsumsi berbagai varian makanan, juga telah mampu melakukan teknik bercocok tanam terhadap sumber daya terbarukan. Melalui domestikasi tumbuhan dan binatang tertentu inilah, dari awal revolusi agrikultur hingga sekarang tradisi berburu dan meramu telah tergantikan oleh upaya-upaya bagaimana seharusnya tumbuhan dan binatang didomestikasi dan diproduksi oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Keuntungan lainnya tidak hanya didapat oleh manusia, keberadaan tumbuhan dan binatang yang didomestikasi oleh manusia menjadi lebih dapat bertahan lama daripada tumbuhan dan binatang yang dibiarkan liar yang lambat laun menuju ke arah kepunahan.

Revolusi agrikultur yang telah diciptakan oleh manusia juga telah membawa perubahan penting dalam iklim sosial kulturalnya. Masa bercocok tanam bagi masyarakat pertanian awal menjadi semacam cara mereka melakukan koordinasi, komunikasi, dan membangun kesepakatan satu sama lain. Perkembangan selanjutnya, terjadi kesepakatan bersama, manusia mulai melakukan pertukaran barang hasil bercocok tanam dan peternakan melalui sistem barter. Lokasi tempat pelaksanaan barter atau bertukar barang biasanya dilakukan di tepian sungai (bank), pada tahap selanjutnya, kata bank ini digunakan oleh manusia modern sebagai lembaga keuangan, tempat transaksi keuangan yang kita kenal sekarang.

Akar sejarah peradaban manusia inilah yang menjadi salah satu alasan hingga saat ini manusia masih dapat mempertahankan keberadaannya di piramida puncak rantai makanan. Hal ini juga yang menjadi pemantik manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan struktur dan ukuran otak dibandingkan mahluk lainnya. Pertumbuhan jumlah manusia dari milenium pertama ke milenium kedua sangat cepat meskipun pada periode tertentu populasi manusia mengalami pengurangan yang disebabkan oleh bencana alam, wabah, dan perang. Walakin, pascaperang dingin, mayoritas manusia telah mampu melalui masa suram pengurangan jumlah populasi karena kelaparan. Di era pascaperang dingin, kekhawatiran yang dihadapi oleh manusia justru bukan disebabkan oleh kekurangan makanan, melainkan oleh rasa takut karena berlebihan mengonsumsi varian-varian makanan, ketakutan terhadap obesitas, dan penyakit lainnya jika manusia mengonsumsi jenis makanan tertentu.

Sistem barter atau pertukaran barang yang berkembang di awal revolusi agrikultur telah diubah oleh manusia melalui sistem pertukaran barang yang lebih efektif, efisien, bahkan sulit dicerna oleh nalar seperti satu kuintal gabah ditukar dengan empat lembar kertas uang seratus ribu. Benar, jika ketidakseimbangan antara satu kuintal gabah yang dihasilkan melalui proses panjang hingga empat bulan dapat ditukar dengan empat lembar uang kertas, situasi ini akan sulit dicerna oleh akal sehat. Kesepakatan dan koordinasi seluruh umat manusia di dunia inilah yang menjadikan uang kertas berukuran kecil dan ringan dapat ditukar dengan satu kuintal gabah.

Kuliner Urban

Satu dekade lalu, Kota Sukabumi telah memfokuskan  pembangunan pada tiga aspek kehidupan; pendidikan, kesehatan, dan daya beli (perekonomian). Tiga periode kepemimpinan hingga sekarang tetap melanjutkan pada aspek-aspek tersebut. Bagi pelaku usaha, kondisi ini dipandang sebagai peluang untuk memulai usaha dan mengembangkan usaha kuliner. Selama lima tahun terakhir, tempat kuliner semakin menjamur di Kota Sukabumi. Jika sebelumnya, masyarakat dapat menikmati makan malam di salah satu gang di Jl. Ahmad Yani, saat ini mereka dapat memutuskan untuk menikmati makan siang dan malam di warung-warung kuliner yang telah tersebar dari pusat perkotaan hingga wilayah perbatasan.

Bebek Jontor merupakan kuliner urban yang digagas oleh Dindin Solehudin selama tujuh tahun berjalan dapat dikatakan sebagai salah satu warung kuliner yang mengalami perkembangan usaha di samping warung kuliner lainnya. Saat ini, usaha kuliner yang menyediakan nasi dan lauk pauk khas kasundaan ini telah membuka cabang di enam tempat di Kota Sukabumi. Bagi pemiliknya, pembukaan beberapa cabang warung nasi Bebek Jontor ini merupakan langkah antisipasi ketika jalan tol Bocimi selesai. Akses jalan yang lancar dari Jakarta ke Sukabumi melalui jalan tol akan berdampak pada lonjakan pengunjung dari kota lain ke Sukabumi. Mau tidak mau, warga Sukabumi harus memiliki peran sebagai tuan rumah yang menyambut kedatangan para tamu tersebut. Kesiapan warga Sukabumi merupakan kunci utama betapa pentingnya keberadaan jalan tol penghubung Sukabumi dan Jakarta.

Pertanyaan menarik pernah diungkapkan oleh salah seorang teman, kenapa usaha kuliner di Sukabumi begitu laris, bahkan pedagang cilok saja jarang mengalami gulung tikar jika tidak disebabkan oleh faktor lain, misalnya masalah keluarga? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dijelaskan  melalui pendekatan sosiologis dan antropologis. Pertama, sejak zaman dulu, manusia sangat tergantung kepada sumber dan bahan makanan. Selama perkembangan kehidupannya, kebutuhan terhadap sumber dan bahan makanan ini diupayakan melalui beragam cara. Di era kemapanan infotech, cara manusia untuk mendapatkan makanan tidak lagi melalui produksi mandiri, namun dengan cara membayar sumber makanan yang diproduksi oleh orang lain, rantai makanan di era infotech telah berubah dari alur: produsen –  konsumen 1 – konsumen 2 – pengurai mejadi alur produsen 1 – produsen 2 – konsumen – pengurai. Distribusi dan pengiriman barang juga sangat berpengaruh terhadap alur rantai makanan manusia modern.

Kedua, usaha kuliner di tengah masyarakat urban memang merupakan satu hal yang berbanding lurus dengan mentalitas kaum urban. Sangat berbeda dengan masyarakat agraris, mereka akan berpikir beberapa kali kenapa hanya sekadar untuk makan harus membeli di warung, bukankah nasi dapat dimasak sendiri? Namun bagi masyarakat urban, makan tidak hanya dipandang sebagai upaya untuk menghilangkan rasa lapar, juga telah menjadi gaya hidup, di mana mereka makan akan menunjukkan berada posisi mana gaya hidup mereka.

Menjadi Kota Kuliner

Wacana Sukabumi menjadi kota kuliner bukan merupakan angan-angan jika melihat realita yang ada dan masih berlangsung sampai sekarang. Ungkapan yang dibahasakan oleh masyarakat seperti ini: “ lauk burineut dipais baé pasti laku dijual di Sukabumi mah!” (Ikan bunkreung dipepes saja sudah pasti laku dijual di Sukabumi), merupakan ungkapan yang didukung oleh realita bagaimana peluang usaha kuliner di Sukabumi dapat dibumikan. Maka, wacana menjadikan Sukabumi sebagai kota kuliner bukan hanya isapan jempol.

Tentu saja mewujudkan Sukabumi sebagai kota kuliner harus ditopang oleh hal krusial lain, distribusi bahan baku dari wilayah terdekat (Kabupaten Sukabumi) harus benar-benar lancar. Hal lainnya, tumbuh dan kembang kuliner di Kota Sukabumi ke depan ditentukan oleh seberapa banyak pengunjung dari luar kota ke wilayah ini. Daya tarik harus diciptakan oleh pemerintah bersama masyarakat Kota Sukabumi sebelum jalan tol Bocimi benar-benar segera mewujud sebagai urat nadi penghubung ibu kota dengan daerah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *