Heri Gunawan : Target Pertumbuhan Ekonomi 2018 Penuh Risiko

JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan memberikan catatan kritis terhadap asumsi makro RAPBN 2018. Salah satunya mengenai target pertumbuhan yang dinilai penuh risiko.

“Pemerintah tetap prudent dalam mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dalam RAPBN 2018. Ada beberapa risiko yang hampir permanen yang perlu diwaspadai,” kata Heri kepada JPNN.com, Selasa (12/9).

Bacaan Lainnya

Risiko dimaksud antara lain proteksionisme perdagangan, rebalancing ekonomi Tiongkok, dollar AS yang cenderung menguat yang memicu pembalikan arus modal di negara berkembang, harga komoditas yang lemah, hingga risiko geopolitik serta isu-isu struktuktural seperti penuaan populasi.

Walaupun dikatakan ekonomi tumbuh tapi di bawah ekspektasi. Sebab, pertanian, industri pengolahan, perdagangan tumbuh melambat, dan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95%. Sehingga, untuk mencapai angka tersebut pemerintah harus bekerja ekstra keras dengan menaikan konsumsi di atas 5%, tumbuhnya investasi di atas 6.5% dan tumbuhnya kredit perbankan di atas 15%.

Selain itu, jika belajar dari sebelumnya saat masih ada program pengampunan pajak, ternyata hanya bisa menutup sebesar Rp 100 triliun. Nah, saat ini pemerintah tidak lagi memiliki program semavam itu. Kemudian, soal short fall pajak sebesar Rp 60-70 triliun harus tetap jadi pertimbangan.

“Saya melihat bahwa angka 5,3 persen adalah angka yang dianggap realistis untuk suatu pemerintahan yang bisa dianggap kurang punya etos kerja yang kuat, serta perlu jaminan dari pemerintah jika pertumbuhan tersebut tidak tercapai, jangan sampai ada pemotongan anggaran lagi untuk daerah,” ujar politikus Gerindra ini.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut harus memiliki multiplier effect. Jika melihat angka gini ratio sebesar 0,38, maka pertumbuhan yang ada menurut dia masih dinikmati oleh segelitir saja.

Kemudian, Inflasi yang dipatok 3,5 persen pada RAPBN 2018 terlampau optimistis. Sebab, jika mengacu tingkat inflasi tahun ke tahun (Juli 2017 terhadap Juli 2016) masih bertengger di angka 3,88 persen. Artinya, bahwa meski administered prices dan volatile food tercatat menurun dan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan daya 900 VA telah selesai, pemerintah hanya mampu menurunkan 0,12 peren dari angka 4 persen.

Begitu juga dengan Nilai Tukar Rupiah pemerintah yang semula diajukan sebesar Rp 13.500, disepakati Rp13.400 dirasa masih terlalu tinggi. Meski sampai saat ini masih tetap dibayangi oleh situasi geopolitik di Timur Tengah, tapi dengan naiknya investment grade mustinya bisa memberi daya tarik positif. Asalkan, pemerintah mau kerja ekstra keras.

Untuk Suku bunga SPN dari yang semula diusulkan 5.3% ditetapkan sebesar 5,2% dengan asumsi semakin meningkatnya investment grade pemerintah, dapat berpotensi mengakibatkan ketatnya likuiditas. Menjadi sebuah pertanyaan yang menarik, disaat BI Rate berada di kisaran 4,5%, belum berbanding signifikan terhadap pertumbuhan kredit.

“Jika itu masih terjadi maka akan berdampak negatif pada sektor riil. Padahal pemerintah sedang dalam tahap memperdalam sektor keuangan sebagai tulang punggung pembangunan,” jelas politikus asal Jawa Barat ini.

Sementara untuk target pembangunan Heri menyoroti betul soal target ketimpangan ekonomi sebesar 0,38 yang masih terbilang besar dalam RAPBN 2018. Angka tersebut masih tetap lampu kuning karena dengan angka demikian berarti ketimpangan masih tetap lebar, yaitu 1 persen orang menguasai sekitar 38 persen pendapatan nasional.

“Selanjutnya, kemiskinan yang masih tetap jadi momok. Bagaimana pemerintah memecahkan hal tersebut, berapa kesempatan kerja baru yang tercipta. Sampai hari ini angkanya masih terbilang rendah, yaitu di mana tiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mencipta 40 ribu kesempatan kerja baru,” tandasnya.(fat/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *