Hergun Singgung Skandal BLBI dan Century, Kuliti Perppu Corona Jokowi

Kapoksi Gerindra Badan Legislasi DRP RI Heri Gunawan. Foto: Istimewa

RADAR SUKABUMI – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menguliti Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara yang diterbitkan dalam rangka penanganan wabah virus corona.

Perppu Corona ini diterbitkan pada 31 Maret 2020, bersamaan dengan kebijakan Presiden ketujuh RI menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat berdasarkan Keppres Nomor 11/2020, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Wrus Disease 2019 (Covid-19).

Bacaan Lainnya

“Meski penerbitan ketiga peraturan perundang-undangan itu terbilang lambat, lebih dua minggu setelah WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, dan kebijakan yang diambil Pemerintah terbilang soft (bukan karantina wilayah) dan menghindari pemerintah pusat dari tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak, namun dukungan secara umum tetap layak diberikan,” ucap Hergun -sapaan Heri Gunawan- dalam keterangan yang diterima jpnn.com (Group radarsukabumi.com).

Dia mencermati, setelah menerbitkan Perppu Corona tersebut, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tanggal 1 April 2020 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun pada angka 2,3 persen, namun tidak menutup kemungkinan terburuk malah akan jatuh menjadi negatif 0,4 persen.

Sementara penjelasan di Perppu itu menyebut angka yang lebih optimistis, pandemi Covid-19 akan mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia, dengan implikasi berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% atau lebih rendah.

“Pernyataan Menkeu Sri Mulyani menjadi sinyal kuat akan lemahnya ketahanan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan,” tukas politikus Gerindra itu.

Secara syarat formil, keadaan negara yang tengah dilanda pandemi Covid-19 dan efeknya berupa penurunan aktivitas perekonomian nasional, menjadikan ihwal kegentingan yang memaksa bagi Presiden Jokowi menerbitkan Perppu telah terpenuhi. Akan tetapi, secara substansi, Hergun lebih kritis menelaahnya.

Perppu Corona sendiri dikeluarkan Presiden Jokowi untuk melegitimasi dua tindakan pemerintah, yaitu untuk penanganan pandemi Covid-19, dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Artinya, pemerintah pusat dan pihak-pihak terkait diberi wewenang menetapkan dua kebijakan, yakni masalah keuangan negara, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Perppu tersebut.

Sayangnya, wakil ketua Fraksi Gerindra ini melihat ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dimaksud, tidak dijelaskan dalam batang tubuh Perppu dan penjelasannya. Faktanya, penjelasan Pasal 1 hanya tertulis “Cukup jelas”. Hal yang sama juga terjadi pada penjelasan Pasal 14 Perppu, yang menggunakan frasa berbeda, yaitu “ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan”.

Adapun kebijakan “stabilitas sistem keuangan” yang dimaksud dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3), yaitu meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Artinya, kata Hergun, Perppu ini bisa digunakan untuk krisis perbankan, baik bank sistemik maupun bank-non-sistmik, dan lembaga keuangan non-bank.

Sementara itu, terkait pemberlakuan ketentuan penanganan krisis untuk “bank bukan bank sistemik” (Pasal 17), Perppu menyatakan bahwa Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) tidak berlaku lagi.

“Pelebaran lembaga keuangan yang ditangani berdasar Perppu ini perlu diwaspadai. Mengingat sejak kuartal akhir 2019 Indonesia dihadapkan pada krisis perasuransian yang tengah dilanda masalah gagal bayar, seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera, dan Asabri, serta krisis bank non-sistemik seperti Bank Muamalat,” kata ketua DPP Gerindra itu.

Kewaspadaan itu juga dilatari oleh pendekatan penyelamatan lembaga keuangan yang berbeda dengan yang diatur dalam UU PPKSK dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. UU PPKSK mendorong penanganan krisis perbankan sistemik dengan pendekatan bail in, yakni menggunakan sumber daya bank bersangkutan yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank. Lalu hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, serta konstribusi industri perbankan.

Sedangkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 melegitamasi pengambilan kebijakan jalan pintas untuk penanganan krisis keuangan, seperti pemberian fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk oleh Menteri Keuangan (Pasal 9 huruf b), atau penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan oleh Pemerintah melalui BUMN untuk para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya (Pasal 11).

Kucuran langsung uang negara juga terlihat dari kewenangan tambahan yang diberikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kepada Bank Indonesia (BI), yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b-f. Selain pinjaman likuiditas khusus untuk bank sistemik (huruf b), kewenangan-kewenangan tambahan dalam huruf c hingga f itu mendorong BI bermain langsung di pasar, dengan membeli surat berharga negara, memberi pinjaman kepada LPS, hingga pinjaman kepada korporasi/swasta yang mempunyai repo surat berharga negara.

“Belajar dari kasus BLBI, betapa sulitnya mengambil kembali pinjaman BI kepada bank-bank swasta tersebut. Di mana nilai uang yang kembali sudah jauh di bawah nilai pinjaman yang diberikan. Potensi kerugian negara akan sangat besar,” sambung wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.

Adapun terkait rencana pemerintah dalam Perppu untuk menaikkan defisit APBN menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020-2022, dengan ketentuan pelebaran itu terus turun hingga menjadi 3% pada tahun 2023, dan jumlah pinjaman yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut dibatasi maksimal 60% dari PDB.

“Pelebaran defisit APBN sebesar 5% dari PDB untuk tahun 2020-2022, dapat diterima. Namun besaran pinjaman hingga 60% dari PDB perlu dikritisi, karena mendorong pemerintah jor-joran berutang ke donor luar negeri, seperti IMF dan Bank Dunia, yang kerap mengintervensi kebijakan nasional,” tegas Anggota Badan Pengkajian MPR-RI tersebut.

Hergun juga melihat mekanisme kontrol dalam Perppu ini sangat lemah. Kontrol terhadap kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11, dilakukan hanya dengan “tetap memperhatikan tata kelola yang baik” (Pasal 12 ayat (1) Perppu). Sementara tambahan kewenangan Pemerintah (Menteri Keuangan), BI, OJK, dan KKSK, yakni kebijakan stabilitas sistem keuangan, tidak disebut secara eksplisit.

Malahan Pasal 27 Perppu ini menyatakan bahwa biaya atau belanja anggaran berdasar Perppu ini merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara, sehingga para pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan menjalankan belanja anggaran dalam rangka pelaksaan Perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, biaya dan kebijakan dimaksud pun tidak bisa digugat secara TUN.

Bagi Hergun, ketentuan Pasal 27 itu terbilang aneh. Ketentuan sejenis dulu pernah ada di masa Presiden SBY, yaitu dalam Perppu JPSK (Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan), dalam rangka menghadapi krisis keuangan tahun 2008. Pasal 29 Perppu JPSK menyatakan, Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Perppu itu tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya.

“Perppu JPSK itu ditolak oleh DPR, antara lain karena memuat imunitas (kekebalan hukum) para pengambil kebijakan penanganan krisis dan para pelaksananya,” jelasnya.

Perdebatan mengenai imunitas itu terus berlangsung, 2008-2010, karena kasus Bank Century dan terbentuknya Pansus DPR, kembali terulang di tahun 2016 dan berakhir ketika DPR dan pemerintah menyepakati perumusan normanya dalam UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), yakni dalam Pasal 48 ayat (1), bahwa dalam hal terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, maka hak imunitas itu hilang.

Nah, apabila Perppu No 1/2020 mau mengembalikan imunitas para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan penanangan krisis tersebut, kata Hergun, maka hal ini merupakan kemunduran legislasi, dan patut dipertanyakan motif politik hukum demikian.

“Jangan beri celah terjadinya moral hazard di pemerintahan. Jangan sampai terjadi lagi pembobolan keuangan negara seperti kasus bailout Bank Century 2009,” tandasnya. (fat/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *