ILUSTRASI: Sejumlah pelajar mengerjakan soal ujian akhir semester (UAS). IST

Banyaknya regulasi pada sistem pendidikan Indonesia membuat kinerja menjadi kurang maksimal. Hal itu diungkapkan Najelaa Shihab, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dalam diskusi bersama wartawan di Jakarta, RABU(10/1). “Begitu banyak regulasi, yang kalau dihitung saya kira ada ribuan,” ungkap Najelaa Shihab atau yang disapa Najwa Shibab ini.

Regulasi itu berkaitan dengan indikator-indikator dan standar-standar tertentu yang dikeluarkan tidak hanya oleh penyelenggara pendidikan nasional seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tapi juga instansi lain. Salah satu contoh adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Bacaan Lainnya

SPM adalah program nasional yang diperkenalkan sejak 2004, berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri. SPM pendidikan, misalnya, mengatur ketersediaan satuan pendidikan dalam jarak maksimal tiga kilometer (km) untuk SD, serta enam km untuk tingkat SMP.

Ia memberikan contoh kasus Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sebuah sistem pendataan skala nasional terpadu dan sumber data utama pendidikan nasional yang harus diisi oleh seluruh sekolah dan guru di Indonesia. Data ini akan dipakai untuk mengetahui siswa mana saja yang akan mengikuti Ujian Nasional (Unas). “Dalam sistem yang perlu mengisi ribuan entri itu siapapun akan kesulitan,” katanya.

Belum lagi standar pelaporan yang berbeda-beda antar instansi. “Karena standarnya beda-beda, katakanlah Kemendagri dan Kemendikbud, maka ketika sekolah bikin laporan, mereka harus menyesuaikan dengan standar itu. Pada akhirnya itu jadi beban administrasi,” katanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *