Tabiat Tidak Terpuji Jokowi dengan Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan

RADARSUKABUMI.com – Kebijakan pemerintah Indonesia kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan terus menuai kecaman. Kali ini Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang menilai Presiden Joko Widodo tidak komitmen dan mempertontonkan tabiat tidak terpuji.

Peneliti Lokataru Fian Alaydrus menyayangkan langkah Pemerintah yang kembali menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan.

Bacaan Lainnya

Padahal, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini akan berlaku bertahap mulai 1 Juli 2020.

Lokataru Foundation menilai, Pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga. Sejak awal, kebijakan menaikkan iuran hanya untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan.

“Kebijakan Presiden yang ngotot menaikan iuran BPJS Kesehatan meski sebelumnya telah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung, adalah sebuah tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara,” kata peneliti Lokataru Fian Alaydrus dalam keterangannya, Rabu (13/5/2020).

Langkah Presiden Jokowi itu juga menunjukkan sikap pemerintah yang mempermainkan perasaan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari lalu, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas.

“Seharusnya Pemerintah tetap teguh berpegang pada prinsip pedoman hak atas kesehatan, salah satunya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga,” tegae Fian.

Menurutnya, aksi protes turun kelas jelas mengabarkan bahwa warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial. Sayangnya, Pemerintah tidak memiliki sensitifitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut, malah tetap memilih menaikkan iuran.

Menurutnya, kebijakan Presiden yang tetap menaikan iuran BPJS Kesehatan meski telah dibatalkan oleh keputusan MA merupakan sikap tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Fian menegaskan, keputusan MA seharusnya mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden. “Perpres Nomor 64/2020 tak lain adalah sebuah upaya melawan hukum,” sesal Fian.

Sementara itu, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir menyatakan, sebagai pihak yang menggugat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 ke MA, kabar Pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi.

Tony memandang, kebijakan Pemerintah mengancam keselamatan pasien penyakit kronis, seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan hemodialisa/cuci darah demi kelanjutan hidup.

“Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan yakni pada April, Mei, Juni,” sesal Tony.

Oleh karena itu, meminta Presiden Jokowi untuk tetap komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas jaminan kesehatan warga, terutama di tengah pandemi Covid-19.

Bahkan, Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memperbaiki tata kelola lembaga, serta mengevaluasi permasalahan-permasalahan yang selama ini masih terjadi pada penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebelum menaikan besaran iuran BPJS Kesehatan.

“Kepada Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk membuka kepada publik dokumen hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan,” tegas Tony.

(jpg/fat/pojoksatu/izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *