Sita Semua Aset Bandar PCC, Untuk Ganti Kerugian Korban

JAKARTA— Nasib bandar besar tablet PCC (Paracetamol, Caffein dan Carisoprodol) habis. Langkah Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipid Narkoba) Bareskrim menerapkan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus tersebut membuka peluang untuk memberikan ganti rugi pada para korban PCC.

Direktur Dittipid Narkoba Bareskrim Brigjen Eko Daniyanto menuturkan, semua aset milik bos besar bandar PCC seperti, lahan pabrik, rumah, hingga kendaraan yang diduga hasil dari penjualan PCC itu tentu harus disita. ”Sudah saya utarakan, jeratnya juga pakai TPPU,” jelasnya.

Bacaan Lainnya

Dengan begitu diharapkan, bos besar PCC ini tidak lagi mampu untuk membuat PCC. Sebab, kemampuan finansialnya untuk membuat obat itu sudah hilang. ”Semua mesin untuk produksi obat itu juga disita lho,” ujarnya kemarin.

Langkah menerapkan TPPU tidak hanya menghentikan kemungkinan bos besar itu menghidupkan kembali bisnis haramnya, namun juga bisa digunakan untuk memberikan ganti rugi pada korban. Jumlah korban PCC yang tercatat hingga saat ini 86 orang, walau diprediksi lebih banyak lagi.

Pakar TPPU Yenti Ganarsih menjelaskan, dalam undang-undang TPPU disebutkan bahwa harta hasil kejahatan itu disita untuk diserahkan pada yang berhak. Dalam kasus narkotika atau penyalahgunaan obat-obatan semacam ini yang berhak adalah para korban. ”Bukan disita untuk negara,” terangnya.

Korban ini menggunakan obat PCC karena berbagai sebab, seperti dirayu orang dan coba-coba. Untuk yang tingkatnya lebih akut tentu karena kecanduan. Selanjutnya, mereka banyak yang kolaps karena over dosis.

Kondisi itu tentu menegaskan bahwa korban merupakan yang paling berhak atas ganti rugi dari aset bandar PCC. ”Ganti rugi itu penting untuk recovery dari para korban. Dalam kasus narkotika, rehabilitasi itu harusnya dibayarkan dengan uang penyitaan aset bandar,” terangnya.

Apakah negara berhak untuk mendapatkan harta penyitaan bandar PCC? Dia menjelaskan bahwa dalam kasus korupsi, jelas uang negara yang diambil. Maka, uang kembali ke negara. Namun, berbeda dengan uang hasil narkotika. ”Siapa yang membeli narkotika, masyarakatkan. Terutama, korbannya yang sekarang sakit,” jelasnya.

Apalagi, aturannya negara sama sekali tidak boleh menerima uang hasil kejahatan. Pun kalau berhak hanya sebatas pada penyelenggaraannya dalam mendapatkan aset hasil kejahatan. ”Misalkan, BNN dan Dittipid Bareskrim itu berhak untuk mendapatkan uang hasil kejahatan narkotika, tapi sebatas hak karena penyelenggara,” terangnya.

Masalahnya, hingga saat ini mekanisme untuk pembagian aset tindak hasil kejahatan itu belum ada. Walau, sudah lama sudah ada rancangan undang-undang (RUU) perampasan aset tindak hasil kejahatan. ”tapi, belum kelar juga sampai sekarang,” tegasnya.

Dengan belum jelasnya RUU tersebut, tampak sekali bahwa pemerintah tidak mau mencari solusi atau melakukan evaluasi atas permasalahan masyarakat dalam penggunaan narkotika.”Kalau uang bandar yang disita masuk ke negara terus, ya negara mencicipi uang hasil kejahatan. Seharusnya, segera untuk diberikan pada korban dan lembaga yang terkait untuk mengentaskan masalah narkotika,” terangnya.

Pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada pengungkapan pembuat PCC saja. Akan tetapi, korban pun hendaknya juga mendapatkan perhatian. Menurut Kepala Departemen Saraf Jiwa Rehabilitasi Medis Letkol Laut (K) dr I Ketut Tirka Nandaka SpKJ (K) mengatakan bahwa perawatan korban PCC haruslah melalui medis dan rehabilitasi jiwa. ”Terapi ini untuk yang kecanduan dan pemakaian dalam waktu lama,” terangnya.

Terapi medis yang dimaksudkan Tirka adalah untuk mengeluarkan racun dari PCC yang sudah masuk ke dalam tubuh. Dengan dikeluarkan racun ini, efeknya diharapkan akan berkurang. Terutama soal ketergantungan.

”Kalau rehabilitasi jiwa ini dibutuhkan karena biasanya mereka yang sengaja untuk memakai ada masalah psikologis,” jelasnya. Sehingga obat tersebut dijadikan seperti solusi untuk pelariannya. Terapi jiwa ini terdiri dari beberapa rangkaian, yakni psikoterapi, konseling, terapi kelompok, terapi sosial, dan terapi spiritual.

Sementara itu untuk mereka yang sampai overdosis, maka satu-satunya jalan adalah terapi intensif di rumah sakit. Baru setelahnya mereka melakukan terapi jangka panjang.
Tirka pun menyarankan adanya pendekatan dengan keluarga. Tujuannya agar keluarga dapat mengawasi dan memperlakukan si anak dengan tepat.

Sementara itu sampai sejauh ini, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum ada rencana untuk memanggil apoteker untuk melakukan konsolidasi pengawasan obat jenis G atau obat keras ini. ”Kami terus melakukan pengawasan dengan kerjasama dengan seluruh pihakt,” beber Ketua BPOM Penny Lukito.

Sementara itu Ketua PP Ikatan Apoteker Indonesia Nurul Fallah menjelaskan bahwa pihaknya akan segera koordinasi dengan Kapolri. Hal ini terkait dengan adanya sweeping apotek di beberapa daerah di Indonesia. Sayangnya saat ditanya kapan, dia belum bisa menjawab koordinasi dengan Kapolri. ”Kami akan koordinasi lagi terkait hal ini,” jelas Fallah. (idr/lyn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *