Awas 2023 Kemarau Ekstrim

Ilustrasi Kemarau
Ilustrasi Kemarau

JAKARTA – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau di tahun ini akan lebih kering jika dibandingkan dengan periode tiga tahun terakhir (2020-2022).

Kondisi cuaca yang kering ini berpotensi mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sehingga langkah pencegahan harus dilakukan semua pihak terkait sebagai bentuk mitigasi dan antisipasi.

Bacaan Lainnya

Kepala BMKG Dwikorita mengungkapkan, mumpung saat ini hujan masih turun, sehingga pihaknya pun mengimbau masyarakat dan pemerintah daerah agar melakukan aksi panen hujan. Yakni dengan cara menampungnya menggunakan tandon air atau bak penampung.

Di mana, pada saat kemarau nanti, air tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Utamanya daerah-daerah yang rawan kekeringan, seperti Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat,” ungkapnya, kemarin.

Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jarot Widyoko mengungkapkan, mengantisipasi datangnya musim kemarau yang lebih kering, pihaknya akan menginventarisasi semua sumber air.

Antara lain, memastikan pemanfaatan volume air di bendungan dengan cara mengatur volume semaksimal mungkin. “Untuk itu yang sangat diperlukan adalah pengoperasian pintu-pintu bendungan,” jelasnya.

Selain itu, dikatakan Jarot, akan dilakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan seluruh sumur eksisting yang ada. Yakni sekitar 3.230 titik di 20 provinsi dan merehabilitasi sumur-sumur eksisting sebanyak 25 titik di 12 provinsi.

Hal tersebut dilakukan karena tidak semua provinsi di Indonesia memiliki sumber air yang memadai, seperti bendungan untuk menunjang kebutuhan masyarakat di musim kemarau.

Kemudian, lanjut Jarot, juga disiapkan skenario untuk melakukan pengeboran sumur-sumur baru di daerah kering air. Yakni kurang lebih 37 titik di 19 provinsi. Pihaknya akan mulai bergerak mengebor titik-titik yang diprediksi akan terjadi kekeringan tersebut pada Maret 2023. “Jadi, ini jangan sampai sudah terjadi kekeringan baru bergerak,” ucapnyanya.

Terpisah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyiapkan misi hujan buatan untuk mengantisipasi bencana kekeringan. Persiapan ini dilakukan untuk merespon prakiraan cuaca dari BMKG. Seperti diketahui BMKG menyampaikan musim kemarau 2023 lebih kering dibandingkan tiga tahun terakhir.

Direktur Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran BRIN M. Abdul Kholiq menyatakan hujan buatan itu bagian dari Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Nantinya TMC atau modifikasi cuaca dijalankan untuk menjaga ketersediaan air di sejumlah waduk irigasi dan PLTA.

“BRIN telah menjalin komunikasi dengan Kementerian PUPR dan beberapa pengelola waduk,” katanya. Di antaranya pengelola waduk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, DAS Cascade Citarum, dan Danau Toba untuk melaksanakan operasi TMC.

Dia menegaskan misi TMC untuk mengantisipasi defisit air pada musim kemarau 2023.

Melalui teknologi tersebut, diharapkan bisa memaksimalkan proses terjadinya hujan pada awan-awan yang tumbuh di sekitar waduk. Hujan hasil TMC akan lebih besar intensitasnya dibandingkan dengan hujan alami tanpa intervensi TMC. Sehingga diharapkan volume air yang dihasilkan juga akan lebih besar.

Kholiq menambahkan, TMC di sejumlah waduk akan dilaksanakan pada masa peralihan. Yaitu dalam kondisi daya tampung waduk masih mencukupi dan awan-awan potensial layak semai masih tersedia.

Misi hujan buatan saat kemarau juga untuk membasahi lahan gambut. Sehingga bisa mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. Selain itu hujan buatan juga untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang sudah terlanjur terjadi. (gih/wan)

Pos terkait