Aman Abdurrahman Dihukum Mati, LBH Ini Tak Setuju

Usai terjadinya teror bom bali yang menelan 202 korban jiwa, terdiri atas 164 warga negara asing dan 38 warga negara Indonesia, serta 209 orang, pemerintah terhitung telah mengeksekusi mati tiga terpidana teroris pada November 2008 lalu.

Berita Terkait : Akhir Perjalanan Pimpinan ISIS Indonesia

Bacaan Lainnya

Mereka merupakan Abdul Aziz alias Imam Samudra, Ali Gufron alias Mukhlas dan Amrozi yang divonis mati karena perbuatannya tersebut. Vonis mati tersebut lantaran ketiga orang itu dianggap sebagai otak pelaku bom Bali.

Ketiga orang terpidana mati tersebut merupakan elite dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Hal ini berbeda dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang diduga berafiliasi dengan ISIS.

Tokoh JAD yang diduga telah berbaiat ISIS pada 2015 lalu, Oman Rachman alias Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman baru saja dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) dengan hukuman mati. Lalu apakah Aman bakal dieksekusi mati atas perbuatannya.

Tuntutan mati terhadap pimpinan organisasi teroris JAD itu setelah pengadilan dinilai terlibat dalam serangkaian aksi teror di Indonesia. Sebab, Aman diduga banyak merekrut anak buah untuk melakukan aksi teror.

Namun, tuntutan mati terhadap Aman mendapat kecaman dari Lembaga Bantuan hukum (LBH) Masyarakat yang menolak pimpinan ISIS Indonesia itu di hukum mati. Sebab, hukuman mati tidak mengurangi serangan teror yang terjadi di Indonesia.

“Kami LBH Masyarakat turut mengecam keras dan berbelasungkawa atas jatuhnya korban jiwa. Namun demikian kami meyakini bahwa menghukum mati pelaku terorisme hanya melanggengkan lingkarana kekerasan dan tidak menyelesaikan akar kejahatan terorisme,” kata Koordinator LBH Masyarakat, Ricky Gunawan dalam keterangan tertulis, Jumat (18/5).

Setelah eksekusi mati terhadap Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron pada 2008, aksi terorisme tidak kunjung surut dan paham radikalisme juga masih subur. Karena itu, Ricky menilai, tuntutan hukuman mati terhadap pelaku terorisme hanya akan menempatkan pelaku sebagai martir dan berpotensi menarik simpati dari banyak orang.

“Kita pasti geram dan marah terhadap maraknya aksi terorisme yang ramai terjadi belakangan ini. Tetapi respons kita terhadap serangan keji tersebut hendaknya tidaklah emosional dan harus tetap berlandaskan pada strategi yang komprehensif, terukur, berbasis bukti, dan tetap menghormati norma-norma hak asasi manusia,” pungkasnya.

(rdw/JPC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *