Dana Nganggur Papua Capai Rp 3,91 T

JAKARTA – Provinsi Papua tengah menjadi sorotan akibat kasus luar biasa (KLB) gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat. Potret kesenjangan pembangunan
di Papua pun menyeruak. Ironi mencuat lantaran dana otonomi khusus (otsus) yang dikucurkan tiap tahun sedemikian besar.

Dana otsus yang dianggarkan untuk Papua tahun lalu mencapai Rp 60 triliun. Di luar bujet tersebut, ada kucuran dari kementerian/lembaga (K/L), yakni anggaran kesehatan dan pendidikan sebesar Rp 20 triliun.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro menyatakan, pada 2016 sekitar 50 persen dari total dana tersebut hanya menumpuk di lima kabupaten, terutama wilayah pesisir pantai.

’’Seharusnya itu benar-benar tersebar dengan baik sesuai kebutuhan berbagai kabupaten. Jadi, (penggunaan anggaran,Red) masih belum sesuai dengan kebutuhan,’’ ujar Bambang.
Mantan Menkeu itu melanjutkan, dengan besarnya jumlah alokasi anggaran tersebut, pemerintah daerah seharusnya mampu menggunakannya dengan baik. ’’Itu malah bisa menimbulkan kecemburuan daerah lain karena tidak ada yang sebesar itu. Kita harap alokasi anggaran semakin baik dengan prioritas pada kesejahteraan masyarakat dan pelayanan dasar,’’ tutur Bambang.
Sementara itu, besaran dana idle atau dana menganggur di Provinsi Papua hampir mencapai Rp 4 triliun pada akhir Desember 2017.

Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo mengungkapkan, posisi simpanan pemda se-Provinsi Papua secara agregat tercatat Rp 3,91 triliun tahun lalu. Pada tahun sebelumnya, posisi da na idle di Papua mencapai Rp 4,51 triliun. ’’Posisi simpanan pemda pada akhir Desember 2017 mengalami penurunan Rp 0,6 triliun atau turun 13,24 persen dibandingkan posisinya pada akhir Desember 2016,’’ katanya kepada Jawa Pos kemarin.
Boediarso menuturkan, dana simpanan pemda di perbankan pada dasarnya merupakan pendapatan APBD yang belum digunakan untuk mendanai rencana belanja daerah.

Hal tersebut, antara lain, disebabkan sebagian kegiatan fisik atau proyek yang belum dilaksanakan atau kegiatannya sudah dilaksanakan,
tetapi belum selesai. Akibatnya, pembayarannya belum bisa dilunasi. Menurut Boediarso, jika jumlah dana tersebut sudah melampaui kebutuhan belanja operasional dan belanja modal tiga bulan mendatang, harus di waspadai. Sebab, kondisi itu berpotensi menimbulkan keterlambatan pelaksanaan kegiatan atau
proyek fisik. (ken/c15/sof)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *