Alasan Murah, Remaja Pilih Obat G

Meningkatnya peredaran obat tipe G jenis Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC) ditengah generasi muda saat ini dinilai karena lemahnya pengawasan pemerintah terhadap peredaran obat tersebut. Padahal dampak dari penyalahgunaannya tidak bisa dianggap sepele, bukan hanya soal keselamatan nyawa penggunanya saja tetapi juga menjadi pemicu tingginya angka kriminalitas dan permasalahan sosial. Alasan lain yang menyebabkan peredaran PCC ini menjadi marak adalah harganya yang relatif mudah terjangkau bagi kalangan remaja.

Miris, kata yang tepat untuk menggambarkan tingkat konsumsi obat tipe G dikalangan anak muda yang cenderung terus meningkat. Ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah barang bukti obat terlarang yang dimusnahkan aparat Kejaksaan Negeri Sukabumi, baru-baru ini.

Sepanjang tahun 2017 ini, lembaga Adhiyaksa tersebut berhasil menuntaskan perkara peredaran obat terlarang yang seluruhnya berjumlah 35,079 butir obat untuk jenis G antara lain Tramadol dan Dumolit; 60 butir Alphazolam dan 300 butir obat jenis Riklona.

Banyaknya barang bukti tersebut kontan memunculkan spekulasi yang menyebutkan lemahnya penegakan hukum termasuk pemberian sanksi hukum penjara terhadap para pelaku peredaran obat terlarang. Tidak hanya itu langkah tegas dari pemerintah daerah maupun intansi terkait juga mulai diragukan.
Ketua Sukabumi Civil Society Forum (SCSF) Ahmad Fikri menilai maraknya peredaran obat terlarang terutama tipe G saat ini tidak terlepas dari fungsi pengawasan pemerintah yang terbilang lamban. Aksi razia atau sweeping dilakukan setelah obat murah tersebut menimbulkan korban jiwa.

“Kalangan remaja akan kesulitan untuk bisa menikmati narkotika jenis apapun atau minuman keras karena beberapa alasan, selain harganya yang terbilang mahal juga peredarannya sangat terbatas. Berbeda dengan obat PCC, mereka bisa mendapatkannya secara mudah karena harganya yang terjangkau,” jelas Ahmad Fikri.

Perbandingannya dengan uang sebesar Rp10.000, seorang remaja bisa mendapatkan empat butir obat PCC. Sedangkan harga minuman keras bisa mencapai lebih dari Rp60.000, terlebih lagi narkotika jenis sabu-sabu dan ganja yang harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.

Saat ini peredaran obat tipe G tidak dijual secara bebas di apotek maupun toko obat karena terdapat larangan keras dari pemerintah. Namun para pelaku peredaran obat, tidak pernah kehilangan akalnya untuk tetap bisa meraup keuntungan besar ditengah ketatnya pengawasan pemerintah.

Diduga kali ini mereka memanfaatkan warung-warung kecil sebagai tempat penjualan obat PCC. Dari hasil investigasi ada satu obat dengan nama Reklona itu dijual dengan harga Rp4000 per butirnya. Padahal obat tersebut seharusnya dikonsumsi untuk orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau mental.

“Saya miris, saat ini obat jenis tipe G seperti tramadol, eximer itu di jual di warung-warung dan itu tanpa pengawasan,” Ahmad. Tidak adanya penindakan serius dari pemerintah membuat peredaran semakin tidak terkontrol. Dampaknya adalah jumlah korban kian bertambah banyak.

Sementara itu Kepala BNN Kota/Kabupaten Sukabumi Yus Danial menjelaskan pihaknya sudah berupaya untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Program pencegahan lebih ditujukan bagi kelompok anak-anak sekolah, remaja, dan mahasiswa.
” Mereka itu generasi penerus bangsa.

upaya pencegahan dan perlindungan terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika harus menjadi gerakan yang menyeluruh, baik global, regional maupun nasional,” tegasnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *