Ribka Tjiptaning Bersama Orang-orang Penting tentang PKI

RADARSUKABUMI.com – Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyayangkan stigmatisasi terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih berlangsung di Indonesia.

Menurut Asvi, stigma terus diterima keturunan dari para pihak yang dituduh rezim Orde Baru (Orba) terlibat PKI. Mereka dianggap PKI hanya karena orang tuanya pernah dianggap PKI oleh rezim Orba.

Bacaan Lainnya

Asvi mengungkapkan itu dalam diskusi virtual bertema Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI yang dipandu pemimpin redaksi Historia, Bonnie Triyana, Selasa (7/7).

“Kalau seseorang jadi PKI, anaknya tak menanggung dosa dia. Itu sama dengan jika seorang ayah melanggar hukum, anaknya kan tak harus diadili. Kita tak menganut dosa turunan,” kata Asvi.

Dia lalu mencontohkan bagaimana stigma tak berdasar terus dialamatkan kepada Ribka Tjiptaning, salah seorang anggota DPR dan politikus PDI Perjuangan (PDIP).

Stigma itu muncul karena Ribka menulis sebuah buku tentang pengalamannya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI. Sampai hari ini, kata Asvi, Ribka dianggap PKI.

Bahkan, dari situ DPR dianggap mengakomodasi PKI. PDIP sampai dituduh mempunyai 85 persen anggota bekas PKI.

“Kalau bapaknya PKI atau anggota organisasi kemasyarakatan kiri, anaknya tidak otomatis menganut ajaran komunis, apalagi ajaran itu tidak bisa dikembangkan di Indonesia. Stigma terhadap anak PKI itu seharusnya bisa dihilangkan,” ucap dia.

Asvi lantas menjelaskan isi buku yang dituliskan Ribka tentang pengalamannya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI. Ribka bercerita lewat bukunya, soal bagaimana kesulitan hidup seorang anak setelah ayahnya ditangkap atas tuduhan PKI. Ribka yang kesulitan keuangan kemudian berjualan sayur hingga lemper, demi menghidupi keluarga.

Menurut Asvi, isi buku itu lebih menekankan soal sisi kemanusiaan seorang Ribka. Hal inilah yang membuat Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bersedia menuliskan kata pengantar di buku yang dituliskan Ribka.

“Gus Dur dalam kata pengantar buku itu menulis dengan alasan kemanusiaan, bahwa ada satu orang anak perempuan distigma PKI, sehingga mengalami berbagai hambatan di kehidupannya,” lanjut Asvi.

Lebih lanjut, ujar Asvi, Ribka tidak pernah menuliskan dalam bukunya soal 85 persen anggota PDIP ialah PKI. Tuduhan seperti itu, kata dia, ialah fitnah yang bisa berujung pidana.

“Tak ada sama sekali di buku itu bahwa 85 persen PDIP itu PKI. Kalau ada yang menyatakan itu, harusnya dia diadili. Ini perlu ditekankan, meskipun orang tuanya dituduh PKI, anaknya belum tentu. Jadi hemat saya, jangan ada lagi tuduhan PKI di DPR atau di partai tertentu,” lanjut dia.

Pria asal Bukittinggi itu menerangkan, sangat sulit PKI tetap tumbuh di Indonesia. Pasalnya, di Indonesia berlaku TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang penyebarluasan ajaran komunisme. “Kalau ortunya PKI atau ormas kiri, anaknya tak otomatis menganut komunis. Terlebih lagi, ajaran itu tak bisa lagi dikembangkan di Indonesia,” lanjut Asvi.

Asvi lalu membandingkan kisah Ribka dengan Okky Asokawati, mantan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini pindah ke Partai Nasdem. Okky ialah anak dari AKBP Anwas Tanuamidjaja. Anwas dianggap sebagai orang kedua setelah Letkol Untung, dalam peristiwa G30S/PKI. Okky pun mengalami penderitaan yang sama dengan Ribka karena ayahnya ditahan belasan tahun.

Dengan topangan ibunya mengajar les piano, Okky berkarier sebagai peragawati, yang kerap dilakukannya sembari mengunjungi ayahnya di tahanan.

“Okky tak memilih ayahnya jadi komandan G30S, tetapi faktanya demikian. Okky sendiri bukan komunis dan bahkan solehah. Tak ada skandalnya sebagai bintang film, sebagai anggota DPR juga diteladani. Bukunya tak dipermasalahkan orang karena judulnya Jangan Menoleh Ke Belakang. Beda sama Ribka. Padahal ayahnya orang kedua di G30S, tetapi ini bukan salah Okky sehingga ayahnya ditangkap dan ditahan,” ulasnya.

Satu lagi kisah datang dari Reza Rahadian, seorang aktor terkenal yang memiliki nenek bernama Fransisca Casparina Fanggidaej. Neneknya itu merupakan anggota Parlemen Indonesia yang kebetulan di tahun 1965 sedang berada di Beijing. Mengetahui situasi politik terkait PKI saat itu, Fransisca memilih bertahan.

Dia tak kembali supaya anak serta keluarganya tak dikaitkan dengan PKI. Menurut Asvi, Fransisca sudah berjuang untuk kemerdekaan RI dan ikut terlibat di perjuangan 10 November 1945 di Surabaya. “Dia dekat Soekarno, dan takut pulang.

Selama 20 tahun di Tiongkok, lalu minta suaka ke Belanda. Dari sana dia mengabarkan ke keluarganya bahwa dia masih hidup. Bayangkan dia memendam rahasia 20 tahun. Bayangkan hidup anaknya di Indonesia.

Dia khawatir kalau anaknya dia beritahu pada 1965, anak-anaknya ditangkap,” kata Asvi.

Bagi Asvi, sama seperti anak keluarga terkait pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, dan RMS, seharusnya anak-anak keluarga yang dikaitkan PKI tak menjadi korban.

Sebab kesalahan orang tua tak seharusnya menjadi tanggung jawab anak dan cucu.

“Saya ingin katakan bahwa partai dan DPR itu bersih dari PKI. Jangan ada tuduhan lagi. Tak ada partai yang PKI sekarang ini. Kalau ada buktinya langsung laporkan ke Bareskrim. Tak ada di parlemen itu PKI. Bahaya laten PKI adalah halusinasi menurut saya,” pungkas Asvi. (mg10/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *