Kemenag Cabut Izin Ponpes Milik HW

Kepala Kemenag Kota Bandung Tedi Ahmad Junaedi
Kepala Kemenag Kota Bandung Tedi Ahmad Junaedi

BANDUNG – Kementerian Agama (Kemenag) RI sudah mencabut izin operasional pondok pesantren di Bandung, milik HW pelaku terduga pencabul 12 santriwati.

Kepala Kemenag Kota Bandung Tedi Ahmad Junaedi mengatakan, sejak kasus ini terkuak Juni lalu, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jabar untuk meninjau ulang operasional lembaga pendidikan tempat HW mengajar.

Bacaan Lainnya

“Kalau lembaganya oleh Kemenag RI sudah dipastikan proses pencabutan izinnya. Karena yang berwenang mencabut izin yaitu Kemenag RI,” kata Tedi pada keterangan resminya, Sabtu (11/12).

Tedi mengungkapkan Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) yang diselenggarakan oleh yayasan ponpes tersebut hanya mendapatkan izin untuk di Antapani. Namun, pesantren yang berlokasi di Cibiru berdiri tanpa izin Kemenag.

“Ketika lokasinya berbeda harus ada izin terpisah, yaitu izin cabang. Pelaku belum urus izin cabang di Cibiru, yang katanya boarding school. Sebelumnya, kami tidak mengetahui pendirian cabang di Cibiru,” ujarnya. Menurut Tedi, ketika kasus pencabulan dilakukan oleh seorang oknum guru ngaji, pihaknya langsung menjalankan sejumlah langkah strategis untuk menangani kasus tersebut.

Kemenag Bandung juga langsung bergerak cepat menangani kelanjutan pendidikan para santriwati yang terdata di lembaga tersebut dengan melakukan pembekuan operasional lembaga. Hal itu bertujuan agar bisa segera memindahkan ke lembaga pendidikan lain.

Menurut Tedi pihaknya akan memindahkan seluruh santriwati yang ada di lembaga tersebut, total ada 35 orang yang terdaftar, dan semuanya difasilitasi.

“Kami rapat dengan provinsi dan seluruh pokja PKPPS berkoodinasi siapa yang akan menampung 35 anak ini. Walaupun keputusannya tetap itu tergantung anak. Sebagian besar anak mau ke sekolah formal,” terangnya.

Kemenag juga memfasilitasi seluruh proses administrasi hingga anak dipastikan mendapat tempat di sekolah yang baru, baik ponpes ataupun sekolah formal.

Saat ini, pihaknya tengah berkoordinasi bersama pihak kepolisian untuk bisa mengakses ke bangunan sekolah yang sudah disegel untuk mengambil sejumlah kelengkapan administrasi peserta didik.

“Dari aduan orangtuanya, masih ada 16 anak yang belum punya ijazah setara paket B dan C. Padahal sudah lulus sejak 2019 dan 2020, tetapi belum diberikan. Kami terus berkoordinasi dengan kepolisian dan kini bangunannya sudah diamankan,” tandasnya.

Tedi mengungkapkan Kemenag ikut melaksanakan pendampingan terhadap kasus pencabulan santri itu secara proporsional. Hal itu disampaikan saat rapat dengan DP3A Jabar dan Polda Jabar.

“Kasus kriminalnya ditangani oleh Polda Jabar, psikologi anak oleh Dinas DP3A, dan Kemenag membina serta menangani kelembagaan, juga kelanjutan pendidikan tersebut,” sambungnya. (mcr27/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *