Kisah Brigadir Saleh Dirikan Sekolah untuk Anak-anak Bombana

Apa yang dilakukan Brigadir Polisi Muhamad Saleh untuk anak-anak di Desa Tunas Baru, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara patut diacungi jempol.

MOHMESYA AMAD, Jakarta

Bacaan Lainnya

Sebagai pembina keamanan dan ketertiban masyarakat di desa tersebut, Saleh merasa terenyuh melihat kesulitan anak-anak untuk sekolah.

Untuk ke sekolah, anak-anak Desa Tunas Baru harus jalan kaki melewati jalan poros yang jaraknya 5-8 kilometer. Hal ini sangat membahayakan keselamatan anak-anak.

Memang ada sebagian orang tua yang mengantarkan anaknya. Namun, ketika air laut pasang banyak orang tua memilih menjaga tambak ikan dan udangnya ketimbang mengantar anaknya.

Menurut pria kelahiran Raha, 2 Februari 1985, jenis pekerjaan warga Desa Tunas Baru, 90 persen adalah petani tambak. Pekerjaan mereka sangat tergantung dengan cuaca air laut. Hal inilah yang membuat angka anak putus sekolah di desa tersebut tinggi.

Ingin agar anak-anak tetap mendapatkan pendidikan, Brigadir Saleh pun tercetus ide membangun sekolah dasar. Ide itu mendapat sambutan positif masyarakat dan Kades Baharudin Tola.

Apalagi desa ini ternyata sudah lama mengidamkan ada sekolah. Mereka kemudian konsultasi ke Dinas Pendidikan Bombana.

“Waktu itu dibilang syaratnya adalah harus punya murid, guru, dan hibah tanah atau sertifikat. Alhamdulillah tiga syarat itu terpenuhi sehingga Juli 2015, saya langsung membuka kelas baru walaupun darurat dan surat izinnya belum keluar,” kata Brigadir Saleh di sela-sela penyerahan Frans Seda Award (FSA) 2018 yang digelar Unika Atma Jaya, Jumat (26/10).

Awalnya, Brigadir Saleh dan Erniwati, istrinya mengajar sebelas anak di bawah kolong rumah kepala desa (kades). Berkat sumbangan dari warga, sehingga terbentuklah sekolah darurat dengan tiga kelas yaitu kelas 1,2,3.

Awalnya hanya Saleh dan istrinya sebagai guru, tetapi pada akhirnya Saleh mendapatkan tiga guru yang bisa mengajar di masing-masing kelas dengan menggaji ketiga guru tersebut menggunakan uang milik Saleh.

“Sekarang kami dapat bantuan dana pendidikan untuk pembangunan tiga ruang kelas baru. Saat ini ada kepsek, tiga guru kelas, satu guru agama. Walaupun gajinya dibayar Rp 300 ribu per triwulan tapi para guru ini semangatnya luar biasa.

Alhamdulillah juga kami akan mendapatkan tambahan dua guru PNS,” tutur Saleh yang atas dedikasinya bisa meraih penghargaan FSA 2018 kategori bidang pendidikan.

Kategori bidang kemanusiaan diraih Edi Syahputra dari Langkat, Sumatera Utara. Pendiri Sanggar Tratama ini bercita-cita untuk menjauhkan generasi muda di desa dari hiburan yang tidak jelas, narkoba, dan game online. Perlahan-lahan terwujud dengan menciptakan generasi CIS (Creative Innovative Sinergy) melalui Sanggar Tratama yang ia dirikan.

Sanggar Tratama mengajarkan seni tari dan musik, pengembangan kapasitas pemuda, kelas inspirasi terbuka dan kewirausahaan. Memberikan edukasi dan pola berfikir kreatif anak-anak desa untuk menempuh pendidikan yang lebih baik, menjadi generasi produktif bukan konsumtif menuju peradaban yang lebih baik.

Anugerah FSA ini menurut Dr. A. Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya, dalam upaya memertahankan, menjaga, dan merawat semangat para pendiri Atma Jaya.

Salah satunya ditunjukan dengan memberikan penghargaan bagi orang-orang yang punya visi dan semangat yang sama dengan para pendiri.

Kami tidak mencari orang-orang terkenal dan populer untuk diberikan penghargaan. Kami mencari orang-orang yang tidak muncul di permukaan tapi kerja nyata di lapangan,” tandasnya.

 

(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *