Kisah Aisyah, Mualaf Asal Kolombia Bertahan Hidup dengan Memulung

Aisyah Anisa di rumah kontrakannya di Curug Mekar, Kota Bogor. (Iki/Radar Bogor)

Meski banyak yang mengenalnya, namun jarang orang yang tahu rumahnya. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya ketemu.

Orangnya kebetulan sedang berada di rumah. Maklum dia harus terus mengontorol kesehatan putrinya Raisah, 20, yang hanya bisa terbaring di kasur karena penyakit leukimia (kanker darah) yang dialaminya.

Bacaan Lainnya

Aisyah Anisa yang bukan nama aslinya itu sebenarnya baru dia pakai 20 tahun silam, semenjak dia memutuskan masuk Islam. Di negara asalnya dan dokumen imigrasi, nama Martha Eugenia Rojas Avila masih menjadi identitasnya.

Dia juga masih berstatus warga negara asing (WNA). Kepada wartawan dia pun lebih senang dipanggil Anisa. Nama itu diberikan oleh seseorang yang mengislamkannya saat ia tinggal di Bandung beberapa tahun lalu.

Awalnya, Anisa enggan membuka diri. Dia masih belum terbiasa dengan media. Namun, lama-kelamaan sikapnya mulai mencair. Berkat Nuh, Ketua RT 02/04 Curug Mekar yang mau menyakinkannya. Nuh kebetulan salah satu orang yang dekat dengan Anisa.

Tim radarbogor.id memang sudah janjian untuk bertemu dengan Nuh di kontrakan Aisyah. Hal pertama yang Anisa share adalah tentang kondisi anak semata wayangnya Raisah.

Dara 20 tahun itu lumpuh. Tak bisa berjalan atau sekadar duduk. Sebagian organnya tidak berfungsi dengan baik akibat stroke. Bagian leher bengkak. Sementara kakinya terlihat seperti bekas luka lebam akut.

“Nih lihat,” kata Anisa menunjukan beberapa sisi kaki anaknya kepada wartawan.

Terlihat jelas bekas-bekas luka lebam berwarna merah di kaki kanan dan kiri. Rupanya, bekas luka itu sudah lama ada. Dari balik luka inilah, Anisa mulai terbuka.

“Dua puluh tahun lalu saya berlayar dengan kapal pesiar dari Amerika. Di sana, saya bertemu seseorang yang kemudian menikah dengan saya. Saya dibawa ke Indonesia. Saya masuk Islam dan menikah dengannya. Saya tinggal di sebuah daerah yang jauh dari sini,” kata Anisa dengan aksen khasnya.

Dari caranya berbicara, Anisa tampak mahir berbahasa Indonesia. Ia paham semua tutur kata yang ditanyakan. Ia pun tak canggung berbicara bahasa Indonesia dengan siapa pun. Hanya saja, lidahnya sebagai orang asing tak bisa disembunyikan. Setiap kata yang diucap masih terasa aksen Inggris.

Dia menjelaskan saat pertama menginjakan kaki di Indonesia semua baik-baik saja. Dia tinggal bersama suaminya di Bandung. Bahagia. Mereka pun dikarunia anak Raisah.

Dia lahir dalam keadaan normal. Cantik: perpaduan Sunda-Kolombia. Meski lebih banyak Kolombia-nya. Namun, lanjut Anisa petaka itu bermula ketika suaminya memutuskan menikah lagi yang tak lain adalah pembantunya sendiri.

“Itulah yang membuat saya terpukul. Saya kemudian lebih memilih keluar dari rumah. Dan meninggalkan Bandung,” beber dia.

Di masa-masa pelarian ini, Anisa merasakan berbagai nelangsa hidup. Ia pernah mendekam di balik jeruji Lapas Paledang selama tiga bulan. Hingga pernah tinggal dan hidup lima bulan di tempat pemakaman umum (TPU) daerah Jakarta.

Namun, di masa-masa pengembaraan itu, ia tetap memilih Bogor sebagai tempat singgah dan muara akhir perlindungan. “Saya makan apa saja. Yang penting halal saat itu,” ucapnya.

Kurang lebih selama setahun dia hidup tak pasti. Pindah-pindah kota. Bogor, Jakarta. Jakarta, Bogor. Menumpang kereta. Hidup di jalan. Akhirnya dia lelah. Dan memutuskan tinggal menetap. Kota Bogor dipilih sebagai rumah keduanya.

Tahun ini merupakan tahun ke-12 dia menetap di Bogor. Wilayah kelurahan Curug Mekar adalah tempat tinggalnya dari dulu hingga sekarang.

Di awal-awal menetap, Anisa mengaku sangat kebingungan. Dia tak mempunyai uang untuk mengontrak rumah. Sampai akhirnya dia memutuskan menjadi pemulung. Tidur masih tidak tentu. Di mana saja yang penting aman. Dari situ sedikit demi sedikit uang bisa dia kumpulkan.

Dia pun ingin mendapat rezeki lebih. Caranya dengan memiliki gerobak sampah. Dari gerobak sampah ini dia bertemu dengan Nuh, Ketua RT 02 RW 04 Kelurahan Curug Mekar. Yang menjual gerobak sampah kepada Anisa.

“Ya saya memulung, saya ambil sampah. Saya berputar dari rumah ke rumah yang lain. Saya ini Islam. Agama saya tidak melarang saya untuk memulung. Tapi agama saya melarang saya untuk menjadi pengemis dan peminta-minta. Lebih baik saya jadi pemulung dari pada harus meminta dan mengemis kepada orang lain,” bebernya.

Editor : Yusuf Asyari
Copy Editor : Fersita Felicia Facette

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *