Grup Ludruk SMPN 8 Kota Kediri Boyong Tiga Piala dari Lomba Se-Jawa Timur

Mereka berlatih dengan totalitas tinggi. Berjuang agar tidak tersisih. Mematuhi berbagai aturan dan larangan.

RAMONA TIARA VALENTIN, Kediri

GEDUNG Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (Jatim) di Surabaya menjadi saksi gigihnya anak-anak SMPN 8 Kota Kediri ini. Mereka yang baru mengenal ludruk sudah harus bersaing dengan peserta yang lebih berpengalaman. Bukan hanya itu, rata-rata usia pemain grup pesaing mereka juga lebih tua. Walaupun demikian, bocah-bocah Kota Kediri tersebut pantang menyerah.

Sebaliknya, penampilan mereka sangat total. Mereka mampu menampilkan yang terbaik dalam lomba ludruk yang berlangsung dalam rangka bulan bahasa beberapa waktu lalu. Rasa tegang dan cemas mampu mereka redam.

”Seleksinya sekitar satu minggu lewat pementasan drama. Lalu dipilih 23 anak. Untuk karawitan, peran, dan tari remo,” kata Nadia Artamevia, salah seorang pemain ludruk SMPN 8 Kota Kediri.

Seleksi tersebut, ungkap Nadia, berlangsung ketat. Karena baru kali pertama tahu kesenian itu, lanjut dia, grupnya pun membutuhkan latihan intensif. Tiga minggu sebelum lomba mereka tekun berlatih. Mulai kegigihan, komitmen, hingga menaati aturan yang disepakati untuk menjaga kondisi tubuh. Semuanya mereka lakoni.

Awalnya ada 42 siswa yang terpilih. Lalu mengerucut men jadi 23. Mereka kemudian men jadi tanggung jawab guru bahasa daerah, kesenian, dan guru-guru lainnya. Bersiap mengikuti lomba ludruk. Aturan yang diterapkan sangat ketat.

Siswa tidak boleh mengonsumsi makanan sembarangan. Mereka harus menjaga performa. Baik fisik maupun suara. Harus rela berlatih setiap hari untuk mewakili Kota Kediri di ajang perlombaan ludruk se-Jatim.

”Ludruk cukup sulit daripada teater yang selama ini saya mainkan,” ungkap Rakha Bima, pemeran Partojoyo yang mengkhianati Boncolono. Menurut Rakha, seninya ludruk berada pada improvisasi yang harus dilakukan pemeran. Bukan sekadar seni ludruk yang baru

bagi anak-anak itu. Cerita yang diusung juga tergolong anyar untuk seni pertunjukan ludruk. Ber-setting zaman penjajahan di Kediri dulu, grup tersebut menampilkan cerita Boncolono melawan penjajah Belanda. Para pemain harus benar-benar total karena tampil dengan bahasa gado-gado. Tiga sekaligus: Jawa, Indonesia, dan Belanda.

”Saya coba berlatih sendiri. Lihat YouTube, bahasa Belanda beserta logat orang Belanda berbicara bahasa Indonesia,” terang Lendra Airlangga, pemain lain. Wajar Lendra harus melakukan observasi semacam itu. Sebab, dia didapuk sebagai orang Belanda yang membenci Boncolono.

Mempelajari bahasa Belanda dengan logatnya yang khas dia lakukan tiga minggu. Prestasi yang mereka raih dalam ajang itu juga tak sem barangan. Memborong tiga piala sekaligus. Yaitu untuk naskah terbaik, penyaji terbaik, dan artistik terbaik. Penampilan mereka tak hanya memukau juri. Tapi juga penonton dan pihak Disbudparpora Kota Kediri.

 

(*/fud/c9/diq)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *