Surplus Beras Nggak Jamin Ngerem Impor

JAKARTA – Surplus beras tidak menjamin pemerintah tidak melakukan impor. Sebab kebijakan tersebut diputuskan tidak hanya berdasarkan jumlah produksi. Tetapi juga stok dimiliki Perum Bulog.

Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode baru da­lam menghitung hasil produksi padi. Hasilnya, lembaga tersebut mencatat, tahun ini Indonesia surplus beras sebesar 2,85 juta ton. Hasil penghitungan tersebut menimbulkan pertanyaan dari banyak kalangan. Surplus kok masih impor?

Bacaan Lainnya

Kepala BPS Kecuk Suhariyanto menjelaskan, impor dilakukan karena hasil produksi tidak dikuasai seluruhnya oleh Perum Bulog.

“Kenapa masih impor? Karena surplus (beras) ini tidak terletak di satu tempat. Surplus (keberadaannya) tersebar di petani, konsumen, pedagang, penggilingan sehingga, tidak bisa dijadikan sebagai acuan cadangan beras nasional. Itu tidak bisa dikelola pemerintah,” ungkap Kecuk dalam jumpa pers mengenai metode baru penghitungan produksi padi, di Jakarta, kemarin.

Kecuk menuturkan, ketersediaan atau stok beras di Bulog merupakan acuan pemerintah untuk menentukan kebijakan impor. Jika beras di Bulog kurang dari 1 juta ton, maka pilihan terakhir adalah melakukan impor. Menurutnya, Bulog memiliki ketersediaan stok yang cukup sejatinya untuk banyak tujuan baik. Antara lain, operasi pasar, distribusi ke daerah bencana alam dan keperluan lainnya.

“Ketika pemerintah perlu melakukan intervensi, enggak mungkin kita ambilin stok di masyarakat, kita hanya bergantung pada jumlah stok di Bulog,” terangnya.

Soal metode penghitungan baru, Kecuk menerangkan, pihaknya menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA). Perbaikan metode sudah dilakukan sejak tahun 2015. Bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi dan Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

“Latar belakang kenapa metode produksi beras perlu diperbaiki adalah sejak 1997 banyak pihak menduga bahwa perhitungan data produksi itu kurang tepat. Seperti dikatakan Wapres, yang ingin saya tekankan sekarang, mari lupakan masa lalu,” imbuhnya.KSA merupakan metode perhitungan luas panen khususnya tanaman padi dengan memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR.

Kecuk memastikan, penghitungan KSA lebih baik. “Metodologi yang digunakan menghitung data beras harus sesuai ukuran, obyektif dan subyektif. Metodologi harus transparan. Metode bisa dicek siapa pun sehingga tidak akan ada dispute yang menghabiskan energi,” ujarnya.Dirincikannya, pada tahap awal KSA dilakukan di 16 provinsi sentra produksi beras, luas baku lahan sawah yang berhasil diverifikasi sejauh ini mencapai 7,1 juta hektare (Ha) dari semula 7,5 juta hektare (ha).

Dengan begitu, luas panen tahun 2018 diperkirakan 10,9 juta ha. Untuk produksi padinya sebanyak 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton beras. Dengan asumsi konsumsi beras nasional 29,57 juta ton per tahun sehingga ada surplus sebesar 2,85 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan rilis Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar 13,03 juta ton.
Protes Hitungan BPS

Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wi­narno Tohir memprotes data produksi beras terbaru BPS. Menurutnya, surplus beras bu­kan 2,85 juta ton tetapi lebih besar.”Jika menghitung stok di rumah tangga petani sebanyak 15 juta keluarga atau setara 6,2 juta ton pada 2017 ditambah stok di masyarakat 8,2 juta ton maka totalnya 17,2 juta ton. Tidak mungkin surplus hanya 2,8 juta ton,” tegasnya.

Selain itu, Winarno mengeluhkan belum adanya perbaikan harga beli gabah petani. Menurutnya, perbaikan harga beli gabah petani tidak kalah lebih penting dari perbaikan data perberasan.Winarno menjelaskan, harga gabah kering petani (GKP) yang ditetapkan Inpres No. 5 Tahun 2015 sebesar Rp3.700 per kilo gram (kg) dan beras Rp7.400 per kg.

“Petani tidak minta naik harga, tapi penyesuaian harga dari inflasi 2015 dikumulasi sampai sekarang. Idealnya harga GKP Rp4.200 per kg. Harga itu sama dengan nilai Rp3.700/kg pada 2015. Angka beda tapi nilai sama dan itu justru diartikan naik,” pungkasnya.

 

(rmol)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *