Indonesia Dalam Bayang-bayang Resesi

Resesi Global

JAKARTA – Kondisi ekonomi Indonesia masih dalam bayang-bayang ancaman resesi. Potensi itu diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Meski demikian, dia memaparkan risiko resesi yang akan dihadapi terbilang rendah hanya tiga persen. Angka itu merupakan hasil survei yang dilakukan oleh Bloomberg.

Bacaan Lainnya

Dalam surveinya, Bloomberg menyatakan Indonesia masuk dalam 15 besar negara berpotensi resesi. “Indikator ekonomi kita jauh lebih baik ketimbang 13 negara lain di survei tersebut,” ujarnya.

Mulai indikator neraca pembayaran, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), ketahanan produk domestik bruto (PDB) hingga dari sisi korporasi maupun rumah tangga.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,01 persen secara tahunan. APBN hingga akhir semester I 2022 masih surplus Rp 73,6 triliun atau 0,39 persen terhadap PDB.

Begitu pula, neraca transaksi berjalan yang diperkirakan tetap melanjutkan tren surplus di kuartal II 2022.

Meski demikian, perempuan yang akrab disapa Ani itu akan waspada dan berhati-hati dalam membuat kebijakan.

Instrumen fiskal dan moneter juga akan dikoordinasikan dengan prudent. “Mengingat masih ada risiko ketidakpastian global,” ujarnya.

Dia menyadari kekhawatiran banyak pihak terhadap inflasi dalam negeri. Pada bulan lalu, inflasi tercatat 0,61 persen monthto-month (MtM). Secara tahunan berada di posisi 4,35 persen yearon-year (YoY).

Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 3,55 persen YoY.

Meski begitu, lanjut dia, inflasi di Indonesia cenderung rendah. Pemerintah mampu menahan kenaikan harga energi melalui subsidi sebesar Rp 520 triliun.

Tujuannya, masyarakat tidak merasakan beban berat seperti yang dialami negara lain.

“Presiden sering sampaikan di berbagai kesempatan dibandingkan harga di berbagai negara. Setiap negara, harga beda dengan harga internasional. Pasti mesti kasih subsidi. Ada negara lain yang nggak bisa kasih subsidi. Jadi,rakyat harus bayar itu,” bebernya.

Chairman Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (Perbina), Batara Sianturi menilai krisis yang dialami SriLanka tidak bisa dibandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Sebab, neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan surplus.

“Selain itu, melihat komitmen pemerintah untuk kembali ke defisit fiskal 3 persen tahun depan. Walaupun ada subsidi, saya kira fiskal kita masih kuat. Tidak bisa dibandingkan dengan Sri Lanka,” ujarnya.

Indonesia juga diuntungkan dengan windfall dari kenaikan harga komoditas global sehingga memberikan bantalan bagi fiskal. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menuturkan dunia sedang menghadapi risiko stagflasi yang serius.

Mulai inflasi tinggi, ketidaksetaraan, pemulihan ekonomi hingga perubahan iklim. Ditambah, ketegangan geopolitik Ukraina-Rusia yang sedang berlangsung. Bulan lalu Bank Dunia telah merevisi proyeksi pertumbuhan global 2022 menjadi 2,9 persen.

Dari sisi domestik, Juda menyebut pemulihan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Ditopang meningkatnya permintaan domestik dan ekspor. Likuiditas juga masih cukup untuk mendorong pemulihan pertumbuhan kredit.

“Bank Indonesia memperkirakan pemulihan ekonomi domestik akan terus berlanjut,” ucapnya. (ind/jpg)

Pos terkait