Layanan VPN akan Diblokir Pemerintah Rusia

ILUSTRASI: Penggunaan VPN lewat smartphone.

JAKARTA – Rusia berencana menutup layanan Virtual Private Network (VPN), karena alasan keamanan siber di negaranya. Namun, tidak semua layanan VPN di Rusia akan diblokir atau ditutup. Hanya sebagian penyedia layanan saja dengan di antaranya adalah penyedia layanan VPN utama.

Sebagaimana JawaPos.com kutip dari Ubergizmo, Senin (10/6), Rusia akan mulai memblokir beberapa layanan VPN utama karena menolak aturan black list nasional.

Bacaan Lainnya

Pengguna tak bisa lagi mengakses situs yang masuk daftar hitam, bahkan ketika menggunakan layanan VPN. Larangan VPN ini dikatakan bisa diberlakukan dalam waktu satu bulan.

Kepala pengawas untuk telekomunikasi di Rusia Alexander Zharov mengonfirmasi kepada Interfax bahwa sembilan layanan VPN utama seperti NordVPN dan ExpressVPN akan diblokir.

Penyedia layanan VPN itu menolak untuk mematuhi daftar hitam nasional.

Rusia telah meminta sepuluh penyedia VPN untuk menggunakan daftar hitam itu dan hanya satu yang menyetujui, yakni Kaspersky.

Kaspersky sendiri berbasis di Rusia, sehingga mungkin tidak memiliki opsi lain untuk menolak.

Sementara penyedia lain menolak langkah tersebut. Layanan yang menolak berinteraksi dengan daftar hitam termasuk VyprVPN, TorGuard, IPVanish, OpenVPN, Hola VPN, dan beberapa lainnya. Mereka diberi waktu 30 hari untuk merespons dan kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak melakukannya.

Beberapa juga menulis di situs web mereka bahwa tidak akan memenuhi permintaan pemerintah Rusia.

Roscomnadzor, pengawas telekomunikasi Rusia, mengatakan bahwa penyedia layanan VPN yang tak patuh dapat diblokir dalam waktu satu bulan. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh penyedia jasa internet (ISP) lokal yang juga harus mencegah penggunanya mengakses layanan VPN yang dilarang pemerintah Rusia.

Tak hanya Rusia, Tiongkok diketahui pernah memiliki rencana serupa. Malahan, negeri Tirai Bambu itu pada 2018 silam berencana untuk men-shutdown seluruh layanan VPN di negara tersebut.

Namun rencana tersebut urung dilakukan.

Sebelum memiliki rencana mematikan seluruh layanan VPN pada 2018 lalu, Tiongkok pada 2016 juga sempat menshutdown layanan VPN selama satu pekan penuh saat Kongres Nasional di Beijing.

Namun kebijakan tersebut ditentang banyak pihak termasuk masyarakat. Sebab diketahui, untuk bisa berkomunikasi dengan dunia luar, masyarakat Tiongkok memang kerap menggunakan VPN.

Dikutip dari TravelChinaCheaper, rencana Tiongkok men-shutdown layanan VPN yang akhirnya batal dilakukan disebut karena alasan lain yang lebih penting, yakni menyangkut bisnis. Bukan terbatas pada alasan kesenangan belaka seperti mengakses situs media sosial dan platform instant messaging populer saja.

Mengapa Tiongkok Tidak Memblokir VPN? Jawabannya cukup sederhana. Alasannya adalah karena VPN bagian penting dari melakukan bisnis, terutama untuk perusahaan internasional di Tiongkok.

VPN disebut sebagai alat yang penting untuk menjaga keamanan informasi yang dikirimkan oleh perusahaan antara Tiongkok dan negara-negara lain di dunia.

Perusahaan internasional akan menggunakan VPN setiap hari.

Jadi jika Tiongkok menutup semua akses VPN, maka itu akan sangat memengaruhi kemampuan perusahaan, baik domestik maupun asing, untuk melakukan bisnis di Tiongkok. Hal tersebut tentu akan memengaruhi stabilitas bisnis di negara tersebut.

Sementara di Indonesia, woro-woro soal VPN terjadi beberapa pekan lalu, tepatnya saat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memutuskan untuk membatasi akses ke media sosial dan platform instant messaging.

Hal tersebut terjadi lantaran adanya aksi kerusuhan pada 21-22 Mei lalu yang menentang hasil pemilu presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Adapun buntut dari aksi tersebut adalah beredarnya konten-konten negatif, pesan berisi ujaran kebencian, hoaks, gambar-gambar layak sensor yang diklaim berpotensi mengancam stabilitas keamanan nasional.

Menkominfo Rudiantara ditemui JawaPos.com beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa pembatasan medsos tidak akan terjadi, jika masyarakat tidak menggunakan untuk menyebar konten-konten tersebut di atas.

Sementara untuk VPN, dirinya meyakini bahwa pemerintah yang dianggap blunder atas pembatasan medsos yang membuat masyarakat menjadi tahu VPN tidak terlalu menjadi masalah.

Dia meyakini bahwa tak banyak orang Indonesia yang tahu dan akan menggunakan VPN setelah akses ke medsos kembali dibuka.

“Berapa banyak sih yang mau membayar untuk menggunakan VPN. Saya saja nggak mau,” ujarnya.

(ian)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *