Warga Uighur Kian Tertekan, Satu Dekade Kerusuhan Urumqi

PEMICU REPRESI: Seorang perempuan etnis Uighur berunjuk rasa di hadapan polisi antihuru-hara 7 Juli 2009. Kerusuhan di Urumqi, Xinjiang, Tiongkok, itu menyebabkan hampir 200 nyawa melayang. (Peter Parks/AFP)

KERUSUHAN di Urumqi, Xinjiang, Tiongkok, pada 5 Juli 2009 menyisakan kepahitan berkepanjangan. Pemerintah berupaya keras membaurkan penduduk Uighur dengan menghapuskan budaya dan nilai-nilai agama mereka hingga detik ini.

Bacaan Lainnya

Kamilane Abudushalamu masih ingat insiden satu dekade lalu. Dia dan ayahnya bersembunyi di lantai 10 sebuah gedung perkantoran di Urumqi, Xinjiang, Tiongkok, ketika terjadi kerusuhan.

Saat mereka keluar gedung dan berlari menuju ke rumah, Abudushalamu yang kala itu masih berusia 9 tahun melihat kengerian yang tidak akan pernah dilupakan. Orang-orang tergeletak di jalan dalam kondisi berlumuran darah. ’’Saya pikir orang Han dan Uighur bisa damai,’’ ujar pria yang kini tinggal di Turki untuk bersekolah itu.

Meski sudah satu dekade berlalu, ketenangan belum kembali ke Xinjiang. Suku Han maupun Uighur masih curiga satu sama lain. Pemerintah tentu berpihak pada warga Han. Sebelum terjadi kerusuhan Urumqi, penduduk Uighur direpresi. Kini situasinya lebih buruk lagi. ’’Sejak insiden itu, Tiongkok bersikap keras dalam mengontrol agama dan etnis minoritas di wilayah tersebut,’’ ujar Direktur Amnesty International untuk wilayah Asia Tenggara dan Timur Nicolas Bequelin sebagaimana dikutip Associated Press.

Kerusuhan itu menjadi titik balik yang kian menguatkan perpecahan di Xinjiang. Penduduk Han menghindari wilayah Uighur. Pun demikian sebaliknya. Operasi keamanan ditingkatkan berkali-kali lipat yang memicu situasi saat ini.

Jika dulu di Xinjiang ada ratusan masjid berdiri, kini yang ada adalah ratusan kamp-kamp reedukasi. Ayah Abudushalamu menjadi penghuni salah satu kamp bersama sekitar 50 kerabatnya yang lain. Setelah mengantar Abudushalamu ke Turki, sang ayah memang kembali ke Tiongkok dan ditangkap.

’’Mereka tidak punya alasan menahan ayah saya,’’ ujar Abudushalamu. Sang ayah adalah seorang pebisnis dan menguasai sembilan bahasa. Dia sudah sangat terdidik. ’’Ini delusi,’’ tambahnya.

Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Urusan Keamanan Asia dan Pasifik Randall Schriver mengungkapkan bahwa saat ini ada sekitar 3 juta penduduk Uighur yang ditahan di kamp. Jumlah tersebut setara dengan seperempat populasi warga Uighur. Puluhan, bahkan mungkin ratusan orang, meninggal karena disiksa si dalam kamp.

Hampir setiap hari mereka dipaksa makan babi, makanan haram dalam Islam. Tentu, kebebasan mereka untuk beribadah juga tiada. Banyak di antara mereka yang masih muda dan tidak masuk kamp dipaksa menikah antaretnis. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan diberikan kepada etnis Han.

Penduduk diminta lapor jika melihat 75 tanda-tanda ekstremisme agama. Di antaranya, menumbuhkan jenggot di usia muda, mencoba berhenti minum alkohol, serta beribadah di tempat umum. Mereka yang mempunyai tanda-tanda itu bisa dihukum kerja paksa.

Presiden National Endowment for Democracy Carl Gershman menyebut apa yang dilakukan Tiongkok sama dengan genosida Nazi. Yang berbeda hanya caranya. ’’Genosida postmodern tetaplah genosida. Tujuannya sama,’’ jelasnya.

Bukan hanya para pemuda dan orang tua yang harus berada di kamp tersebut. Melainkan juga anak-anak.

Berdasar laporan terbaru yang dirilis BBC, kini pemerintah Tiongkok juga memisahkan anak-anak Uighur dari orang tuanya. Mereka dikabarkan dibawa ke sekolah asrama dan diminta mempelajari bahasa mandarin serta budaya orang Tiongkok.

Peneliti asal Jerman Dr Adrian Zenz mengungkapkan bahwa pemerintah Tiongkok membangun sekolah dan asrama besar-besaran. Di sanalah anak-anak itu dibawa. Hal itu diiyakan salah satu pejabat yang diwawancarai BBC.

’’Mereka ada di sekolah asrama. Kami menyediakan akomodasi, makanan, baju dan kami disuruh pejabat senior untuk menjaga mereka dengan baik,’’ ujar pejabat yang namanya tidak mau disebut itu.

Bagi penduduk Uighur, tanah kelahiran mereka kini ibarat penjara raksasa. Seluruh pergerakan mereka dibatasi.
Masjid-Cagar Budaya pun Lenyap

Tujuh CCTV terpasang di gerbang pintu menuju Masjid Id Kah di Xinjiang, Tiongkok. Kamera pengaman itu dipasang untuk mengawasi satu per satu orang yang masuk ke salah satu masjid terbesar di wilayah otonomi khusus tersebut. Kebebasan beragama memang tidak lagi terasa di sana. Semua serba dibatasi.

Di Masjid Id Kah, misalnya. Imamnya seharusnya orang yang disetujui pemerintah. Yang dipilih tentu yang pro pemerintah. Penampilan penduduk juga dikontrol. Menumbuhkan jenggot dan memakai jilbab juga dilarang sejak Maret 2017.

Berdasar penelusuran BBC, selama beberapa tahun belakangan ini puluhan masjid di Xinjiang rata dengan tanah. Hal itu terlihat jelas di gambar satelit. Masjid Etika di Keriya yang masih berdiri pada 2017 kini tidak berbekas.

The Guardian mengungkapkan bahwa pada 2017 ada 200–800 masjid yang sudah dihancurkan di berbagai penjuru Xinjiang. Pada 2018, terdapat 500 masjid yang masuk daftar untuk diratakan. Masjid dengan ukuran kecil bisa dibuldoser dan hilang dalam semalam. Belum diketahui berapa masjid yang dilenyapkan tahun ini.

Masjid bukan satu-satunya yang menjadi korban. Pemerintah Tiongkok, tampaknya, ingin menghilangkan identitas budaya warga Uighur di Xinjiang. Bangunan cagar budaya juga ikut dihancurkan. Misalnya, yang terjadi di kota tua Kashgar. Sebagai gantinya, pemerintah membangun gedung-gedung baru yang diklaim bisa menjadi daya tarik wisata di wilayah tersebut. Pelan tapi pasti, jejak peradaban dan budaya penduduk Uighur bakal musnah.

KERUSUHAN YANG BERBUNTUT PANJANG

25–26 Juni 2009

Mantan pekerja di Xuri Toy Factory di Shaoguan, Distrik Wujiang, Guangdong, Tiongkok, menyebar isu bahwa ada perempuan Han yang diperkosa pekerja Uighur.

Lepas tengah malam pada 25 Juni, para pekerja Han yang terbakar isu menyerang pekerja Uighur dengan membabi buta. Kerusuhan itu berlangsung hingga esoknya. Sebanyak 2 pekerja Uighur tewas dan 118 terluka. Mayoritas korban luka adalah pekerja Uighur. Beberapa mengklaim yang tewas tujuh orang Uighur.

5 Juli 2009

Ribuan penduduk Uighur di Urumqi, Xinjiang, melakukan aksi damai menuntut pelaku kerusuhan di Shaoguan dihukum. Aksi itu berujung anarkis.

Dua hari kemudian, warga Han melakukan pembalasan dengan menyerang Uighur dan polisi. Gedung-gedung dan kendaraan rusak parah. Sekitar 197 orang dilaporkan tewas dan 1.721 terluka. Mayoritas warga Han. World Uyghur Congress mengklaim korban tewas 600 orang.

6 Juli 2009

Polisi menggerebek rumah-rumah penduduk Uighur dan menangkapi mereka. Jalur komunikasi dan internet dibatasi. Masjid-masjid ditutup sementara.

7 Juli 2009

Polisi mengungkapkan bahwa 1.434 orang ditangkap. Human Right Watch (HRW) melaporkan ada 43 warga Uighur diculik dan tak pernah muncul lagi. Sementara itu, warga Uighur mengklaim, dalam semalam, sekitar 10 ribu orang ditangkap. Penduduk Han turun ke jalan meminta keadilan.

8 Juli 2009

Ribuan orang meninggalkan Urumqi, tiket bus melonjak lima kali lipat. Penangkapan dan represi penduduk Uighur berlangsung hingga saat ini.

Sumber: BBC, CNN, The Times, The Daily Telegraph

SIAPAKAH WARGA UIGHUR ?

Penduduk Uighur adalah minoritas di Tiongkok. Mereka menganut agama Islam dan mayoritas tinggal di Xinjiang. Wilayah itu dikuasai sepenuhnya oleh Tiongkok pada 1949.

Secara etnis dan budaya, mereka lebih menyerupai negara-negara Asia Tengah seperti Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Kazakhstan. Bahasa mereka adalah Turkic.

Secara fisik, mereka tidak mirip orang Tiongkok. Perawakannya besar seperti ras Mediterania.

Dulu 75 persen penduduk Xinjiang adalah orang Uighur. Kini jumlah mereka hanya 45 persen. Mobilisasi besar-besaran suku Han ke Xinjiang dilakukan Tiongkok belakangan ini.

Sebanyak 400 ribu penduduk Uighur tinggal di luar Tiongkok. Rata-rata di negara-negara yang berbatasan dengan Xinjiang seperti Kazakhstan, Kyrgyzstan,Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan Mongolia.

Sumber: BBC, VOA

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *