Kembali ke Nol

Oleh: Sudrawih Boby Iskandar, S.Ag.

(Pegiat Literasi. Saat ini menjabat sebagai Kabid Litbang Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka Sukabumi/Ketua Badan Pengawas Yayasan Paramuda Cendikia Indonesia/Owner Rumah Batik Karamat Sukabumi)

 

Hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H hanya tinggal hitungan jam. Tidak masalah kita mau berlebaran di hari Jum’at atau Sabtu. Yang penting kita bisa saling menghargai satu sama lain. Bukankah perbedaan itu hal yang biasa. terlebih ada keterangan yang menyatakan bahwa, “ikhtilafu ummati rahmatun”, “Perbedaan pada umatku adalah rahmat”.

Terlepas dari itu semua, mari kita senantiasa meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah Swt pasca Ramadan ini, baik secara kualitas maupun kuantitas. Kenapa kita harus tetap bertawqa setelah Ramadhan?

Sebab, Ramadhan tidak memberikan jaminan kepada kita untuk menjadi orang yang bertaqwa setelah kita berpuasa sebulan lamanya. Apalagi menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Kenapa demikian?

Mari kita perhatikan ayat 183 surah al-Baqarah yang menjadi rujukan dasar perintah puasa, Allah Swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

Penghujung ayat di atas menggunakan kata la’allakum yang menurut sebagian ulama mengandung makna keraguan (syakk).

Aslinya ‘alla, sedangkan huruf lam pada permulaannya adalah tambahan. Dan la’alla adalah kata yang menunjukkan pengharapan (raja’), keinginan (thama’), serta keraguan (syakk).

Ibnul Atsir mengatakan bahwa ‘asaa ( عسى ) bermakna semoga, sedangkan ‘asaa dan la’alla jika berasal dari Allah maka dia mengandung tahqiq (jaminan kepastian).

Kalau kita perhatikan ayat-ayat yang memuat frase la’allakum tattaqun, diantaranya QS. Al-Baqarah ayat 21, 63, 179, 183, 187 (dengan lafaz la’allahum) dan QS. Al-An’am ayat 153, QS al-A’raf ayat 171, seluruhnya didahului dengan perintah, larangan atau informasi tentang suatu amal tertentu yang harus dilakukan seorang muslim agar dia bisa memastikan dirinya mendapat jaminan perlindungan dari Allah ta’ala.

Ayat-ayat ini meminta kita untuk aktif beramal, yakni melaksanakan isi kandungannya, bukannya merasa takut, diam, pasif. Begitu juga ayat-ayat tentang taqwa dalam Al-Quran, atau anjuran-anjuran terkait di dalam hadis-hadis Nabi Saw.

Seluruhnya mengarahkan kita untuk berbuat, berbuat dan berbuat.

Dengan demikian, karena makna la’allakum tattaqun memuat unsur tahqiq (kepastian) di dalamnya, sedangkan ayat-ayat yang menyebutkan kalimat ini berisi perintah, larangan, informasi spesifik, maka jika kita ingin mendapatkan jaminan ampunan dari Allah, maka kita harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh Allah melalui ayat-ayat tersebut.

Begitu juga dengan ampunan yang Allah janjikan melalui hadis keutamaan puasa Ramadhan, di dalamnya ada syarat-syarat yang harus kita penuhi agar puasa yang kita lakukan bisa menghapuskan dosa-dosa kita di masa lalu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Said Al-Kudri ra. bahwa Nabi Saw bersabda:

“Barangsiapa puasa di bulan ramadhan dan mengetahui hukum-hukumnya, dan menjaga apa-apa yang patut dijaga (diindahkan) darinya, hal itu telah menghapus dosa-dosa sebelumnya”.

Jadi, berdasarkan keterangan hadis ini, Allah itu hanya akan memberikan jaminan penghapusan dosa masa lalu jika kita penuhi kedua syaratnya, yaitu; Pertama, kita harus mengetahui hukum-hukum terkait puasa. Kedua, bisa menjaga apa-apa yang patut dijaga darinya (terkait pembatal puasa).

Bila semua ilmu tentang puasa tersebut kita fahami dan kita amalkan, maka potensi dosa masa lalu kita diampuni oleh Allah sangat terbuka lebar. Kalau itu yang terjadi, tidak mustahil kita akan seperti bayi yang baru dilahirkan, putih, suci tanpa dosa. Kembali ke nol.

Tapi faktanya tidak demikian, berapa banyak di antara kita yang mampu menahan dari tidak makan dan minum di siang hari ramadhan, tapi lisan kita tidak mampu dari meninggalkan dusta, ghibah, dan menyakiti orang lain dengan ucapan kita.

Kita tidak berani berkumur-kumur saat berwudhu karena khawatir ada air yang masuk ke dalam tenggorokan sehingga bisa membatalkan puasa. Tapi kita berani mengambil hak orang lain entah dengan cara korupsi atau mark-up anggaran ditempat kita bekerja. Bila ini yang terjadi, maka puasa yang kita lakukan akan sia-sia dan tidak bernilai dihadapan Allah Swt, juga tidak bisa menjadi asbab diampuninya dosa-dosa kita yang telah lalu, sehingga kita tidak bisa kembali ke nol, putih, suci kembali.

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagaimana riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah;

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu hak orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.”

Oleh karena itu, mari kita evaluasi segala aktivitas amal yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan tahun ini. Lalu tanyakan pada diri kita, apakah kita layak untuk KEMBALI ke NOL, mendapatkan jaminan ampunan-Nya. Atau jangan-jangan sebaliknya? Nau’dzubillahi min dzaalik. Wallahu’alamu. (*)

 

Pos terkait