*“Wafatnya” Tagar Ganti Presiden*

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikan)

Saat pasangan Cagub Cawagub Jabar Sudrajat-Syaikhu mengeluarkan kaos dengan tagar 2019 Ganti Presiden sungguh menarik dan membuat heboh. Debat pasangan Cagub Cawagub Jawa Barat menjadi semakin hangat. Bahkan membuat lawan politik menyala emosinya. Sempat ada sedikit kekisruhan. Ini adalah sebuah trik politik yang cerdas dan wow dari politisi PKS dan Gerindra. Faktanya hampir saja pasangan Sudrajat Syaikhu memenangkan Pilgub Jawa Barat.

Bacaan Lainnya

Penggagas tagar 2019 Ganti Presiden adalah Mardani Ali Sera. Ia sosok yang kreatif dan jeli menangkap emosi publik. Emosi publik Ia kemas dalam kata simpel yang jitu. Kebencian pada Jokowi dan militansi PKS dan Gerindra menjadi kekuatan maha dahsyat dalam kata jitu 2019 Ganti Presiden. Ini sekali lagi sangat keren dan efektif untuk membangunan emosionalitas kolektif publik. Terutama rakyat Jawa Barat.

Rakyat Jawa Barat yang menurut Prof. Mahfud MD adalah bagian dari masyarakat “Garis Keras” ketika disajikan hidangan 2019 Ganti Presiden langsung dilahapn dengan semangat. Teriakan tahun 2019 Ganti Presiden mengaum dan menggaung dari Jawa Barat menyebar ke seluruh Indonesia. Sekali lagi ini adalah sebuah trik politik yang cerdas dan jitu. Mardani Ali Sera telah menjadi cendikiawan yang peka terhadap potensi emosi publik terhadap Presiden Jokowi.

Jujur sebagai pendidik dan guru sejarah Saya mulai menangkap ada yang salah dengan tagar itu. Mengapa?

Terlalu radikal menurut Saya. Ini hanya cocok untuk masyarakat garis keras. Bukankah masyarakat Indonesia tidak mayoritas garis keras?

Memang masyarakat yang dipikirannya ada ungkapan ganti! Tolak! Asal bukan Jokowi! Bahkan penggal kepala Jokowi! Tagar Ganti Presiden akan sangat cocok. Namun ada ungkapan hukum tabur tuai yang kita percayai. Siapa menanam akan memetik.

Siapa yang menabur akan menuai. Siapa yang menebar teriakan “2019 Ganti Presiden” akan berhadapan dengan arus publik “tolak tagar ganti presiden.”

Apalagi pasangan Capres Cuma dua. Tagar tahun 2019 ganti presiden punya lawan politik masyarakat yang masih menyayangi Presiden Jokowi bila diganti. Terutama rakyat Jawa Tengah, Jawa Timur! Seolah tagar tahun 2019 ganti presiden dimana lumbung suara PKS dan Gerindra ada di Jawa Barat berhadapan dengan tagar tahun 2019 Jokowi tetap Presiden.

Faktanya hasil Pilpres 2019 Jokowi unggul di Jawa tengah dan Jawa Timur signifikan. Fakatanya Prabowo Sandi unggul di Jawa Barat signifikan. Noory Okthariza dalam harian Kompas menuliskan sebuah artikel berjudul “Arti Penting Jawa Pada Pilpres 2019”. Sebagai cendikiwan CSIS Ia cukup analitik memetakan kekuatan Pilpres 2019 di pulau Jawa.

Terbukti! Bila Prabowo tidak menguasai Jawa, hanya Jawa Barat saja maka Ia gagal melenggang ke Istan Presiden. Kedepan siapa pun Capresnya kuasai Jawa Barat sebagai lumbung pemilih terpadat di Indonesia plus Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Selain wilayah ini tingkat dinamika dan persebaran pemilihnya tidak terlalu menentukan. Siapa pun Presidennya di tahun 2024 bila mampu menguasai mayoritas pemilih Jawa maka Ia dipastikan melenggang menuju Istana Presiden. Rawat Jawa, dekati luar Jawa maka sukses pasti ditangan pasangan yang elektabel diwilayah Jawa. Dimana bumi dipijak di situ langit dijungjung. Dimana ada kontestasi Pilpres di republik ini jangan lupa “pijakan politik” di bumi Jawa. Bumi Jawa adalah jalan lebar menuju kekuasaan. Artinya jangan macem-macem terhadap masyarakat Jawa.

Kembali ke laptop. Tagar ganti presiden sebenarnya mulai melemah dan kesakralannya menurun saat Ridwan Kamil berhasil membungkam tagar ini. Ridwan Kamil adalah tokoh yang luar biasa dan wow. Ia mampu mengalahkan “radiasi” tagar ganti Presiden yang menguasai Jawa Barat. Bila Ridawan Kamil unggul di Jawa Barat dalam artian mampu menaklukan tagar ganti Presiden yang dijual pasangan Sudrajat Syaikhu maka peluang nasional pun akan berlaku sama.

Pilgub Jabar adalah perang awal melawan tagar ganti Presiden. Capres Jokowi makin percaya diri di kontestasi nasional. Mengapa? Karena tagar ganti Presiden sudah terhuyung-huyung di Pilgub Jabar. Kesaktiannya sudah mulai tergembosi di Jawa Barat.

Kelemahan tagar ganti Presiden saat kontestasi Pilgub Jabar adalah terlalu ngawang-ngawang. Pasangan Sudrajat Syaikhu ingin menjadi Gubernur Jabar tetapi seolah menjelekan Presiden Jokowi. Ini kurang elok, lebih elok kalau tagarnya “Jabar Baru Gubernur Baru”. Tidak menjual ketidaksukaan rakyat Jawa Barat pada Presiden Jokowi dalam kontestasi Pilgub.

Seolah lemah visi misi tetapi kuat provokasi. Setidaknya demikian analisis Saya. Ibarat ada seorang calon pasangan Bupati tetapi menjual tagar 2018 Ganti Gubernur. Kan menjadi lucu dan seolah salah sasaran. Kurang efektif dan kurang elok serta menebar pertentangan.

Tidaklah heran kemudian politisi PKS pasca selesainya pemilihan suara dalam kontestasi Pilpres mengharamkan pengucapan tagar dimaksud. Dia mengatakan “tutup buku.” Pernyataan ini seolah salah satu bentuk kesadaran politik tentang kesalahan membuat tagar. Mengapa salah?

Terbukti gagal dalam Pilgub Jabar dan Pilpres, walau pun dalam pencalegan mungkin berhasil. Narasi-narasi tidak elok sebaiknya tidak dikembangkan dinegara berkembang ini. Mengapa?

Karena mudah berkembang. Namanya juga negara berkembang. Kebangkanlah narasi-narasi optimis dan positif. Agar negara berkembang yang namanya Indonesia pun berkembang secara optimis dan positif.

“Wafatnya” tagar ganti presiden adalah sebuah efisode sejarah yang menarik. Suatu saat akan kita pelajari terutama oleh generasi muda. Bagaiman tumbuh kembangnya tagar ganti Presiden plus menggejalanya politik identitas.

Hadirnya gerakan 212. Hadirnya ijtima ulama. Hadirnya munajat akbar. Hadirnya sejumlah ulama mendukung satu pasangan Capres dan dominannya Hibeb Rizieq menjadi warta tersendiri dalam Pilpres 2019. Sejarah akan mencatat! Pilpres tahun 2019 adalah Pilpres paling panas. Bahkan narasi people power diteriakan para tokoh nasional. People power seolah menjadi alternatif dalam menangkis kekalahan Pilpres.

Pasca pengumuman resmi KPU tanggal 22 Mei idealnya dihadirkan iklim rekonsiliatif. Mulai dari para elite sehingga alit (wong cilik) terimbas dampaknya. Dibutuhkan suasan kondusif dan konstruktif untuk melanjutkan pembangunan dan layanan publik. Limbah bola api politik tahun 2014 telah membakar mentalitas sebagian publik kita sampai tahun 2019.

Hoaxs dan berbagai modus tidak sehat menyebar berakar di masyarakat kita. Mulai tahun 2014 dan puncaknya di Pilpres 2019. Tagar ganti Presiden pun lahir pasca kekalahan Pilpres tahun 2014. Agar tidak merepetisi kekalahan maka tagar provokatif yang menggugah perlu dinyalakan. Ternyata tagar ganti Presiden tidak mampu membakar seluruh pemilih. Mayoritas masih tetap pada “kewarasannya” untuk memilih Jokowi mengemban amanah dua periode.

Tagar ganti Presiden telah wafat. Innalillahi wainnailaihirojiun. Telah wafat pada tahun 2019 tagar ganti Presiden dan telah lahir kembali tagar Jokowi tetap Presien. Selama yang wafat adalah tagar bukan manusia pengguna atau pemakai kaos ganti resien tidak apa-apa. Hanya tagar, bukan orang-orang yang menggunakan kaos tagar ganti Presiden.

Betul kata Presiden Jokowi sebelumnya. Tagar Presiden hanyalah kaos. Kaos hanyalah pakaian. Presiden hanya bisa diganti oleh Allah yang maha kuasa melalui suara rakyat. Tagar hanyalh tagar, kaos hanyalah kaos. Selamat berjuang Pak Jokowi. Bawalah Indonesia lebih baik. Sayangi semua rakyat Indonesia. Kuatkan rekonsiliasi dan ringankan sanksi.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *