Sistem Pemilu Dan Pragmatisme Partai Politik

Agung Dugaswara Anggota KPU Kota Sukabumi
Agung Dugaswara Anggota KPU Kota Sukabumi

Oleh : Agung Dugaswara
Anggota KPU Kota Sukabumi

Sejak pemilu pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1955, negara Indonesia telah mengadopsi sistem Pemilu “Daftar Representasi Proporsional”.

Bacaan Lainnya

Sebuah sistem pemilu yang sebenarnya cukup ideal untuk negara yang sangat majemuk seperti Indonesia, sehingga dengan sistem ini memberikan kesempatan yang lebih besar bagi kelompok – kelompok minoritas dalam suatu wilayah untuk mendudukan wakilnya.

Namun pergeseran sistem pemilu yang awalnya mengadopsi sistem daftar representasi proporsional tertutup menjadi daftar representasi proporsional terbuka sejak tahun 2009 telah membuat Partai Politik peserta pemilu menjadi lebih pragmatis.

Hal tersebut dapat dianalisa dari beberapa faktor, Pertama basis perjuangan dan pergerakan partai politik yang pada awalnya didasarkan pada perjuangan ideologi mulai ditinggalkan, berganti dengan pergerakan demi mencapai tujuan sesaat yaitu kekuasaan dan rente, hal ini membuat magnum opus nya Clifford Geertz, “ The Religion of Java” seolah menjadi tidak bermakna.

Dalam panggung politik Indonesia satu dasawarsa terakhir ideologi hanya dijadikan alat untuk mencari dukungan sesaat masyarakat dan legitimasi terhadap warisan trah politik, untuk selanjutnya dicampakkan. Ambardi (2009) menilai fenomena dicampakkannya ideologi ini sebagai salah satu karakteristik sistem kepartaian yang telah ter Kartelisasi yang sangat oportunistik.

Kedua, dalam proses rekruitmen politik, untuk dicalonkan dalam pemilu legislatif, Partai politik dapat dikatakan kehilangan arah terkait dengan proses kaderisasi. Saat ini proses rekruitment yang dilakukan partai politik khususnya pada saat perhelatan pemilu, lebih mengedepankan figur yang dipercaya secara instant untuk dapat mendulang suara dan kursi.

Maka didahulukanlah para figure yang lebih unggul dari segi popularitas dan finansial, untuk ditempatkan sebagai calon penyelenggara negara dibandingkan dengan kader potensial partai yang mengetahui tentang ideologi, platform, dan visi dari sebuah partai politik.

Fenomena rekruitmen para selebritis untuk menjadi calon disadari atau tidak dapat menjadi salah satu bukti bagaimana partai politik menjadi lebih pragmatis saat ini.

Sementara bagi para calon yang mempunyai uang namun tidak begitu popular maka biasanya mereka akan memanfaatkan popularitas semu, dengan memanfaatkan figure popular tertentu yang terhitung masih kerabat, atau tokoh tokoh nasional mulai dari artis hingga pahlawan, untuk menarik perhatian masyarakat (Noor, 2009).

Selain itu fenomena “kutu loncat” dalam proses rekruitmen politik, juga mengisyaratkan bagaimana pragmatisme saat ini sudah menjadi azas dalam berpolitik dan bukan lagi idealisme dan ideologi.

Volatilitas (Ketidak Loyalan) figur politisi oportunis terhadap partai politik dapat dengan mudah diamati dengan kasat mata, khususnya dalam perhelatan pemilu legislatif, bagaimana mungkin seorang caleg pada 5 tahun sebelumnya (2014) mencalonkan di partai politik A bisa dengan gampangnya mencalonkan di Partai B pada pemilu berikutnya (2019) hanya dikarenakan Partai B dianggap memiliki peluang lebih besar dibanding partai A.

Belum lagi fenomena calon legislatif dengan orientasi mencari kerja atau “Job Seeker”, calon tipikal ini hampir selalu ada di setiap partai politik, khususnya dalam pemilu untuk memilih calon lembaga perwakilan daerah (DPRD Kabupaten/Kota).

Orientasi dan semangat dari caleg tipikal ini adalah berangkat untuk mencari kerja dan bukan kepada perjuangan terkait dengan platform dan ideology partai. Di beberapa daerah calon dengan tipikal ini dimanfaatkan untuk dimintai mahar politik ketika akan mencalonkan melalu partai politik tertentu, suatu fenomena yang sulit dibuktikan namun sangat lazim terjadi.

Padahal seharusnya dalam Dalam konteks pemilu tersebut di atas, partai politik harus memenuhi tugas-tugasnya yang maha penting, salah satunya adalah, mempersiapkan kandidat-kanditat terbaiknya di legislatif, mempromosikan program politik dan platform pemilunya, serta bersaing untuk mendapatkan mandat publik dan suara¬suaranya (Esderts :2006)

Ketidak pedulian terhadap nilai – nilai ideologis partai politik serta proses rekruitmen yang mengedepankan kepentingan sesaat, pada akhirnya menyebabkan banyak caleg yang lemah terhadap pemahaman ideologi dan platform partainya. Hanya sedikit partai yang memang benar-benar menjalankan kaderisasi dan sosialisasi ideologi dan menjadikannya sebagai kredit bagi kader untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi (Muchlis 2007; Romli 2008).

Ketiga, pragmatisme partai politik pada pemilu dapat dilihat pada saat kampanye dan pendekatan yang dilakukan oleh partai politik maupun calonnya kepada masyarakat. Cara – cara pragmatis menjadi lazim dilakukan, sebagai contoh dalam sistem propor¬sional terbuka yang mengharuskan kandidat (calon) untuk mendekati masyarakat secara langsung, makin menguatkan kenyataan ini.

Banyak calon legislatif yang menyadari bahwa mereka kurang dikenal kemudian menggunakan cara cepat untuk dapat terkenal dan menarik perhatian masyarakat.

Misalnya, memberikan sesuatu yang konkret kepada masyarakat, seperti pemberian kebutuhan bahan pokok, melakukan kegiatan sosial yang sifatnya gratis, pembagian hadiah melalui kegiatan amal atau kompetisi olah raga, mengadakan pertunjukan hiburan rakyat, bahkan ada pula yang langsung memberikan uang kepada masyarakat meski hal tersebut dilarang dalam peraturan.

Harun Husein dalam tulisannya dalam Teraju Republika pada tanggal 15 Mei 2012 mencatat bahwa caleg merupakan actor utama dari pelaku politik uang dalam pengertian membeli suara (vote buying).

Sikap pragmatisme politik yang dikedepankan oleh partai politik dan calonnya pada pemilu, pada akhirnya mempengaruhi masyarakat selaku pemilih. Saat ini masyarakat cenderung tidak tabu lagi untuk mengaitkan kemampuan seorang politisi yang memberikan hasil konkret terutama berupa pembangunan fisik dan material di suatu wilayah, pada saat menjelang pemilu dengan kelayakan untuk dipilih.

Celakanya ada sebagian masyarakat menilai layak atau tidaknya seseorang itu dipilih hanya berdasarkan kepada seberapa besar atau banyaknya materi (uang) yang dapat diberikan oleh calon tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai politik ditengah masyarakat dimana parameter kelayakan seorang pemimpin atau wakil rakyat untuk dipilih bukan lagi berdasarkan kompetensi, idealism, dan ideologi namun lebih kepada “apa yang dapat anda berikan?” terlepas apapun partai atau benderanya.

Sebagaimana tercermin dalam adagium sunda baru yang muncul ketika pemilu berlansung, yang berbunyi, “Meuli Cilok Di Kecapan, Moal Di Colok mun Teu Aya Gocapan”, yang artinya beli cilok (baso) dikasih kecap, tidak akan dipilih kalau tidak ada lima puluhan (ribu rupiah).

Seperti layaknya efek domino, sikap pragmatisme partai politik juga akan berimbas pada tingkat loyalitas masyarakat yang rendah terhadap partai politik dan para calon. Hal ini tercermin dari sangat fluktuatifnya suara partai politik dari satu pemilu ke pemilu lainnya.

Sebagai contoh, pada pemilu tahun 2014 di Kota Sukabumi ada partai politik yang memperoleh 4 kursi namun pada pemilu 2019 hanya memperoleh 1 kursi. Tingkat volatilitas (ketidak loyalan) yang cukup tinggi pada partai politik pada saat pemilu, pada akhirnya menyebabkan partai politik dan para calonnya seolah menjadi malas.

Alih-alih bekerja dengan sungguh-sungguh, mereka cenderung semakin menahan diri, untuk kemudian mendekati masyarakat tepat di detik-detik akhir menjelang pencoblosan melalui serangan fajar. Sikap ini justru pada gilirannya menyuburkan pragmatisme dan yang terpenting ketidakdekatan masyarakat pada partai, yang pada akhirnya makin menguatkan volatilitas. Lingkaran setan pragmatism pun tidak dapat dihindari.

Sistem pemilu dengan proporsional terbuka pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi azas inklusif dan keadilan pemilu dimana setiap orang akan memperoleh kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan strategis di pemerintahan.

Diharapkan dengan sistem proposional terbuka ini partai politik dapat mencalonkan kandidat terbaik yang memiliki pemahaman terkait dengan platform perjuangan politik serta ideologi yang diusung. Sehingga setiap visi, misi, serta program yang ditawarkan dapat tergambar dengan baik pada saat kampanye.

Sehingga persaingan yang diantara partai politik dan calonnya adalah persaingan konsep. gagasan, serta pemikiran, dan bukan hanya persaingan popularitas semu dan rente (materi).

Pada akhirnya semua pihak khususnya Partai Politik harus sadar, bahwa lingkaran setan pragmatisme politik harus dihentikan dengan segala upaya. Bahwa sistem pemilu yang dipilih (proporsional terbuka) seyogyanya untuk memperkuat dan memperbaiki sistem demokrasi di negeri ini.

Namun dengan menjamurnya pragmatism politik baik dilingkungan partai politik maupun masyarakat, maka alih alih demokrasi kita semakin mapan, malah kita yang akan terjerembab dalam sistem okhlokrasi atau mobokrasi sebagaimana yang telah diprediksi oleh polybios. Dan percayalah kita tidak pernah ingin prediksi polybios tersebut menjadi kenyataan.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *