Sarang Porang

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

OLEH: DAHLAN ISKAN

HARGA porang-yang kelewat tinggi itu akhirnya menemukan realitas baru: tinggal sekitar Rp 5000/kg. Sejak bulan lalu. Dengan harga baru itu petani memang masih bisa untung. Tapi tidak lagi pesta laba. Yang mendebarkan: kalau masih akan turun lagi. Benar-benar harus dicarikan jalan keluar.

Bacaan Lainnya

Tahun lalu harga umbi porang masih Rp 8.000/kg. Bahkan sempat di atas Rp 10.000. Terlalu menarik bagi petani. Banyak yang pindah menanam porang.

Konsumen tepung porang terbesar adalah Tiongkok. Untuk campuran makanan olahan. Indonesia hanya ekspor chips (umbi yang diiris-iris lalu dikeringkan) ke Tiongkok. Itu pun tidak bisa langsung. Harus lewat Thailand.

Penyebabnya: mirip sekali dengan ekspor sarang burung. Kita tidak konsisten dalam menjaga kualitas. Akhirnya Tiongkok melarang impor sarang burung dari Indonesia. Harga pun jatuh.

Dalam hal sarang burung, kita hanya bisa masuk Tiongkok lewat Malaysia. Diakui sebagai barang Malaysia. Dalam hal porang, kita harus lewat Thailand. Diakui sebagai porang Thailand.

Pengusaha sarang burung Indonesia ada yang nakal. Atau rakus. Mereka pernah menggunakan pencuci kimia. Untuk membuat warna sarang burung menjadi bening mengkilap. Sial. Ketahuan. Dilarang total. Yang tidak nakal pun kena getahnya.

Eksporter porang kita sama: porang kualitas rendah dikirim. Bahkan sudah berjamur. Ketahuan. Dicekal total. Harga porang kali ini merosot bukan hanya akibat itu. Masih ditambah dengan akumulasi tiga faktor sekaligus.

Pertama lagi terjadi krisis kapal dan kontainer. Eksporter komoditi lainnya juga pun terkena. Kedua, Thailand tidak bisa lagi ekspor porang ke Tiongkok. Permintaan dari Tiongkok lagi rendah.

Ketiga, pasokan porang dari petani kita melimpah. Dalam lima tahun terakhir luasan kebun porang meningkat lebih 100 kali. Bahkan mulai ada budidaya porang di tanah pertanian teknis. Itu berlebihan.

Tanah pertanian yang sistem pengairannya sangat bagus-yang seharusnya untuk komoditi seperti padi, kedelai, atau jagung jadi kebun porang.

Porang seharusnya ditanam di tanah yang kurang produktif. Atau sebagai tanaman sela di tengah kebun tanaman keras. Atau di tengah hutan.

Dengan demikian tanaman porang tidak perlu biaya pemeliharaan. Kalau pun harga turun seperti sekarang, kalau perlu, jangan dipanen. Umbinya bisa dipertahankan di dalam tanah. Tanpa biaya pemeliharaan. Tahun depan umbinya kian besar, Juga kian tua: rendemennya tinggi.

Tapi porang yang ditanam di tanah pertanian tidak bisa dibiarkan sampai tahun depan. Bisa sih bisa. Tapi perlu biaya pemeliharaan.

Kini masanya orang memasuki periode konsolidasi. Ekspansi harus dihentikan dulu.

Konsolidasi pertama adalah bibit. Jangan lagi ada yang mau membeli bibit dengan harga mahal. Masing-masing petani harus menanam porang dari benih porangnya sendiri.

Menanam porang dengan benih sendiri akan membuat daya tahan petani lebih kuat. Kalau saja harga porang turun lagi ke bawah Rp 5.000/kg masih bisa terus hidup.

Konsolidasi kedua: pembuatan chips/keripik porang. Jangan lagi dikeringkan dengan panas matahari. Keringnya tidak bisa standar. Tingkat kekeringannya juga tidak terukur. Kering yang tidak sempurna itu bisa menimbulkan jamur. Jamur itu tidak terlihat oleh mata. Tapi bisa terdeteksi di lab milik importer di negara tujuan.

Tentu mengeringkan pakai pemanas api/listrik/gas menimbulkan biaya. Mungkin bisa dijemur dulu 1 hari, lalu dikeringkan pakai pemanas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *