Plataran Lasso

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan/Net

OLEH: DAHLAN ISKAN

SAYA kesasar ke Plataran PIK Jumat sore kemarin. Alasan resminya: melihat pameran sepeda. Alasan sebenarnya: nebeng mobil, agar bisa ke Tanjung Priok. Malam itu, saya ada acara di pelabuhan terbesar Indonesia itu.

Bacaan Lainnya

Berarti saya harus mampir ke Plataran PIK dulu. Pemilik mobil itu, Anda sudah tahu, seseorang yang lagi memamerkan dagangan sepeda Wdnsdy-nya di situ. Tentu saya harus pura-pura melihat pameran itu. Untuk menyenangkan si pemilik mobil. Tapi bisa jadi ia kecewa: mata saya langsung tertarik ke hal yang lain. Ke pemandangan di lokasi itu: Plataran PIK ­–ke­tika menjelang senja tiba.

Begitu banyak manusia di situ. Remaja. Anak-anak. Dan orang tua mereka.

Keramaian itu sama sekali tidak terlihat dari jalan raya. Plataran itu tersembunyi di balik deretan toko dan kafe yang ada di Rukan Beachview. Sepanjang sekitar 1,5 Km.

Ketika mencari tempat parkir di pinggir jalan itu sulitnya bukan main. Penuh. Padahal tempat parkir di jalur lambat itu tersedia di dua sisi. Semuanya terisi. Sepanjang 1,5 Km.

Ternyata kafe di situ menghadap ke dua arah: muka dan belakang. Tanpa harus melanggar prinsip hongsui. Pintu depannya di lantai 1, menghadap jalan raya yang begitu lebar. Pintu belakangnya di lantai 2. Menghadap ke laut.

Itulah laut yang memisahkan pulau buatan dengan daratan Jakarta.

Di antara kafe dan laut itulah terbentang Plataran PIK. Sepanjang 1,5 Km. Melengkung.

Orang bisa duduk-duduk di teras kafe. Sambil melihat laut. Atau melihat orang yang lagi berjalan-jalan di Plataran itu.

Tidak boleh ada mobil atau motor lewat di situ. Ini street walk. Di Tiongkok disebut bu xing jie. Yang selalu tersedia di setiap kota: orang bisa melihat orang.

Jakarta akhirnya punya lokasi seperti itu: manusia bisa bertemu manusia di jalan raya. Saya pernah kecil-kecilan membuatnya di Surabaya: Kya Kya. Tidak berumur panjang. Gagal. Peninggalan Kya Kya itu masih terlihat di Jalan Kembang Jepun.

Plataran PIK berhasil sekali. Pun ketika masih setengah ”telanjang”: lingkungannya belum terbentuk. Belum indah. Pohon-pohonnya terlalu sedikit dan seperti akan mati. Hiasan lampunya masih biasa-biasa saja. Masih jauh dari suasana Nanjing Dong Lu di Shanghai.

Potensi ke arah sana sudah sangat besar.

PIK secara natural juga telah menjadi pusat pesepeda. Track sepedanya sangat disukai orang Jakarta –bahkan mungkin karena itulah satu-satunya.

Selama ini penggemar sepeda di Jakarta mengeluh –di dalam hati– tidak ada kawasan bersepeda yang seimbang dengan besarnya ledakan sepeda di ibukota.

PIK adalah pilihan satu-satunya: ada tanjakan panjang (jembatan), ada kelokan, ada matahari, dan –ini yang tidak kalah penting– banyak makanan.

Saya terpaksa mewawancarai pemilik mobil itu. Yang setiap ke Jakarta pasti bersepeda di PIK. “Di PIK kita bisa bersepeda dengan loop sepanjang 7 Km tanpa ketemu lampu merah,” ujar Si Pemilik Wdnsdy yang pura-pura tidak mau disebutkan namanya.

Loop itu ditutup untuk kendaraan selama dua jam: 06.00 sampai 08.00. Jalannya luas. Aspalnya mulus. Sangat cocok rata. Tikungan di ujungnya berbentuk seperti lasso.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *