Pendidikan yang Menyenangkan

kang-warsa

Oleh: Kang Warsa

 

Bacaan Lainnya

Benarkah pendidikan saat ini belum sepenuhnya dapat menyenangkan para peserta didik? Apakah pendidikan dapat menyenangkan peserta didik? Dua pertanyaan ini jarang diajukan dalam forum resmi selama dua tahun berturut-turut karena pandemi telah mengurai seluruh fitur sosial yang mapan menjadi norma baru. Termasuk dalam hal pendidikan, cara dan metode baru telah dipraktikkan

 

Sebelumnya, dunia pendidikan tidak pernah mengenal pembelajaran jarak jauh kecuali di beberapa perguruan terbuka atau kesetaraan. Walakin, belakangan ini menjadi hal familiar. Dampak penerapan norma baru dalam dunia pendidikan yaitu menurunnya tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang disampaikan secara daring. Atas alasan pandemi, permasalahan seperti ini dapat dianggap wajar atau didiamkan sesaat.

 

Dua pertanyaan tadi, kendati jarang dibahas dalam forum-forum resmi, sebenarnya telah diajukan oleh para peneliti dan telah diberikan beberapa jawaban, bagaimana menciptakan kondisi ruang belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi warga sekolah. Hanya saja, sejauh ini, saya masih sering menyaksikan, para peserta didik tidak dapat menyembunyikan “rasa bahagia” ketika jam pelajaran berakhir. Wujud kegembiraan mereka perlihatkan melalui rona sumringah, sebagian dari mereka ada yang mengepalkan tangan hingga berteriak “hore!”. Rasa senang akan semakin termanifestasi ketika sekolah mengumumkan: besok sekolah diliburkan!

 

Saya tidak langsung menyimpulkan sikap para peserta didik seperti di atas karena sekolah memang tidak menyenangkan dan membuat mereka kerasan. Bukan hanya dialami oleh peserta didik, para pegawai juga sudah tentu menunjukkan sikap senang di akhir jam kerja, apalagi saat menghadapi cuti bersama atau liburan panjang. Dan “panjang” bagi para pegawai tentu saja tidak sampai berminggu-minggu. Rasa senang di akhir jam kerja dan jam belajar tidak sepenuhnya menunjukkan lingkungan belajar dan tempat bekerja tidak menyenangkan.

 

Kebiasaan menunjukkan rasa senang di akhir kegiatan pembelajaran oleh para siswa memang menjadi alasan kolektif. Saya ambil contoh, umat manusia –secara umum- telah terbiasa merayakan kedatangan tahun baru. Keceriaan kolektif ini sebetulnya bukan karena umat manusia memasuki tahun baru, melainkan mereka telah membersamai Planet Bumi mengitari matahari, genap satu tahun. 

 

Sepintas, perayaan dan sukacita seperti ini akan dipandang aneh jika dipikir secara jernih. Bumi telah menggenapkan revolusi terhadap matahari, kenapa harus dirayakan? Bukankah fenomena alam ini memang sudah berlangsung sejak konstelasi tata surya terbentuk? Namun dengan pikiran positif, perayaan yang ceria merupakan wujud rasa syukur, ini mungkin menjadi alasan yang sulit dibantah.

 

Atas alasan ini, keceriaan kolektif dan massal umat manusia menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap situasi bahagia para peserta didik di jam akhir pembelajaran. Tabiat dan perilaku manusia dalam teori nativisme memang telah terbentuk sejak mereka lahir dan tersusun secara apik di dalam DNA mereka. Belakangan ini ada yang menduga-duga, dapat saja DNA dalam tubuh manusia ini –sebetulnya- penafsiran dari kata takdir yang telah tercatat di lauhul mahfudz. 

 

Penafsir progresif dapat saja mengiyakan hal ini karena penafsiran Al-Quran dengan pandangan yang paling relevan sangat diperlukan agar agama dapat dicerna dan mampu memberikan jawaban terhadap fenomena sosial terkini. Bagi para nativis, manusia cerdas, bodoh, rajin, malas, dan karakter lainnya memang menjadi milik setiap orang. Dalam terma ajaran Hindu, kemungkinan besar hal ini yang mengharuskan para pemeluknya menyadari terhadap Dharma hidup.

 

Era revolusi industri 4.0 bukan lagi pertentangan berbagai teori antara tabularasa dan nativisme, kecuali menjadi zaman penyatuan dan sintesis seluruh teori untuk menghasilkan gagasan yang paling luwes dan mampu dicerna oleh umat manusia. Pun dalam hal pembelajaran, rasa senang jarang diperlihatkan oleh para peserta didik selama jam pelajaran selain dipengaruhi oleh genetika manusia yang ingin merdeka, terbebas dari beban, juga diciptakondisikan oleh lingkungan belajar. Situasi dari luar, seperti metode pembelajaran yang membosankan menjadi pemicu hormonal, para peserta didik harus memberontak dengan memperlihatkan rasa tidak senang berlama-lama di ruang kelas.

 

Rata-rata peserta didik di negara ini kurang antusias terhadap mata pelajaran tertentu, misalnya; matematika, fisika, kimia, dan ilmu pasti lainnya atau mata pelajaran yang  berkaitan dengan angka dan hitungan. Guru yang kurang bijaksana akan menyebut siswa malas dan bodoh kepada mereka. 

 

Jika ditelusuri, eksistensi manusia yang dihasilkan dari proses ledakan dahsyat, berkecamuknya atom-atom kemudian merestrukturisasi diri menjadi partikel yang lebih besar, saling berkoordinasi membentuk unsur-unsur baru dalam kurun miliaran tahun, hingga keberlangsungan spesies manusia harus dipertahankan melalui proses pernikahan adalah fenomena yang telah tercatat dalam diri manusia. 

 

Ketika fenomena yang telah tercatat tersebut dimunculkan kembali dalam bentuk rumus dan hitungan, alam bawah sadar manusia akan menganggap, hanya buang-buang waktu saja, toh secara alamiah apa yang dijelaskan oleh rumus-rumus fisika memang sudah terjadi sejak miliaran tahun lalu. Isaac Newton telah menemukan rumus gaya, sebetulnya merupakan perpaduan antara dunia empiris dengan memori alam bawah sadar dirinya yang tersurat di dalam DNA.

 

Kegiatan belajar dan mengajar di sekolah dapat menyenangkan warga sekolah ketika mereka menggunakan cara baru yang belum pernah ditempuh dan mampu menyadarkan alam bawah sadar mereka terhadap pengalaman menyenangkan di masa lalu. Dengan alasan apapun, semua berkas masa lalu para leluhur benar-benar tersalin di dalam DNA kemudian disalin kembali ke dalam sel-sel dalam diri kita. Sesekali, tanpa disadari berkas-berkas ini dapat diakses secara spontan. 

 

Dalam pandangan kaum psikoanalisis, kasus kesurupan disebabkan oleh data masa lalu yang dapat diakses oleh sel-sel otak kemudian menimbulkan fantasi. Tidak mengherankan seseorang yang mengalami kesurupan selalu berceracau bahkan mengaku dirinya sebagai leluhur atau karuhun

 

Jadi, dengan metode dan cara-cara baru inilah memori dan berkas bawaan para peserta didik dapat diakses melalui pemicu kesadaran kolektif. Rasa senang yang muncul ini akan mampu mengkombinasikan berkas yang mereka miliki dengan empirisme masa kini. Pepatah memang sering mengatakan: tidak ada manusia yang bodoh karena pada dasarnya setiap manusia telah dibekali oleh berkas-berkas masa lalu yang kompleks.

 

Selama satu windu ini, saya sering mengatakan kepada para peserta didik bahwa mereka memiliki potensi dahsyat, ia akan meledak jika memiliki habitat yang tepat. Seekor singa akan menjadi singa ompong jika dijauhkan dari habitatnya dengan cara dikurung atau disatukan dengan binatang lain sejak kecil. Apapun itu, entah manusia atau hewan akan memiliki daya lecut tinggi jika mereka menempati habitat yang mampu mendorong potensinya. 

 

Kenapa demikian? Karena secara kasat mata, kelahiran manusia ini diawali oleh ledakan (dalam hal ini proses pembuahan), kemudian lahir ke dunia sebagai peristiwa pelepasan dari induknya (ibunya). Hal-hal inilah yang menjadi alasan, setiap manusia selalu ingin merdeka, bebas, dan tidak ingin dikurung oleh apapun. Sekolah atau lingkungan belajar harus menjadi salah satu habitat kompleks para peserta didik, artinya tidak selalu kegiatan pembelajaran warga sekolah diselenggarakan secara serentak di dalam kelas.

 

Kenapa sekolah-sekolah jarang memberikan kemerdekaan kepada para peserta didik untuk mengeksplorasi lingkungan dan habitat mereka sendiri? Jika pun dilakukan biasanya selalu dilengkapi oleh prasyarat dengan memperbanyak menggunakan kata: “jangan ini, jangan itu!” Sekolah tidak harus memposisikan diri mereka sebagai kerangkeng dan jeruji besi bagi peserta didik. Dunia pendidikan tidak memerlukan kebijakan klise apalagi mengada-ada, melainkan menghadirkan karakter alamiah seluruh warga sekolah. 

 

Para pengajar harus memahami bagaimana alam ini bekerja. Misalnya alam telah menyiapkan seluruh rumus dalam kehidupan, bahkan benar-benar dapat dipahami oleh akal sehat. Pendidikan klise akan jarang melahirkan manusia yang melejit potensinya dan sesuai dengan kondisi alamiah mereka. Silakan, tanya kepada beberapa peserta didik: untuk apa kamu belajar? Karena telah diberikan cara dan metode klise, rata-rata jawaban mereka adalah “untuk mendapatkan ijazah, bekerja, dan seterusnya”. Ya, harus saya akui, diri saya dan teman-teman satu angkatan juga mungkin merupakan produk dari pendidikan klise ini.

 

Kita dituntut untuk menciptakondisikan sekolah agar selaras dengan alam dan bekerja sesuai dengan rumus-rumus alamiah. Paling tidak sekolah harus lebih sering memperhatikan dan mengobservasi melalui perbandingan-perbandingan situasi. Bandingkan kondisi para peserta didik di saat sekolah menyelenggarakan kegiatan pentas dan gelar seni dengan kondisi keseharian di sela-sela jam kegiatan pembelajaran. 

 

Situasi dan kondisi yang memberikan kemerdekaan berekspresi justru lebih dipilih oleh para siswa daripada mereka harus berlama-lama mendekam di dalam ruang belajar, duduk di atas bangku keras terbuat dari kayu dan dibatasi oleh tembok-tembok kokoh dan rapat. Kita sebaiknya mengingat apa yang dikatakan oleh Lee Kwan Yew: karut-marut tata kelola dan lingkungan yang dipenuhi oleh dinding beton secara perlahan akan merusak mental manusia.

Pos terkait