Mitos Logos

Oleh : Kang Warsa

Sebagian dari kita tentu masih ingat, berfilsafat merupakan sebuah usaha untuk menjadikan diri kita menjadi lebih bijaksana dalam menilai dan menghadapi setiap permasalahan. “Bijaksana”, sebuah kata yang mudah diucapkan namun sulit direalisasikan.

Bacaan Lainnya

Kita tentu  pernah mendengar kata mitos. Di dalam tradisi kita sebagai masyarakat Sunda banyak dijumpai mitos-mitos, sebagian besar dipenuhi oleh cerita atau dongeng tentang hal-hal yang kita anggap tabu, sakral, mengandung pepatah, dan sejumlah perintah serta larangan.

Misalnya: dalam masyarakat kita dijumpai adanya larangan menggunting kuku di malam hari, menyisir rambut sambil berjalan, adanya ririwa, sandékala, dan cerita-cerita lainnya yang berhubungan dengan alam-alam astral. Kita –sebagai manusia modern – menyebutnya mitos.

Mitologi berasal dari dua kata mitos dan logos, kata ini memiliki arti mitos yang dilogoskan atau mitos yang dijelaskan, kita juga bisa menyebutnya sekumpulan mitos yang berkembang di masyarakat.

Dalam diri kita tentu akan muncul pertanyaan, mengapa para leluhur kita menciptakan mitologi? Dan untuk apa mitologi itu harus ada dalam kehidupan di masa lampau?

Bagi sapiens modern yang telah mempelajari ilmu alam akan dengan mudah menjelaskan bagaimana proses terjadinya hujan, halilintar, gunung meletus, dan peristiwa-peristiwa alam lainnya karena manusia telah menemukan jawaban-jawaban terhadap persoalan tersebut melalui serangkaian penelitian dan penemuan.

Ilmu pengetahuan telah menguraikan bagaimana proses terjadinya hujan, kita telah diperkenalkan oleh guru Fisika pada siklus air.

Tetapi kita jarang sekali berpikir, bagaimana proses panjang – sejak manusia belum mampu menjelaskan peristiwa-peristiwa alam hingga dapat dijabarkan melalui ilmu pengetahuan atau sains – berlangsung?

Para leluhur kita dan orang-orang pada zaman dahulu di wilayah mana pun tentu saja pada awalnya mengalami kesulitan bagaimana menjelaskan proses terjadinya hujan, air yang turun dari atas ke bawah.

Peristiwa alam seperti hujan tentu harus dijelaskan oleh para pemangku kepentingan di masa itu dengan alasan yang mudah dicerna oleh orang-orang di zamannya.

Mereka menciptakan mitologi, peristiwa turunnya hujan ini dihubungkan dengan kekuatan besar di luar  diri manusia, ada kekuatan yang tidak terjangkau.

Pikiran mereka belum menyentuh ranah kosmos, sistem dan keteraturan di alam semesta ini. Dengan begitu mereka menyimpulkan, hujan merupakan bentuk kebaikan dewa atau dewi kesuburan. Bahkan di beberapa wilayah sering ada yang menghubungkan hujan ini merupakan tangisan para bidadari.

Di wilayah-wilayah lain, dewi-dewi kesuburan diciptakan atau diproyeksikan dengan berbagai nama, seperti Isis, Afrodit, Venus, Manaat, Freyja, dan Dewi Sri.

Mengapa dewi Sri disebut sebagai dewi kesuburan? Pada zaman dahulu, leluhur kita memiliki anggapan padi-padi di sawah ini ditumbuhkan oleh dewi Sri, jika mereka menyiapkan sesaji salah satu bentuk ungkapan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada sang dewi.

Mereka memiliki anggapan ketika dewi Sri ini bahagia, dia akan meneteskan air mata, kemudian menjadi hujan, turun ke bumi, dan menyuburkan tanaman padi yang akan di tanam di musim berikutnya.

Tetapi, jika upacara-upacara sebagai ungkapan rasa syukur itu tidak dilakukan, kemarahan dari dewa-dewi akan ditimpakan dan dirasakan oleh masyarakat, para dewa-dewi akan menurunkan bala, hama, dan wabah penyakit.

Tanaman apa pun tidak akan tumbuh dengan baik, sawah dan kebun dirusak oleh hama, melahirkan kelaparan, dan tentu saja berujung pada kematian.

Jadi, mereka menyimpulkan, adanya peristiwa alam yang baik merupakan bentuk keramahan para dewa sementara ketika terjadi keburukan hal ini merupakan bentuk kemarahan para dewa.

Agar para dewa dan dewi di alam kahyangan tersebut tetap berbahagia, maka dilakukanlah berbagai macam upacara, persembahan, sesaji, hingga menyembelih binatang dan menguburkan kepalanya.

Karena orang-orang di zaman dulu  meyakini bahwa kehidupan di kahyangan  tidak jauh berbeda dengan kehidupan di bumi. Para  dewa dan dewi itu senang berpesta-pora, makan dan minum, merasa haus akan sanjungan, iri jika  manusia mengalami kemajuan atau kesuksesan, dan akan marah besar jika keinginanan mereka tidak dicukupkan oleh manusia.

Sehebat apapun manusia, tetap saja mereka, para dewa-dewi itu,  berada di atas manusia dan berkuasa sepenuhnya.

Kita dapat saja berpikir dan bertanya, mengapa mitologi dibuat dan siapa yang menciptakannya?

Mitologi diciptakan ini tidak jauh berbeda dengan manusia-manusia modern yang menuliskan sejarah masa lampau.

Ada kepentingan dari sekelompok orang mengapa masa lalu yang telah menyelesaikan tugasnnya harus hadir di masa kini?

Mitologi dibuat atau diciptakan oleh sekelompok elit atau dalam term tradisi Sunda oleh para inohong dengan tujuan untuk menertibkan kehidupan manusia sendiri, agar persoalan dan permasalahan mengenai alam serta kehidupan ini dapat dijawab secara efektif.

Konsepnya tentu saja abstrak seperti halnya surga dan neraka dalam keyakinan  kita sekarang. Saat orangtua mengatakan: pamali berbuat itu!

Seorang anak dapat  saja mengajukan pertanyaan, apa itu pamali?

Mengapa pamali?

Tetapi tentu saja, pertanyaan semacam itu tidak akan pernah diucapkan oleh seorang anak di masa lalu karena disebut tidak sopan, melanggar tata-krama, bertentangan dengan norma susila. Itulah keteraturan, tidak adanya sikap tidak sopan anak-anak kepada orangtua, saling menghormati satu sama lainnya, pada awalnya dibangun melalui proyeksi atau percerminan terhadap mitologi itu sendiri.

Untuk itulah, para pemangku kepentingan menciptakan mitologi dari A-Z, dari yang berhubungan dengan kehidupan hingga kematian.

Matahari merupakan sumber energi tertinggi dalam kehidupan. Orang-orang zaman dulu meyakini, bintang terdekat dengan Bumi ini dijaga oleh seorang dewa, diyakini juga sebagai dewa tertinggi karena tanpa matahari kehidupan di Bumi tidak akan berjalan dengan normal, bahkan kematianlah yang akan terjadi.

Di Mesir dewa tersebut diberi nama Amun Ra, di wilayah Timur diberi nawa Surya, sampai saat ini kita masih menyebut “Sang Surya” kepada matahari.

Memang benar, mitologi-mitologi yang berkembang di wilayah kita ini sebenarnya merupakan adopsi dari kebudayaan lain, karena dalam masyarakat Sunda Kuno sama sekali tidak dikenal keyakinan seperti ini, masyarakat Sunda telah memiliki pandangan unik bahwa kehidupan ini telah diatur sepenuhnya oleh Dia Yang Maha Tunggal.

Tetapi mitologi pun tetap lahir dalam masyarakat Sunda sebagai upaya untuk membumikan hal-hal yang abstrak atau melangit ke dalam kehidupan sehari-hari agar mudah dicerna oleh setiap orang. Bahkan ada anggapan, kata Sunda sendiri memiliki arti sinar atau pancaran.

Supaya matahari tetap memancar, masyarakat membangun kuil-kuil pemujaan yang ditujukan kepada Sang Surya. Bangunan-bangunan diciptakan menjulang tinggi sebagai refleksi kedekatan manusia dengan dewa matahari.

Sampai zaman ini pun simbol yang terhubung dengan mitologi tersebut masih tetap digunakan oleh manusia modern. Kita tentu sering melihat logo matahari bersinar pada berbagai produk yang sering kita gunakan?

Itulah transfer simbol mitologi dalam kehidupan sekarang.

Orang-orang yang tinggal di gurun pasir, seperti wilayah Timur Tengah (Mesopotamia dan sekitarnya) lebih cenderung memproyeksikan kehidupan malam dalam mitologinya.

Mereka merupakan masyarakat nomaden, penggembala, sering berpindah-pindah tempat, dan merupakan para kafilah yang biasa bepergian di malam hari. Bulan dan bintang merupakan benda langit yang sangat membantu aktivitas mereka di malam hari, sebagai kompas atau petunjuk arah.

Demi alasan itulah, orang-orang Arab kuno telah menjadikan bulan dan bintang sebagai dewa-dewi atau sesembahan mereka.

Orang Arab kuno menyebutnya Istaar, Astarte, atau Easter. Saat ini, simbol bulan-bintang masih tetap digunakan oleh masyarakat Timur Tengah.

Uraian di atas hanya sedikit saja dari sekian banyak mitologi yang ada di dunia ini. Kita tidak dibenarkan menyalahkan apa yang telah diusahakan oleh siapapun sesuai dengan ukuran zamannya dengan ukuran kita sebagai manusia modern jika hal itu berlangsung dan dilakukan  demi kebaikan di masa itu.

Sebab, bisa jadi, jika mitologi tidak diciptakan, manusia tidak akan mencapai puncak kemashurannya sebagai mahluk beradab sekaligus berperadaban. [ ]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *