Menjelang Belajar Merdeka dan Merdeka Belajar

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Delapan tahun lalu, saya menulis opini Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia di harian Radar Sukabumi. Pandangan saya saat itu dipengaruhi oleh penerapan Kurikulum 2013 (Kurtilas) yang lebih memberikan tuntutan kepada para guru dalam menyelesaikan administrasi di sekolah daripada memandang proses pembelajaran secara partisipatoris antara guru, siswa, dan lingkungan. Kurikulum 2013 memang memberikan keleluasaan kepada setiap sekolah untuk mengeksplorasi keberadaan mereka dengan lingkungan sosial kultural.

Bacaan Lainnya

Kendati demikian, dalam praktiknya kurikulum yang dikeluarkan secara sporadis ini tidak sesuai dengan harapan. Transisi pemikiran dari kurikulum sebelumnya ke kurikulum baru memerlukan waktu panjang karena Kurikulum 2013 lebih bersifat cair namun memerlukan keseriusan dalam mempraktikkannya ke dalam ruang sekolah yang telah sekian lama memiliki ciri khas: ajeg, mapan, dan hadir dengan normanya sendiri.

Lima tahun keberlangsungan Kurikulum 2013 sejak dikeluarkan sampai tahun 2018, rata-rata sekolah pada praktik pembelajarannya tetap saja mengikuti metode yang memang kadung telah begitu mapan, mungkin sejak negara ini menganut sistem pendidikan modern. Misalnya, Ujian Nasional tetap diselenggarakan, perbedaannya hanya terletak dari media yang digunakan oleh para siswa, dari LJK (Lembar Jawaban Komputer) ke UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer).

Jika sebelumnya komputer (lebih tepat mesin pemindai) hanya ditempatkan sebagai mesin penilai akhir, sedangkan pada pelaksanaan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer), kehadiran computer benar-benar tampak nyata dan tersentuh oleh para siswa. Tidak memiliki perbedaan signifikan dari objek yang dinilai, murni akademik. Walakin, UNBK secara kasat mata telah menghasilkan nilai akhir siswa lebih jujur dari ujian-ujian sebelumnya.

Kita tidak dapat menyangkal, computer berbeda dengan penilai dari golongan manusia. Obyektivitas komputer tidak dipengaruhi oleh “perasaan”, belas kasihan, dan tebang pilih. Computer tidak akan pernah memandang seorang siswa yang selalu akrab dengannya sebagai seorang kawan atau saudara yang harus dikasihani kemudian mesin cerdas ini memberikan nilai bagus untuk siswa.

Usia UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) hanya seumur jagung. Di masa pandemi Covid-19, kegiatan pembelajaran mengalami relaksasi bersama fitur-fitur kehidupan lainnya. Pembelajaran dari rumah atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi salah satu keniscayaan dijadikan pilihan untuk menghindari penularan virus corona. Kehadiran pandemi Covid-19 telah memukul dunia pendidikan sekaligus melahirkan cara baru para praktisi dan pakar pendidikan agar pendidikan benar-benar tidak tersendat sepenuhnya.

Di masa pandemi, ruang-ruang pembelajaran otomatis pindah dari ruang nyata (sekolah dan kelas) ke ruang-ruang virtual. Banyak yang mengira, kerumunan di ruang nyata seperti di sekolah dan kelas dapat memicu kemunculan cluster baru penyebaran virus corona, sementara aktivitas manusia di ruang virtual dengan beragam platformnya sulit terjamah oleh virus corona.

Hakikatnya sama saja, perpindahan aktivitas dari ruang nyata ke ruang virtual justru telah menjadi penyebab penularan virus virtual yang lebih berbahaya, ketergantungan anak-anak pada ponsel dan permainan daring, penurunan hasil belajar. Atas alasan itulah, rata-rata sekolah di negara ini memberikan keleluasaan kepada sekolah dalam hal nilai kelulusan kelas akhir. Semua memandang wajar, para siswa angkatan 2020 menyebut diri sendiri sebagai angkatan Covid-19 karena dapat lulus tanpa melalui proses ujian akhir.

Satu tahun sejak pandemi menjadi hal mengerikan dan melumpuhkan aktivitas belajar di dunia nyata, para praktisi dan pakar pendidikan diharuskan memikirkan cara baru dan yang tepat untuk mengatasi kenyataan bahwa tingkat penyerapan mata pelajaran oleh peserta didik di masa pandemi dengan skema Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sulit diharapkan dapat mengimbangi soal-soal penilaian akhir atau Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

Pelaksanaan ujian untuk siswa kelas akhir tidak lagi diselenggarakan secara nasional melainkan diberikan kepada seluruh sekolah secara daring. Jika dipikir secara mendalam, kehadiran pandemi Covid-19 seperti sebuah dilema, satu sisi melumpuhkan pendidikan di dunia nyata, namun pada sisi lainnya menjadi pemicu kelahiran belajar merdeka bagi sekolah-sekolah, siswa, dan guru di negara ini.

Di saat penularan virus corona melandai, pada pertengahan tahun 2021 sekolah-sekolah di negara ini mempersiapkan diri untuk mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) pada setiap satuan pendidikan. ANBK merupakan salah satu upaya Kementerian Pendidikan, Riset, dan Pendidikan Tinggi untuk mengganti UNBK yang terlalu menyudutkan para siswa pada ruang sempit kecerdasan akademik. Asesmen Nasional lebih menuntut bidang-bidang kecerdasan berbeda dari setiap siswa.

Untuk mengukur wawasan kebangsaan dan sejauh mana pendidikan di setiap daerah memiliki kemampuan mengembangkan pendidikan berbasis kemajuan teknologi dan informasi, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan juga harus mengikuti Survey Lingkungan Belajar (SLB) yang serupa dengan survey mawas diri masyarakat terhadap lingkungannya. Melalui survey seperti ini, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan diharapkan menumbuhkan kejujuran dalam menilai sekolah dan cara-cara yang diberikan dalam menanggapi fenomena di sekolah. Kendati bagus, mungkin hanya merupakan awalan, sampai akhir tahun ajaran 2021/2022, rata-rata sekolah memang belum mengetahui hasil penyelenggaraan Asesmen Nasional ini. Perbedaan mencolok antara UNBK dan ANBK terletak dari pesertanya, UNBK membidik siswa kelas akhir, sementara ANBK memilih peserta didik kelas 5, 8, dan 11.

Menjelang Belajar Merdeka

Menteri Nadiem Makarim mengawali tahun pelajaran 2020/2021 dengan mengeluarkan kebijakan baru bagi dunia pendidikan yakni Kurikulum Merdeka. Tentu saja, sesuai dengan namanya, kurikulum ini bertujuan mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa ini; mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam beberapa pertemuan daring yang saya ikuti, Kurikulum Merdeka memiliki keunggulan antara lain; sekolah-sekolah harus memfokuskan pada materi-materi secara substansial dan pengembangan kompetensi siswa sesuai dengan perkembangan fase pertumbuhan mereka. Kesadaran seperti ini justru harus benar-benar tumbuh di dalam kehidupan dan harus diakui secara jujur –terutama oleh para guru- yang sampai saat ini kita masih terjebak pada pembelajaran modern namun kuno.

Sejak Belanda mendirikan sekolah modern di negara ini, kita terjebak pada sistem pendidikan modern yang nyata-nyata justru tertinggal jauh oleh sistem pendidikan tradisional. Salah satu contoh; sistem pendidikan tradisional memberikan materi pelajaran kepada peserta didik memang sesuai dengan fase perkembangan mereka, tidak memaksa mereka agar mendapatkan nilai baik, namun perlahan namun pasti, beberapa tahun kemudian –misalnya para santri di pondok pesantren- telah memiliki kemampuan membaca kitab-kitab klasik dan sudah fasih membaca ayat-ayat kitab suci. Di sekolah-sekolah yang menerapkan sistem modern, sejak usia dini anak-anak telah dijejali materi pelajaran yang tidak sesuai dengan fase perkembangan mereka. Materi yang diberikan kepada anak-anak telah menjadi beban bagi mereka, pada perkembangan selanjutnya mereka sampai pada titik jenuh.

Paling tidak, Kurikulum Merdeka yang dimulai dengan membangun sekolah-sekolah penggerak harus mampu mewujudkan beberapa hal di dalam kehidupan masyarakat dan cara pandang mereka terhadap pendidikan. Pertama, masyarakat harus mulai terbiasa memasukkan anak-anak ke sekolah sampai anak-anak telah menginjak umur tujuh tahun. Kesalahan justru terjadi dalam pola pikir masyarakat kita, ada anggapan, semakin muda seorang anak (misalkan di bawah umur 6 tahun) semakin baik mereka disekolahkan. Di negara-negara berpendidikan maju, sangat terlarang (baca haram) merenggut masa kanak-kanak, karena masa kecil merupakan  usia emas (golden age) anak-anak.

Kedua, sekolah-sekolah harus mulai memperkecil jumlah ujian dan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik hingga mereka benar-benar telah dewasa. Sebab faktanya, sampai sekarang, anak didik dibebani banyak tugas dan pekerjaan rumah.  Ketiga, tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi paling tidak hingga tingkat master dan disubsidi sepenuhnya oleh negara. Semua guru tidak harus dipusingkan memikirkan biaya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, mereka tinggal memilih saja.

Keempat, sekolah negeri dan swasta harus didanai sepenuhnya oleh negara. Sekolah merupakan sarana publik, sudah menjadi kewajiban negara seluruh pembiayaan pendidikan ini ditanggung sepenuhnya oleh negara tanpa alasan apa pun. Hal penting dari pembiayaan pendidikan oleh negara adalah; lahirnya kesetaraan yang diterima oleh peserta didik, tenaga pendidik, dan sekolah. Saat ini, masing-masing sekolah berlomba menaikkan citra di hadapan masyarakat , hingga lahir lah penilaian sekolah unggulan, sekolah favorit, negasi dari hal tersebut adalah adanya penilaian “sekolah buangan, sekolah bermasalah” kepada beberapa sekolah.

Kelima, adanya penilaian oleh pemerintah terhadap para guru dengan memberikan keleluasaan kepada mereka dalam menyampaikan materi ajar kepada para peserta didik. Hal penting dari keleluasaan dan sikap otonomi para guru adalah mereka harus lebih sedikit menghabiskan waktu di Sekolah. Mereka harus lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah atau keluarga.

Keenam, semua sekolah harus memberikan waktu istirahat yang cukup untuk para peserta didik hingga 75 menit. Para siswa diberi kebebasan untuk menghabiskan waktu istirahat mereka di ruang-ruang publik sekolah, melihat karya-karya seni, diberi keleluasaan berinteraksi secara maksimal dengan rekan-rekan mereka dan dengan cara mereka sendiri-sendiri. Adanya interaksi dengan lingkungan sosial tersebut mendidik para siswa bagaimana cara menghargai sesama, bagaimana cara mereka bekerja sama dengan orang lain, belajar keterampilan sosial, dan belajar bagaimana caranya menghambat agresi serta tekanan dari orang lain.

Ketujuh, sekolah-sekolah dilarang melakukan retensi, pengusiran, pemindahan, dan DO kepada para peserta didik. Tidak ada sanksi fisik diberikan oleh sekolah kepada peserta didik, karena rata-rata peserta didiknya pun telah menghargai betapa pentingnya pendidikan bagi mereka. Kita harus memiliki pandangan; sekolah yang melakukan retensi, sanksi, pengusiran, dan DO kepada siswa cenderung memiliki sistem pendidikan yang lemah , mahal, dan menghilangkan keadilan sosial.

Kedelapan, hal penting dalam Kurikulum Merdeka yaitu mengharuskan para orangtua  untuk mendidik anak mereka sebelum memasuki usia sekolah. Kualitas anak-anak pra-sekolah mesti benar-benar diperhatikan. Bahkan, di beberapa negara dengan berpendidikan lebih maju ada aturan para karyawan diberi cuti hamil selama lima tahun, agar kedekatan ibu dengan anak terjalin dengan intens.

Hal di atas harus benar-benar dipersiapkan sebelum kita memasuki cara baru dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Belajar Merdeka harus diawali dengan kesiapan kita dalam mempraktikkan Merdeka Belajar. Harus diakui, kita memang masih tertatih-tatih di dunia pendidikan untuk mencapai cita-cita besar para pendiri negara ini: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pos terkait