Hijrah: Represi Budaya dan Agresivitas Kapitalis

“Barang siapa yang berhijrah dijalan Allah Swt, niscaya mereka mendapati dimuka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak……”  (Q.S An-Nisaa’: 100).

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu sendirilah yang mengubahnya”  (Q.S Ar-Ra’d: 11)

Bacaan Lainnya

Budaya yang melembaga?

Berangkat dari ayat-ayat yang saya kutip diatas, mungkin itulah segelintir dalil yang melegitimasi tindakannya sehingga mengapa mereka mengkampanyekan gerakan pemuda hijrah yang marak kita temui akhir-akhir ini. Fenomena yang cukup booming di latarbelakangi oleh rumus kehidupan bahwa manusia itu selalu berkeinginan untuk menjadi lebih baik di hari esok.

Adapun corak hijrah yang coba mereka timbulkan itu pada persoalan tampilan. Perempuan menggunakan jilbab yang besar sampai memakai Niqob dan pria biasanya berjenggot dan menggunakan celana cingkrang.

Selain itu, perubahan yang dilakukan baik oleh laki-laki ataupun perempuan itu pada segi gramatikal. Kata aku menjadi ana, Kata Kamu menjadi antum/anti. Secara implisit, menurut mereka dengan menyerap budaya arab, mereka merasa lebih religius dari orang lain yang menggunakan tampilan serba biasa dan bahasa lokal.

Saya mengamati bahwa fenomena hijrah ini banyak dialami oleh remaja yang tinggal di perkotaan dan di perguruan tinggi. Kota Bandung misalnya, di Bandung ada gerakan pemuda hijrah yang dimana salahsatu lokomotifnya itu bersedia merangkul anak punk, geng motor, dan pemuda dari golongan lainnya.

Saya mengapresiasi tindakan ini yang mengindikasikan bahwa kesalehan itu tak semata-mata dalam religiusitas dan hal sakral saja, tapi ada suatu misi yang dimana selalu diabaikan oleh orang-orang alim ulama—yakni saleh sosial.

Sedangkan, di perguruan tinggi umum, karena kebanyakan dari mahasiswanya berlatar belakang mereka dari sekolah formal. Alhasil, ketika mereka menemui kajian-kajian keagamaan di ruang akademis, sehingga mereka lebih menceburkan diri keranah religiusitas.

Hal ini justru berbanding terbalik dengan kondisi perguruan tinggi agama Islam Negeri. Di UIN Bandung misalnya, kampus yang terletak di ujung Timur Kota Bandung ini merupakan kampus yang didalamnya banyak alumni-almuni pesantren SMA/Sederajat, yang menurut mereka sudah biasa mengkaji keagamaan diruang-ruang akademis.

Sehingga, output yang ditimbulkan oleh mahasiswanya itu berpahaman kebarat-baratan. Maka jangan heran, ketika kita menemui pemahaman radikal dan wacana extreme lain yang coba ditimbulkan mahasiswanya, itu merupakan manifestasi kejenuhan mereka terhadap kondisi keberagamaan yang dialaminya bertahun-tahun.

Setidaknya saya mencoba memahami persoalan represi budaya ini menggunakan pendekatan sosiologis. Pertama, yaitu konsep figurasi dari sosiolog bernama Norbert Elias. Kedua, teori eksternalisasi interior dan internalisasi eksterior dari filosof sekaligus sosiolog posmodern yakni Pierre Bordieu.

Pertama, teori figurasi yang digagas oleh Sosiolog Polandia bernama Norbert Elias itu menjelaskan bahwa individu itu saling bersifat terbuka dan interdependen. Gagasan ini didasarkan bahwa setiap individu saling berhubungan dengan orang lain dan didalamnya selalu mengalami fluktuasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *