Guru Impoten di Negeri Merdeka

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PB PGRI)

Kita harus jujur guru-guru yang wow dan kompeten memang banyak. Namun yang jauh lebih dominan adalah guru-guru yang “impoten”. Bahkan beberapa tahun yang lalu data menunjukan sejumlah kepala sekolah pun mayoritas tidak kompeten. Hanya 30 persen kepala sekolah yang dianggap kompeten. Apalagi para guru tentu kurang dari 30 persen.

Bacaan Lainnya

Indikasi sederhana impotensi guru diantaranya adalah terkait : 1) minat belajar, 2) minat baca, 3) minat menulis, 4) minat menghasilkan karya media pembelajaran, 5) minat mengikuti lomba, 6) minat menaikan karir, 7) senang zona nyaman, 8) motivasi berprestasi, 9) minat mengikuti organisasi profesi rendah. Seolah guru “teralienasi” dari dunia yang seharusnya mereka lakukan. Ini bahaya!

Sejumlah indikasi di atas identik dengan entitas dunia guru. Impotensi dikalangan guru memang sangat terasa. Mayoritas guru tidak terlalu tertarik dengan tantangan. Cenderung lebih tertarik pada keuangan. Minat menanyakan kapan TPG cair jauh lebih kuat dari minat ikut lomba terkait guru. Lebih kuat minat menanyakan kesejahteraan dibanding minat kompetisi. Mungkin ini juga akibat derita masa lalu guru yang terlalu lama di “Oemar Bakrikan.”

Kasihan memang guru-guru kita. Mereka masih berada di zona nyaman dan zona lugu. Mental mencari zona tak nyaman dan suka pada tantangan sangat rendah. Guru-guru kita perlu diupgrade, di brainwash agar memiliki keawasan dan kewarasan yang lebih baik. Guru-guru di negeri kita teralu baik atau lugu. Kurang memiliki daya berontak. Berontak untuk berubah. Mungkin juga karena masa lalunya terlalu dipolitisir dan dijadikan kelompok “paduan suara”.

Guru mayoritas sarjana bahkan di jenjang pendidikan menengah mayoritas magister pendidikan. Namun daya gurunya terasa melow dan kurang wow. Kalau melihat gaya hidup para guru memang agak wow. Membeli kendaraan roda empat lebih menarik dibanding membeli buku atau membuat buku. Ini gambaran sederhana. Mungkin juga karena masa lalunya para guru membeli sepeda kumbang saja susah. Kompensasi psikologis dari derita masa lalu.

Hal lain yang unik adalah kurangnya minat guru untuk berkhidmat di organisasi profesi. Para guru cenderung tidak tertarik untuk mengabdi di rumah perjuangannya. Mayoritas guru hanya ingat dan butuh organisasi profesi bila ada masalah. Terutama terkait TPG, advokasi, mutasi, rotasi dan sejumlah kepentingan administrasi lainnya. Sungguh sangat disayangkan. Inilah yang meyebabkan organisasi profesi guru tidak terurus dan tidak diurus oleh guru.

Mayoritas guru saat ini memang belum ideal dari sisi kompetensi. Apalagi dari sisi kesejahteraan. Mereka belum merdeka di negeri merdeka. Masih ada sekitar satu juta guru dibawah garis kemiskinan. Mana mungkin guru yang bergelar sarjana masih ada yang digaji Rp. 300 ribu. Untuk ongkos berangkat ke sekolah saja tentu sangat tidak cukup. Uji kompetensi guru memang rendah masih dibawah standar.

Begitu pun uji kesejahteraan dan finansial guru honorer masih jauh dibawah standar kehidupan yang layak. Masih bisa “dinalar” bila hasil UKG guru nilainya rendah. Posisi dan eksistensi guru di negeri ini masih rendah. Masih dianggap belum strategis. Secara ekonomi saja terutama guru honorer masih sangat “impoten”.

Data hasil UKG pertama pada tahun 2015 rata-rata guru secara nasional sebagai berikut: 1) guru TK 43,74, 2) Guru SD 40,14, 3) Guru SMP 44,14, 4) Guru SMA 45,38. Sampai pada UKG terbaru pada tahun 2017 rata-rata belum mencapai angka 70. Padahal harapan pemerintah minimal meraih rata-rata 80. Terlepas dari kekurangsiapan dan kelemahan alat ukur UKG faktanya nilai kompetensi guru secara nasional kategorinya belum lulus.

Mungkin suatu saat para guru akan mendapatkan hasil UKG diatas 80 ketika kesejahteraan guru keseluruhan sudah sangat baik. Bila tidak ada lagi guru yang digaji dibawah Rp. 500 ribu. Ketika tidak ada lagi sistem penggajian tiga bulan sekali. Nominal sangat kecil, plus tiga bulan sekali dibayarkan. Bukan hanya keringat yang sudah kering malah sudah berganti-ganti keringat. Berganti minggu, berganti bulan, gajih tak turun.

Mayoritas guru saat ini “impoten” dibawah standar harapan pemerintah. Kesalahan siapa? Tidak murni kesalahan guru semata. Melainkan juga kesalahan pemerintah. Mereka belum merdeka Para calon guru mayoritas adalah siswa kurang berprestasi. Siswa dan mahasiswa terbaik tidak memilih menjadi guru karena madesu (masa depan suram). Mereka memilih profesi lain. Bila suatu saat gaji guru sudah tinggi. Tidak ada lagi kisah getir kehidupan guru honorer, mungkin UKG akan sangat tinggi.

Guru akan bertransformasi dari impoten menjadi kompeten tatkala nasib dan kesejahteraan guru secara keseluruhan sudah sangat baik. Ketika mereka sudah merdeka Itu pun perubahannya dimulai dari para calon guru dari siswa serta mahasiswa terbaik. Bila profesi guru menjadi profesi yang menjanjikan, terhormat dan sejahtera maka sejumlah generasi terbaik akan memilih menjadi guru. Dari sinilah UKG dan kompetensi guru akan mulai wow.

Betapa indahnya bila dua puluh tahun ke depan para guru dididik dari LPTK ikatan dinas. Semisal menduplikasi pendidikan TNI dan polisi. Akan lahir guru-guru perwira yang wow. Perwira guru, guru perwira. Akan hadir jenderal-jenderal pendidikan yang kontributif pada perbaikan SDM bangsa. Bila sampai saat ini masih ada guru honorer tinggal di toliet. Gaji per triwulan dan jauh dari UMR maka selama itu pula citra dan kehormatan profesi guru akan tetap “impoten”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *