Dago 2003

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Awal mula Jl. Ir. H. Juanda dijuluki Jalan Dago menurut penuturan beberapa teman yaitu sebagai bentuk adopsi dari Jalan Dago di Bandung. Tulisan tentangnya pernah saya publikasikan beberapa tahun lalu. Jika ditarik mundur ke beberapa dekade lalu, orang kota (Cikole) menjuluki kawasan ini dengan sebutan Cikotengsi, akronim dari Cikole Tengah Sukabumi.

Bacaan Lainnya

Bagi sebagian pihak tentu saja mengadopsi nama suatu tempat dari daerah lain tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk, tidak berbeda dengan pasangan orangtua memberi nama anaknya dengan nama-nama yang telah populer sebelum anak  lahir. Walakin, ada juga pihak yang kerap mempertanyakan, kenapa orang Sukabumi hanya mampu  ikut-ikutan (latah) sekadar  memberi nama suatu tempat ketika tempat tersebut sudah memiliki nama yang sebelumnya telah dikenal oleh orang Sukabumi sendiri?

Teman-teman  alumni SMPN 1, SMPN 2, Mardi Waluya, dan SMAN 4 dapat dikatakan merupakan orang-orang yang lebih mengenal seluk-beluk tempat ini. Selama tiga tahun atau lebih mereka beririsan erat dengan Jalan Dago. Bagi orang kampung seperti saya, tempat ini tentu saja sangat jarang tersentuh. Sampai saat duduk di bangku SMP pun hanya sekali dalam satu bulan saya melintas di tempat ini, ketika pulang setelah mengikuti kegiatan renang di Prana.

Kata Dago sendiri, saat itu masih terdengar samar-samar, saya tidak memerdulikan tempat ini dijuluki apa, disebut apa, atau dinamai apa saja. Ketika seseorang berkata, “ Mau ke Dago!” dalam benak saya sebagai orang kampung, kalimat ini memiliki arti, mau main ke kota (dayeuh).

Kota memiliki mantra dan daya tarik. Orang-orang kampung sering terpikat oleh sihir perkotaan. Lihatlah, setiap hari raya lebaran pada dua dekade lalu, anak-anak kampung meramaikan jalan-jalan protokol dan pertokoan. Mereka menabung uang jajan selama bulan puasa, kemudian menghabiskannya selama satu hari di hari lebaran. Mereka berjalan beriringan, kebiasan berjalan di atas pematang dipraktikkannya saat berjalan di trotoar dari ujung Barat sampai Ujung Timur Jalan Raya.

Anak-anak kampung memiliki kebanggaan tersendiri setelah mereka “nyaba” ke pusat kota. Hari lebaran adalah hari suka cita mereka. Pedagang mie ayam disesaki oleh anak-anak dari kampung, bioskop meraup keuntungan besar karena tiket mereka dibeli habis oleh anak-anak kampung. Esoknya, anak-anak kampung itu menceritakan kembali pengalaman mereka “nyaba” ke pusat kota.

Anak-anak kampung tahun 80-90an tentu kurang begitu mengenal Jalan Dago, mereka lebih mengenal Kings, Capitol, dan Shoping. Dan bukan hanya anak-anak, remaja hingga orang tua juga tidak begitu konsern memperbincangkan tempat ini. Diskusi dan wacana penamaan sebuah tepat baru muncul belakangan beririsan dengan kelahiran komunitas-komunitas pemerhati budaya di Sukabumi. Sejak SMP hingga SMA, saya pun belum pernah menulis mengenai tempat ini.

Diskusi, wacana, hingga penulisan sebuah tempat oleh komunitas budaya ini muncul disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, menghadirkan wacana penamaan suatu tempat disertai oleh kepentingan, seolah-olah tempat tersebut memang penting untuk didiskusikan. Kedua, desakan bernostalgia dari dalam diri manusia sering keluar dan harus mengejawantah dalam bentuk ide dan gagasan. Ketiga, mengadirkan masa lalu ke masa kini, seperti dalam tulisan ini, merupakan watak dasar manusia tentang ketidaksanggupan kita membawa ide dan gagasan ke masa depan. Kita memang terus terjebak dalam jeruji waktu, dengan membangun ide dan gagasan masa lalu inilah detak waktu seolah dapat diperlambat.

Bagi generasi X dan Y, Dago bukan sekadar nama sebuah jalan, melainka rangkain cerita panjang selama tiga dekade. Sapiens modern sering mengalami kesulitan untuk menghentikan berkas-berkas yang telah tertanam di dalam otak agar berhenti beroperasi membangun kuil-kuil kenangan. Sebagai contoh, Dago dapat saja merupakan pengalaman kisah cinta pertama dua anak remaja atau sebaliknya kisah kelam seseorang dengan alasan tempat ini bukan lahan subur untuk menabur benih kasih sayang. Sudah dapat dipastikan, setiap orang akan memiliki cara berbeda dalam menyajikan rangkaian cerita tentang Dago berdasarkan pengalaman besar yang menyertai hidupnya.

Deru dan ingar-bingar suara mesin sepeda motor masih belum meriah sampai tahun 2003 di kawasan Dago. Lalu-lalang kendaraan juga masih jarang. Keramaian berlangsung pada jam pulang sekolah atau di waktu-waktu tertentu. Antara pukul 08.00 sampai 12.00 WIB, kawasan ini benar-benar hening.

Sambil  menyusuri trotoar menuju ke perpustakaan daerah, sesekali  saya membiasakan diri duduk di bawah pohon. Inspirasi dapat tercipta dalam kondisi apa dan bagaimana pun, tidak hanya di persawahan dan perdesaan, di kawasan perkotaan yang ditumbuhi pohon rindang pun inspirasi dapat tiba-tiba timbul memenuhi kepala.

Saya masih mengingat dengan baik, Arnold Toynbee pernah menyebutkan, peradaban manusia selalu dilahirkan di tempat-tempat bersuhu sejuk. Artinya, membangun dan memperbanyak tempat-tempat sejuk di suatu kawasan merupakan syarat mutlak kelahiran peradaban dan kemajuan. Seolah-olah, di tempat bersuhu sejuk ini, manusia akan dapat dengan mudah menyerap energi yang disiapkan oleh alam.

Atas alasan di atas itulah, sejarah manusia di tempat bersuhu sejuk sangat jarang diisi oleh cerita-cerita perang, percekcokan, dan permusuhan. Dalam Fields of Bloods, Armstrong memaparkan secara detail, perang tanding di mulai oleh manusia yang mendiami daerah-daerah tandus dengan cara merampas dan menguasai areal-areal pertanian.

Masyarakat agraris pertanian tidak memiliki waktu meskipun hanya sekadar  memikirkan bagaimana cara merebut lahan pertanian temannya. Peradaban besar selalu lahir di ruang-ruang kontemplatif bukan di arena percekcokan dan sarkasme liar. Nuh membangun perahu di tengah hutan, Ibrahim terhindari dari kebocoran verbal karena diungsikan oleh ibunya ke sebuah goa, Musa menerima mukjizat di sebuah bukit, Gautama mendapatkan pencerahan di bawah pohon rindang, Isa menjelma menjadi seorang pengasih setelah menghindari riuh keramaian Nazareth, Muhammad menerima wahyu di sudut sunyi goa Hira, hingga para penemu mendapatkan intuisi pun karena mereka menghindari keramaian. To live well, you must live unseen, begitu mungkin kata Descartes.

Kerumunan orang-orang di Dago benar-benar memperlihatkan ikatan sosial di dunia nyata. Bercengkerama melalui bahasa verbal tanpa perantara gawai seperti yang sekarang sering kita gunakan. Dari cara komunikasi seperti itulah cerita-cerita dengan berbagai nuansanya keluar di balik riuh perbincangan pada jam pulang sekolah.

Meskipun pada akhirnya, dalam hitungan jam, Dago kembali sunyi dan hanya menyisakan semburat lampu-lampu merkuri berwarna kuning, walakin kehangatan itu akan datang lagi bersama riang gembira para siswa berseragam putih biru. Jika  kita benar-benar ingin merasakan suasana dingin dan beku kawasan ini, luangkan waktu sejenak mengunjunginya setelah subuh. Balai Kota Sukabumi di sebelah utara memandang dengan tajam dan gagah ibarat seorang pembesar sedang berdiri di beranda sebuah rumah.

Selama hampir tujuh belas tahun lebih, saya memiliki harapan ada seorang seniman yang dapat menumpahkan ide mmengenai tempat ini pada sehelai kanvas dan menjadi karya besar. Sebab, potret sebuah tempat dalam bentuk sketsa dan lukisan merupakan media pengingat bagi warga Sukabumi dari generasi ke generasi. Tanpa sebuah karya seni dua dimensi seperti lukisan, kita akan melewatkan satu pentas suasana sebuah kawasan karena terus tergerus oleh perubahan. Faktanya, tidak memerlukan waktu dua dekade sejak tahun 2003 saja tempat ini mengalami perubahan 50% dari sebelumnya. Kita telah dihadapkan pada satu garis putus untuk memadukan Dago dari tahun ke tahun agar menjadi satu linimasa utuh.

Di tahun 2003, sayup-sayup terdengar sebuah lagu Phantom Planet dari sebuah warnet. Everybody  knows that somethings wrong, but nobody knows what’s going on. Siapapun kita selalu mengetahui bahwa banyak kesalahan yang terjadi, walakin acap kali kita tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi, mungkin itulah arti dari dua bait lirik lagu Lonely Day ini. Sama halnya dengan sikap kita yang mengharapkan segala sesuatu bersifat ajeg dan kekal sementara kita tidak memahami arti kefanaan dan perubahan. Dago akan terus berubah mengikuti dinamika zaman. Bukan tidak mungkin, tempat ini akan dikenal kembali sebagai Cikotengsi pada beberapa dekade ke depan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *