Pancingan Aceh Istanbul

RADARSUKABUMI.com – Tahun baru pun tidak libur: itulah Turki. “Ada mahasiswa yang tidak bisa hadir. Lagi ujian,” ujar Fikri Khodairi, Ketua PPI Istanbul. “Tanggal 1 Januari tidak libur?” tanya saya. Kaget. “Di sini tanggal 25 Desember pun tidak libur. Maulud Nabi tidak libur. Isra’ Mi’raj tidak libur. Tahun baru Islam tidak libur,” ujar Fikri yang mengambil studi sastra Turki.

Tapi makan malam dengan mahasiswa Indonesia di Turki ini meriah. Yang hadir 40 orang. Datang dari banyak kota: Ankara, Konya, Sakarya, Istanbul sendiri. Melebihi makan malam dengan mahasiswa Indonesia di Lebanon itu. Lantai atas restoran ini sampai sesak. Sampai ada yang berdiri.

Bacaan Lainnya

Mereka yang memilih sendiri restoran ini: satu-satunya restoran Malaysia di Istanbul. Di dekat mesjid Biru. Yang juga tidak mau menerima pembayaran kartu kredit. “Sebetulnya ada satu restoran Indonesia. Tapi lagi tutup. Lagi direnovasi,” ujar Fikri.

Menu yang dipesan pun sesuai selera masing-masing. Giliran saya yang ditanya, saya ganti bertanya. “Siapa yang mau pilihkan menu saya. Apa pun akan saya makan,” kata saya. Seorang mahasiswi mengacungkan tangan. “Saya yang pilihkan. Nasi lemak,” katanya. “Tamam,” kata saya.

Di Amerika OK adalah OK. Di Indonesia juga OK. Pun di Tiongkok, sekarang juga sudah pakai OK. Hanya di Turki inilah. Saya tidak pernah mendengar kata OK. Tetap saja orang Turki pakai bahasa nasional: tamam. Nasionalisme Turki itulah topik hangat pembicaraan di sore tahun baru itu. “Sampai-sampai di sini jarang yang bisa berbahasa Inggris,” ujar seorang mahasiswa.

Tentu ada topik lain: Islam di Turki. Di topik ini justru saya yang ingin lebih banyak mendengar. Apalagi dipancing dengan pertanyaan menarik dari Riza Muarrif. Ia mahasiswa S-3 asal Aceh. Mengambil studi tafsir Al Quran. Di Universitas Ankara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *