Memperingati Hari Anak Sedunia Bersama Yayasan Arek Lintang (Alit)

-Anak-anak di Dusun Ketuwon, Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, bisa bernapas lega. Setidaknya mereka tidak perlu lagi berangkat ke sekolah yang jalannya menanjak dengan jarak 7 km di lereng Gunung Bromo. Sebab, sudah ada sekolah yang didirikan di dekat tempat tinggal mereka.

PUJI TYASARI, Pasuruan

WAJAH Nova Kurnia Nurul Aini terlihat gembira. Dia adalah siswa kelas IV SDN Ngadiwono II. Nanti dia tidak lagi harus pergi ke sekolah yang berjarak 7 km dari rumahnya. Apalagi, akses ke sekolah itu cukup terjal dan curam. Berada di atas lereng Gunung Bromo, akses ke sekolah masih berupa makadam alias jalanan dari bebatuan.

Kondisi tersebut membuat anak-anak kesulitan untuk ke sekolah sehingga kerap membolos. Apalagi jika hari hujan. Tak ingin

itu terus terjadi, Yayasan Alit mendirikan Sekolah Alam Anak Tengger. Sekolah itu akan menginduk kepada SDN Ngadiwono II.Yayasan Alit sudah menyiapkan tiga relawan guru untuk mendukung kegiatan belajar siswa.

Direktur Eksekutif Alit Indonesia Yuliati Umrah yakin dinas pendidikan setempat juga membantu menyiapkan guru. Sebab, adasekitar 40 anak yang ada di desa itu. Mereka rentan putus sekolah karena akses yang tak mudah.

Sekolah yang dibangun di atas lahan 7 x 12 meter itu terdiri atas dua ruang kelas. Karena masih rintisan, ruang kelastersebut juga masih sederhana. Hanya ada bangku dan meja.

Secara bertahap, sarana dan prasarana belajar akan ditambah. Yuliati menyebutkan, ruang kelas itu akan digunakan saat

tahun pelajaran baru mendatang. ”Kami ingin mengurangi risiko putus sekolah,” katanya di sela-sela peresmian Sekolah AlamAnak Tengger, 16/12.

Risiko putus sekolah, imbuh Yuliati, bisa berdampak panjang. Terutama bagi anak perempuan. Pernikahan dini rentan mengintai mereka.

Kondisi tersebut membuat hak-hak mereka sebagai anak bisa tak terpenuhi. Nah, melalui sekolah itu, Yuliati ingin anak-anak suku Tengger bisa bersekolah dengan baik untuk masa depan mereka.

Kepala Desa Ngadiwono Atim Priyono menyambut baik didirikannya sekolah tersebut. Para wali murid yang ada di sana juga merespons dengan baik.”Sebab, orang tua juga harus mengawal kegiatan anak ke sekolah. Apalagi saat musim hujan.

Kami mendukung dan menerima sekolah ini, mudah-mudahan bisa membawa man faat,” ujarnya.Peresmian sekolah itu digelar sekaligus untuk memperingati Hari Anak Sedunia dan dua dekade Yayasan Alit. Berbarengan

dengan itu pula, Yayasan Alit bersama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Perhutani juga menggelar kendurialas serta mendirikan pusat pendidikan konservasi dan budaya di lereng Bromo.

Kenduri alas merupakan sebuah tradisi masyarakat Tengger yang kini dilestarikan kembali. Kenduri tersebut menjadi bentuk rasa syukur masyarakat atas datangnya musim hujan.

Melalui kenduri itu, masyarakat berharap musim hujan bisa membawa berkah. Air hujan yang turun bisa ter simpan sebagai air tanah yang bermanfaat. Bukan menjadi air bah yang membahayakan.

”Karena saat hujan, longsor. Saat kemarau, mata air kering. Bahkan, ada 53 titik mata air di lereng Bromo yang hilang,”ungkap Yuliati.

 

(*/c9/end)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *