Aktifnya Aksi Komunitas Peduli Literasi Surabaya

PENDIDIKAN DASAR: Handoko menemani anak-anak membaca buku serta mengenalkan dolanan lawas di Rumah Baca Handoko.

RADARSUKABUMI.com – Handoko mewakafkan dua kamarnya sebagai taman baca anak di kampungnya. Dia juga membuka lapak buku di tiap taman saat liburan. Bersama
rekannya, Mustova, dia memiliki misi mulia.

HISYAM AL?ASYIAH

Bacaan Lainnya

DUA kamar di depan rumah di Jalan Banyu Urip Wetan Gang 5i Nomor 11, Kelurahan Putat Jaya, Sawahan, itu seperti perpustakaan. Tiap dinding kamar
dipenuhi rak yang dijejali ratusan koleksi buku. Kesan hangat tersebar berkat puluhan boneka ukuran kecil sampai besar yang memenuhi kamar tersebut.

Dari kamar itulah muncul aksi Sebaya, Komunitas Peduli Literasi Sejarah dan Budaya Surabaya. Di ruangan sederhana, tetapi kaya literasi itulah anak-anak kampung Putat Jaya belajar membaca buku dan menjelajahi literasi. Terutama literasi sejarah dan budaya seperti suatu sore pada akhir pekan lalu.

Handoko yang mengenakan blangkon Jawa motif Bandung menghibur delapan anak dengan mendongeng.
Ceritanya berkisah mengenai Hando, boneka tangan Handoko, yang sedang nge-vlog. ’’Hi guys, kali ini Hando berkeliling melihat teman-teman yang
cantik, ganteng, juga pintar. Kalian jangan baper, ya,’’ ujar Handoko sambil menggerakgerakkan bonekanya.
Gema tawa anak-anak pun terdengar di ruangan berukuran 4 x 3 meter itu. Dongeng, kata Handoko, merupakan cara terbaik untuk menghibur anak-anak di sela-sela membaca dan membahas hasil bacaan mereka. Memang, dalam setiap pertemuan, anak-anak diberi kesempatan membaca buku atau
menonton film dokumenter sejarah. Mereka diberi waktu untuk membaca sekitar 15–20 menit. Setelah itu, anak-anak bermain dengan Hando dan Umai, karakter boneka milik Handoko.

Dalam permainan itu, anak-anak diajak menceritakan kembali bacaannya. Yang bisa bercerita dapat hadiah. Hadiahnya sederhana. Misalnya,
uang jajan atau kue kesukaan anak-anak. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga diajari permainan tradisional. Seperti kala itu, Mustova mengajari beberapa permainan seperti congklak, gasing, egrang, dan lainnya. Sebelum bermain, Mustova menjelaskan nama, sejarah, cara ber ma in, dan
manfaat setiap alat permainan tradisional tersebut. ’’Beginilah anak-anak itu belajar setiap sore,’’ kata Handoko yang menjadi inisiator aksi Sebaya sambil
menatap anak-anak. ’’Selain membaca, kami menonton film-film kerajaan bersama dan bikin review kecil-kecilan,’’ tambahnya.

Mustova dan Handoko merupakan anggota sekaligus penggerak aksi Sebaya yang sudah berumur tiga tahun. Usaha mereka untuk membuat anak mencintai buku kini mulai membuahkan hasil. Saat ini, tanpa diajak dan dipanggil, Handoko sudah ditodong anak-anak tersebut untuk membaca.

’’Baru pulang kerja, belum ganti baju, mereka sudah panggil-panggil,’’ ungkapnya sembari menggelengkan kepala, lantas tersenyum.

Aksi Sebaya tidak hanya berlangsung setiap sore di rumah Handoko. Mereka juga memiliki program mingguan, yakni menggelar lapak buku gratis di taman-taman setiap Minggu pagi. Selain membaca, anak-anak bisa mendengarkan dongeng dari Handoko.

’’Sasaran kami anak-anak beserta orang tuanya yang sedang liburan di taman,’’ papar pria kelahiran 1986 itu. ’’Mereka refreshing, juga melek
literasi,’’ tambahnya.

Aksi Sebaya berdiri sejak Januari 2017 dan eksis hingga sekarang. Awalnya, kegiatan tersebut bertujuan untuk mengajak anak-anak sekitar
kampung Dolly buat belajar melek literasi. Terutama literasi sejarah dan budaya. Tidak puas dengan satu titik, lapak baca pun dibuka di setiap taman
secara bergiliran. Langkah itu dilakukan Handoko dan rekanrekannya di luar kesibukannya sebagai tenaga TI Dinas Perpustakaan Kota Surabaya.

’’Hari aktif kami bekerja, pulang jam 16.00 langsung bersama anak-anak itu,’’ jelasnya. ’’Kalau libur ya buka lapak lagi,’’ tambahnya.

Handoko tidak pernah merasa berat dan lelah. ’’Saya kan bukan pejabat tinggi yang bisa melakukan banyak perubahan lewat regulasi. Namun, dengan cara ini, kami mencari amal jariah,’’ ungkapnya.

Lagi pula, suami Menik Rupiati itu prihatin dengan dunia anak-anak yang jauh dari literasi. Dia khawatir mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang buta sejarah serta budaya. ’’Kalau tidak kami ajari, siapa lagi yang mewarisi budaya kami?’’ paparnya.

(*/c15/tia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *