Jurnalis Peliput Tragedi Kanjuruhan Terserang Gangguan Mental

Sejumlah warga mendoakan korban tragedi Kanjuruhan
Sejumlah warga mendoakan korban tragedi Kanjuruhan di gate 13 Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. (Robertus Risky/Jawa Pos)

JAKARTA — Kericuhan di Stadion Kanjuruhan menyisakan kesedihan mendalam bagi semua pihak. Termasuk para awak media yang bertugas pada laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya, 1 Oktober malam.

Mereka tak hanya melaporkan peristiwa yang terjadi, tapi juga turun membantu Aremania yang menjadi korban. Rasa sedih tak terhindarkan, bahkan sebagian jurnalis mengalami trauma.

Bacaan Lainnya

Misalnya yang dialami Dendi Ganda Kusuma. Setelah wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan selesai, seharusnya dia menghadiri press conference dan menyelesaikan tulisan. Namun jurnalis Bola.net itu justru menyaksikan musibah besar yang kemudian menyebabkan 131 orang meninggal dunia.

Dendi mengungkapkan, sebelumnya dia dan rekan-rekan jurnalis lainnya menunggu di ruang media untuk mendengarkan press conference. Selama menunggu, dia mulai mendengar suara letupan. Setidaknya terdengar lebih dari 11 kali. “Sebetulnya saya sudah menyangka kalau letupan itu adalah tembakan gas air mata. Karena sebelumnya sudah pernah melihat dan mendengar,” kenang Dendi.

Sembari tetap menunggu, Dendi melihat beberapa orang mulai melewati lorong yang ada di depan ruang media. Orang-orang tersebut melewati lorong dengan panik. Ada yang memapah teman hingga menggendong anak kecil. Bahkan, ada yang berteriak, Gak onok ambe’ane (tidak ada napasnya).

Menyaksikan pemandangan tersebut, naluri Dendi sebagai jurnalis menuntut untuk langsung mencari tahu. Terlebih pada 2018 lalu ada peristiwa serupa yang skalanya mirip. Dia pun memutuskan melakukan pengecekan terlebih dahulu.

“Lalu ada seorang perempuan (yang sudah terkapar, red). Aku mendekat dan mencoba mengecek kondisinya. Mulai dari mengecek denyut nadi hingga mengecek napas. Ternyata memang sudah tidak bernapas,” ujarnya.

Melihat suasana yang semakin tidak kondusif, Dendi dan rekannya, Agung, berinisiatif mencari air. Air diambil dari kamar mandi di lantai dua menggunakan 3 botol berukuran 600 ml dan 1 botol berukuran 1,5 liter. Total, keduanya bolak-balik mengambil air 4 sampai 5 kali.

Air itu digunakan untuk menolong orang-orang yang panik akibat terpapar gas air mata. Sebab, mengucek mata saat terkena gas air mata akan menimbulkan rasa yang makin perih.

Di luar dugaan, jumlah korban terus bertambah. Ada yang sekarat, datang dengan mata merah, lemas karena terinjak, mulut berbusa, bahkan meninggal dunia. Para jurnalis yang ada di stadion pun mencoba melakukan sejumlah upaya. Seperti mencari air, membantu menyadarkan korban, hingga memapah orang-orang ke lokasi yang masih aman.

“Kami sudah tidak peduli siapa yang diangkat. Pokoknya dipindahkan terlebih dahulu dari centrum jatuhnya gas air mata,” ceritanya.

Dendi sempat melihat anak kecil digendong orang. Dia mencoba untuk membantu, namun orang yang menggendong anak kecil itu mengucapkan kalimat yang masih sangat diingat Dendi. “Areke gak ambekan,” ujarnya menirukan orang tersebut.

Momen itu membuatnya teringat keluarga. Terlebih, pria berusia 40 tahun itu termasuk orang yang senang bermain dengan anak kecil. Hingga akhirnya, Dendi sudah tidak kuat menahan lelah dan sesak napas. Total ada 9 jenazah yang dilihatnya sudah terbujur di aula. Hal itu belum termasuk di ruang ganti pemain, musala, serta fasilitas medis.

“Waktu itu enggak ada yang bisa ngetik berita. Sudah ngeblank. Akhirnya, kami pergi ke Mapolres Malang untuk menunggu rilis dari Kapolda Jatim. Kami juga berbagi cerita. Dan kemudian saya ditunjukkan foto anak yang meninggal. Itu yang bikin sempat depresi,” tuturnya.

Sepanjang 13 tahun menjadi jurnalis, peristiwa serupa bukan pertama kali dilihat Dendi. Dia pernah merasakan demonstrasi Nurdin Halid, pembekuan PSSI, hingga peristiwa tahun 2018 saat Arema FC berlaga melawan Persib.

Namun, jumlah korbannya jauh lebih sedikit dan dia tidak ikut terlibat menolong korban.

Pasca peristiwa itu, Dendi mencoba mengalihkan perhatian agar tidak terus teringat kejadian yang mengerikan. Namun pada akhirnya hal tersebut membuatnya tidak produktif dalam bekerja. Bahkan ada satu titik saat dirinya tak lagi bisa mengatur perasaan.

“Dampaknya tentu ada, semacam gangguan mental, susah mengendalikan emosi. Tiba-tiba sedih sendiri, berhadapan dengan narasumber sempat kelepasan bicara dengan nada tinggi, dan takut tidur karena khawatir terbawa mimpi. Padahal sudah ibadah,” jelasnya.

Dendi pun memutuskan untuk mengikuti program trauma healing yang ditawarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kebetulan dirinya merupakan salah satu anggota. Kemarin dia sudah menjalani sesi pertama konseling dan terapi. Pekan depan ada sesi kedua.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *