Nestapa Kusir Nayor Sukabumi yang Terusir Pendemi, Sehari Narik Tiga Tumpangan

Nayor Sukabumi
Tugu nayor yang menjadi ikon khas Kecamatan Cibadak.

SUKABUMI – Pendemi Covid-19 memang berdampak terhadap semua sektor, khususnya perekonomian. Tak terkecuali pendapatan para kusir nayor atau kendaraan tradisonal yang menjadi ikon Cibadak di Kabupaten Sukabumi. Lantas, moda transportasi yang menjadi kebanggaan warga Cibadak seakan terusir oleh pendemi impor dari Wuhan, Tiongkok.

Lupi Pajar Hermawan, Sukabumi

PERKEMBANGAN teknologi dewasa ini memang tidak bisa terelakkan dan secara perlahan menggerus hal-hal yang bersifat jadul atau klasik. Salah satunya, moda transportasi nayor atau kendaraan yang mengandalkan tenaga kuda yang menjadi ikon Cibadak yang mulai tergeser oleh kendaraan modern seperti sepeda motor dan mobil.

Belum lagi, kondisi pandemi Covid-19 yang memperburuk kondisi masyarakat yang hingga saat ini masih setia menaruhkan nasibnya pada si Nayor. Kondisi delman yang memiliki ciri khas pada gandengannya ini seakan mati segan hidup tidak mau.

Hal ini diakui oleh Rahmat, salah seorang kusir nayor yang sudah menjalani profesi itu selama 10 tahun. Menurutnya, sejak pendemi Covid-19 melanda, pendapatan nayor anjlok drastis. Jika sebelumnya bisa mengumpulkan uang hingga seratus ribu rupiah, kini hanya tinggal 30 persen uang yang didapatkan dari para penumpang.

“Sekarang ini kondisi terparah pak, kadang saya tidak narik dan hanya diam begini saja karena memang tidak ada penumpang,” akunya, Jumat (13/8).

Jika sebelumnya nayor menjadi transfortasi andalan masyarakat Cibadak, namun saat ini hal itu hanya sebatas menjadi ikon.

“Ya paling yang naik itu sekalian berwisata atau memang ingin merasakan sensasi lama dan berbeda. Kalau yang sengaja naik sudah jarang gak kaya dulu,” sebutnya.

Kurangnya pendapatan tersebut berdampak terhadap kondisi keluarga hingga perawatan kuda yang diandalkan setiap harinya. Jika sebelumnya dirinya bisa membeli rumput dan pakan, namjn kini terpaksa harus mencari sendiri agar untuk menghemat operasional.

“Ta jelas berdampak sekali, toh paling banyak juga sehari narik tiga sampai empat kali. Mau gimana lagi, setoran kerumah berkurang, dan untuk perawatan kuda pun terpaksa serba sendiri,” terangnya.

Rahmat pun tidak menyangkal, perkembangan jaman seperti banyaknya motor, mobil cukup berdampak terhadap eksistensi Nayor. Namun, dirinya tetap menjalani profesi yang sudah menemaninya selama puluhan tahun itu.

“Ya, jaman kan semakin berkembang. Tapi pesan saya, jangan lupakan Nayor karena ini ciri khas kebanggaan warga Cibadak,” pungkasnya. (*/t)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *