Jurnalis Sukabumi Dibekali Ilmu Peliputan

SUKABUMI — Media massa memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

Selain sebagai sarana informasi publik, media massa juga menjalankan fungsi ekonomi, kontrol sosial, menghibur dan memberikan edukasi kepada masyarakat.

Bacaan Lainnya

Hal itulah yang membuat media massa menjadi penting untuk dipastikan dapat menjalankan peranannya sehingga turut serta memberikan kontribusi dalam membangun bangsa sesuai dengan UU Pers nomor 40 tahun 1999.

Bahkan, begitu kuatnya posisi media massa.

Termasuk memberikan informasi kepada masyarakat saat berada di kawasan rawan konflik atau perang.

Peliputan berita di daerah konflik dan bencana harus betul-betul difahami oleh setiap jurnalis agar memberikan pemberitaan objektif serta tidak menimbuklan konflik sosial.

Mengingat kondisi itu, Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Sukabumi dan Komite Palang Merah Internasional menggelar acara ‘Media Safety Disaster For Journalist’ di Vila Yawitra Kecamatan Kadudampit Kabupaten Sukabumi, belum lama ini.

Ketua PMI Kabupaten Sukabumi, Ayi Abdullah mengatakan, kegiatan ini menjadi kegiatan lanjutan dimana pada 2015 lalu PMI bersama rekan jurnalis Sukabumi mengadakan kegiatan yang sama.

Dikatakannya kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman etika peliputan saat berada di lokasi bencana dan konflik.

“Tujuannya kita ingin memberikan pemahaman tentang hukum konflik dan perang serta kode etik wartawan saat peliputan bencana dan juga perang tentang apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak untuk dipublikasikan,” ucapnya.

Ayi menambahkan, kegiatan ini diikuti oleh puluhan jurnalis baik dari media cetak, radio, TV dan online daerah maupun lokal di Sukabumi.

Berbagai materi disampaikan oleh pemateri profesional di bidangnya, termasuk materi hukum humaniter internasional (HHI) menjadi materi utama yang diberikan oleh Wakil Kordinator Komunitas ICRC (Komite Internasional Palang Merah) Jakarta, Sonny Nomer.

Menurut Sonny Nomer, wartawan adalah bagian dari masyarakat sipil yang punya hak untuk dilindungi dalam kondisi konflik.

Untuk itu, kondisi peliputan krisis tak hanya perang tapi juga bencana. Seperti misalnya saat ini, sejumlah komunitas wartawan seperti di Aceh pasca tsunami membuat kode etik peliputan bencana.

“Seperti tidak boleh menayangkan korban bencana secara vulgar.

Tidak boleh ada istilah liputan eksklusif untuk bencana dan hak-hak korban bencana lainnya.

Intinya tidak boleh menebar ketakutan,” lanjut Sonny.

Ia berharap ke depannya kode etik peliputan di lokasi bencana ini bisa berlaku dan disepakati secara nasional di Indonesia. (wdy)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *