Efek Kemarau: Petani Gekbrong Menjerit, Sawah jadi Lapangan Bola

Tampak anak-anak sedang bermain bola di sawah yang kering. Foto Fadilah Munajat/ Radar Cianjur

Musim kemarau memang menjadi salah satu momok bagi para petani. Seperti yang dialami petani padi Desa Cikancana, Kecamatan Gekbrong, yang ikut terkena dampak kekeringan. Ketiadaan pasokan air, membuat sejumlah petak-petak sawah mengering dan tak bisa lagi ditanami. Kalaupun air tersedia, petani harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menyewa penyedot air.

LAPORAN: Fadilah Munajat, GEKBRONG

Bacaan Lainnya

Sawah-sawah itu tak lagi hijau. Sepanjang mata memandang, warnanya berubah menjadi coklat. Tanah pun mengering. Bahkan sebagian lahan tanah sawah lainnya sudah pecah-pecah.

Pemandangan itu kini menjadi hal yang cukup biasa di Desa Cikancana, Kecamatan Gekbrong. Awalnya hanya beberapa. Tapi seusai masa panen terakhr, luasannya makin meluas.

Lantaran tak digunakan, sawah-sawah yang ditelantarkan itu disulap para pemuda dan anak-anak menjadi lapangan sepak bola. Bahkan, setiap hari, mereka selalu bermain bola di sawah yang kering tersebut.

Para petani memilih untuk tak menggarap sawahnya karena enggan merugi. Setidaknya, sampai datang musim penghujan. Alhasil, sawah-sawah itu dibiarkan mengering tak lagi ditanami padi.

Petani bukannya malas menggarap sawahnya. Akan tetapi, lantaran minimnya pasokan air, tidak adanya jaminan pasokan air bakal aman dan lancar untuk mengairi sawah mereka.

Akhirnya, para petani pun enggan menanggung risiko. Gagal panen, buang-buang tenaga dan tentu saja, merugi sekian juta rupiah.

“Percuma juga kalau dipaksa ditanami tapi risikonya besar. Mending saya biarkan saja sawahnya,” tutur Dadang, salah seorang petani di desa tersebut.

Penelantaran sawah itu, lanjut Dadang, bukan saja lantaran kendala air. Tapi juga menjadi upaya petani untuk menghindari konflik antara petani. Sebab, di musim kemarau ini, rebutan air kerap memicu masalah besar.

“Kalau urusan rebutan air bisa terjadi bentrokan antar petani. Lebih baik diam daripada harus nambah masalah,” ungkapnya.

Petani lainnya, Eti (50) mengatakan, setiap musim kemarau tiba, pasokan air dari saluran irigasi menjadi sangat minim. Terlebih beberapa waktu lalu, bendungan irigasi jebol dan belum diperbaiki hingga saat ini.

Namun menurutnya, sawah yang tak ditanami sebenarnya juga bisa berdampak positif. Sebab, lahan bisa beristirahat sekaligus bisa mengembalikan lagi kesuburan tanah.

“Justru bagus, lahannya beristirahat, tidak terus-terusan dimanfaatkan,” ujarnya.

Hal senada juga diungkap Asep (54). Ia mengaku, sebelumnya nekad menanam padi usai panen terakhir. Sayangnya, meski sudah menyewa penyedot air, tetap saja pada akhirnya tanaman tak bisa tumbuh dengan baik.

“Akhirnya ya dibiarkan saja mati padinya. Ya jelas rugi,” tuturnya.

Kini, para petani pun beralih profesi. Sebagian menjadi tukang dan buruh kasar bangunan. Sebagian lain, yang masih memiliki kebun, masih bisa menanam tanaman lainnya.

“Sekarang saya jadi tukang bangunan. Tapi kan namanya tukang bangunan kerja kalau ada yang meminta atau ada yang membangun rumah. Jadi enggak tiap hari,” ujarnya.

(rc/izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *