Cuk Sumardi, Penggagas Kampung Hujan Buatan dengan Pakai Air Hasil IPAL

HEMAT: Cuk Sumardi berdiri di samping sawi yang disiram dengan menggunakan air daur ulang.

RADARSUKABUMI.com – Ketika berkunjung ke Pasuruan, Cuk Sumardi terpesona dengan salah satu wahana yang menghadirkan ruang berkabut. Setelah dicermati, kabut itu ternyata dihasilkan dari mesin yang mengubah air menjadi uap. Cuk lantas mencobanya di Kampung Tambak Segaran IV, Simokerto.

Waktu menunjukkan pukul 12.00. Cuaca di Kampung Tambak Segaran IV, Simokerto, panas menyengat. Cuk Sumardi lantas menuju ke tengah kampung. Dia memutar tuas mesin instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Seketika, air menyembur dari slang hitam yang berada di dekat kabel listrik. Jalan yang awalnya kering mulai basah. Suasana kampung pun jadi adem.

Tak lama setelah itu, beberapa anak bergegas ke luar rumah. Mereka mengambil posisi di delapan spot di antara 30 tempat yang dilalui slang hitam sepanjang 112 meter tersebut. Mereka ingin kecipratan air olahan IPAL itu. Apalagi, angin mulai menyapu air ke udara. Percikan air plus angin disambut tawa anak-anak.

’’Selalu senang kalau melihat mereka begini,” tutur Cuk saat dijumpai pada Sabtu (24/8). Ketua RT 3, RW 3, Tambak Segaran, tersebut tak menyangka kreasinya bisa bermanfaat bagi masyarakat kampung.

Padahal, pada awal pembuatan, Cuk pesimistis karyanya bisa diterima warga. ’’Saya memantapkan niat itu Januari 2019,” kata pria 65 tahun tersebut. Semuanya dimulai ketika dia berkunjung ke salah satu tempat wisata di Pasuruan pada akhir 2018. Ada wahana yang diuapi mesin. Dia ingin mencobanya di kampung. ’’Namun, setelah melihat biayanya di atas Rp 6 juta, saya mengurungkan niat,” tutur pria paro baya tersebut.

Akhirnya, keinginan itu padam beberapa minggu. Tidak berselang lama, niat tersebut muncul lagi. Cuk memberanikan diri berbincang dengan warga. Hasilnya, warga mendukung penuh keinginan itu. Dana yang digunakan dari mana? Kampung yang dihuni 104 KK tersebut memiliki uang kas karena baru memenangi beberapa lomba bertema lingkungan. Ditambah, urunan warga . Dana yang dimiliki pun cukup. ’’Pertengahan Januari saya mulai dengan slang yang kecil. Seukuran slang infus. Panjangnya 10 meter. Tapi, gagal,” kata Cuk.

Dia tak putus asa. Dua hingga tiga kali Cuk terus mencoba. ’’Akhirnya, saya ganti dengan slang yang besar,” katanya.

Slang berdiameter 5 cm. Panjangnya yang semula 10 meter ditambah 40 meter. ’’Berhasil. Saya tambah lagi hingga 112 meter di pengujung Maret. Posisinya memanjang di sisi utara kampung,” kata Cuk sembari menunjuk ke arah slang.

Lubang pemancar air dibuat 30 titik di seluruh slang tersebut. ’’Setelah perlengkapan slang disiapkan, mesin yang menjadi penyalur air dibuat,” ucapnya. Ada tiga material yang diperlukan. Yakni, 4 tabung instalasi pengolahan air limbah (IPAL), tandon penampung air berukuran 2 meter persegi, serta mesin pompa. ’’Semua ini dipasang secara integratif,” ujarnya.

Teknis kerjanya cukup sederhana. Tuas mesin diputar 180 derajat. Setelah mesin hidup, air limbah dialirkan ke tandon. ’’Lalu masuk ke empat tabung IPAL untuk disaring,” tuturnya. Di tabung pertama terdapat kapas. Ijuk di tabung kedua. Pasir silika berada di tabung ketiga serta arang di tabung keempat. Empat penyaringan tersebut dilakukan untuk meminimalkan bau dan gatal-gatal.

Hasil penyaringan dikirim ke slang tersebut dengan mesin pompa. ’’Tiga puluh titik tadi menyemburkan air. Menyebar dari barat dan timur kampung,” ungkapnya.

Umumnya IPAL digunakan pada pukul 11.00–14.00. Meski begitu, warga bisa saja menggunakan mesin tersebut di luar jam kebiasaan. ’’Misalnya, untuk menghilangkan debu jalanan atau sekadar bermain. Tidak masalah,” katanya.

Lantas, bagaimana penggunaan daya listrik mesin tersebut? Cuk mengatakan bahwa daya listrik itu sepenuhnya ditanggungkan ke pemkot. ’’Awalnya memang bayar dewe. Tapi, setelah itu saya buat proposal. Diterima. Jadinya begini deh,” kata Cuk sambil menunjuk ke arah kabel listrik.

Kendati demikian, air hasil IPAL itu tidak bisa diminum karena masih mengandung berbagai macam bakteri dan kuman. Tapi, air tersebut sudah bisa digunakan untuk mandi. ’’Tidak menimbulkan gatal-gatal,” tambahnya.

Hingga sekarang, mesin IPAL itu masih digunakan. Cuk merasa senang dengan kondisi kampung yang semakin asri dari hari ke hari. Padahal, dulu kampung yang berada di dekat RSUD dr M. Soewandhie itu sangat gersang. ’’Kesadaran warga pun masih kurang. Saya harus pelan-pelan mengajaknya,” ungkap Cuk.

Peningkatan kesadaran warga itu dimulai saat Surabaya Green and Clean 2018 diadakan. Warga diajari menanam tumbuhan hidroponik. ’’Susah di awal. Tapi, di akhir hasilnya membanggakan,” ungkap Cuk.
Warga tidak lagi menanam hidroponik untuk tujuan lomba. ’’Lebih ke budi daya rumahan sendiri. Mandiri,” tambahnya.

Tak ayal, berjalan-jalan di Kampung Tambak Segaran serasa berada di pedesaan. Sesuai pula dengan namanya. ’’Saat ini kami mengikuti lomba Surabaya Smart City 2019. Doakan menang,” ungkapnya.

 

(*/c7/tia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *