Hergun : BBM Naik Semakin Memberatkan Rakyat Kecil

Heri Gunawan
Anggota DPR-RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan

SUKABUMI – Pemerintah telah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) per 3 September 2022. Harga BBM jenis Pertalite yang tadinya Rp7.650 per liter naik menjadi Rp10.000 per liter. Sementara Solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter. Adapun Pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.

Menanggapi hal tersebut, anggota DPR-RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menyatakan, kenaikan harga BBM akan semakin memberatkan rakyat kecil. Saat ini rakyat baru pulih dari dampak Pandemi Covid-19 dan daya belinya masih lemah.

Bacaan Lainnya

Politisi yang biasa disapa Hergun itu melanjutkan, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM perlu disalurkan secara menyeluruh dan merata kepada seluruh rakyat miskin dan kelompok rentan lainnya.

Saat ini pemerintah hanya mengalokasikan bansos tambahan sebagai pengalihan subsidi BBM sebesar Rp24,17 triliun. Bansos tersebut ditujukan untuk 20,65 juta keluarga miskin, 16 juta pekerja atau buruh, serta dana transfer umum Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk membantu angkutan umum, ojek, nelayan dan bansos tambahan.

“Bansos belum menyentuh pekerja informal seperti pelayan warteg, pelayan toko serta pembantu rumah tangga. Selain itu juga belum ada dukungan untuk pelaku usaha mikro seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan toko kelontong. Kelompok ini juga perlu diberi BLT agar mampu bertahan menghadapi dampak kenaikan BBM,” kata Hergun kepada awak media pada Minggu (4/9/2022)

Hergun juga mengingatkan, kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan membuyarkan upaya pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah perlu menghitung secara lebih cermat, detail, dan menyeluruh dengan memperhatikan segala aspek, terutama daya beli masyarakat.

“Kami memahami kesulitan yang saat ini dihadapi oleh pemerintah terkait dengan menipisnya kuota BBM bersubsidi. Namun, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan merupakan kebijakan yang tepat. Saat ini perekonomian sedang menggeliat pulih dari dampak Covid-19. Jika dihantam dengan kenaikan harga BBM, maka akan jatuh kembali,” tambahnya.

Ketua Poksi Fraksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR-RI membeberkan, biaya pemulihan ekonomi selama 3 tahun ini cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat dari angka defisit dan biaya bunga utang pada APBN selama 3 tahun ini. Pada 2020 realisasi defisit APBN mencapai Rp947,70 triliun. Lalu, pada 2021 mencapai Rp775,06 triliun. Dan, pada 2022 ditargetkan sebesar Rp840,2 triliun.

“Pembengkakan defisit mendorong peningkatan pembiayaan yang harus dibayar dengan kenaikan biaya bunga. Pada 2020 realisasi biaya bunga mencapai Rp314,09 triliun. Lalu, pada 2021 meningkat menjadi Rp343,5 triliun. Dan, pada APBN 2022 ditargetkan sebesar Rp405,9 triliun,” lanjutnya.

Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR-RI menyatakan, sejatinya pada Mei 2022 DPR-RI sudah menyetujui penambahan subsidi dan kompensai energi menjadi Rp502,4 triliun dari yang tadinya hanya Rp152,5 triliun.

Persetujuan tersebut didasari kenaikan harga minyak dunia yang mendorong kenaikan asumsi harga ICP (Indonesia Crude Price) dari USD63 per barel menjadi USD100 per barel. DPR-RI menyetujui penambahan subsidi dengan tujuan untuk menyelamatkan rakyat kecil dan UMKM yang baru pulih dari dampak Pandemi Covid-19.

“Kenaikan subsidi yang mencapai Rp502,4 triliun diharapkan mampu melindungi rakyat kecil dan pelaku UMKM agar terus pulih serta mampu tumbuh untuk memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional. Tujuan tersebut telah membuahkan hasil yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022 sebesar 5,44% (yoy),” katanya.

Ketua DPP Partai Gerindra itu berharap seiring dengan kenaikan harga BBM non subsidi idealnya segera dilakukan kebijakan pembatasan untuk mengantisipasi migrasi pengguna BBM non subsidi ke BBM bersubsidi. Sayangnya, pembatasan tersebut tidak segera dilakukan sehingga terjadi migrasi secara besar-besaran.

“Jika sejak awal sudah diterapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, kuota BBM bersubsidi tidak akan menipis seperti sekarang dan Pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM. Perlu diketahui, subsidi BBM jenis Pertalite 80% dinikmati oleh orang mampu, dan dari jumlah tersebut 60% dinikmati oleh orang sangat kaya. Sementara BBM jenis solar, rumah tangga miskin yang menikmati hanya 5%. Sedangkan 95% dinikmati oleh rumah tangga mampu,” tegasnya.

Ketua Poksi Fraksi Partai Gerindra di Badan Legislasi DPR-RI itu mengingatkan dampak buruk kenaikkan harga BBM. Dampak buruk tersebut antara lain akan melemahkan daya beli masyarakat.

“Penurunan daya beli masyarakat akan memukul perekonomian. Barang-barang di pasaran menjadi kurang laku yang pada akhirnya bisa mengurangi kapasitas produksi manufaktur. Pelaku usaha terutama UMKM yang sedang pulih bisa ambruk kembali. Akibatnya, PHK bisa melonjak kembali. Demikian juga angka pengangguran dan kemiskinan bisa bertambah lagi,” tegasnya.

Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) lalu menyampaikan beberapa solusi. Pertama, pemerintah perlu melakukan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Hanya orang-orang tidak mampu yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi. Sementara, orang-orang kaya harus mengonsumsi BBM non subsidi.

“Kemampuan orang-orang kaya tidak perlu diragukan lagi. Kelompok ini makin meningkat kekayaannya selama Pandemi Covid-19. Merujuk data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tiering nominal simpanan jumbo di atas Rp5 miliar tumbuh 14,2% (yoy) dan selama tiga tahun ini tumbuh 43,2%,” tambahnya.

“Lalu tiering nominal Rp2miliar-Rp5 miliar tumbuh 3,7% (yoy). Untuk tiering nominal Rp1-2 miliar tumbuh 3,4% (yoy). Dan, tiering nominal Rp500 juta hingga Rp1 miliar tumbuh 3,9% (yoy),” lanjutnya.

Hergun melanjutkan solusi kedua yaitu pemerintah perlu menghitung ulang harga keekonomian BBM bersubsidi secara tepat. Saat ini antar menteri berbeda dalam menyampaikan harga keekonomian BBM bersubsidi. Perbedaan ini bisa menimbulkan kebingunan publik dan berpotensi menimbulkan kesalahan dalam memberikan kompensasi kepada Pertamina.

“Dan ketiga, pemerintah perlu memperkuat program perlindungan sosial dan dukungan untuk pelaku UMKM. Hal tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan yang masih cukup besar yakni mencapai 9,54% per Maret 2022. Angka tersebut masih lebih besar dibanding sebelum Pandemi yang mencapai 9,22% per September 2019,” ujarnya.

“Windfall dari komoditas dan energi global bisa dijadikan sumber pendanaan program perlindungan sosial dan dukungan untuk pelaku UMKM. Setiap bulan pemerintah mengumumkan APBN mengalami surplus yang cukup besar. Surplus tersebut mengindikasikan Indonesia masih menikmati windfall harga komiditas dan energi global,” jelasnya

Menurut data, pada Januari 2022 surplus APBN mencapai Rp28,9 triliun, Februari surplus Rp19,7 triliun, Maret surplus Rp10,3 triliun, April surplus Rp103,1 triliun, dan Mei surplus Rp132,2 triliun. Lalu pada Juni surplus Rp73,6 triliun dan Juli surplus Rp106,1 triliun.

“Solusi keempat, pemerintah tidak perlu memberatkan Pemerintah Daerah dalam memberikan BLT kepada rakyat. Dana Pemda sudah terbatas untuk membangun daerah. Jika dikurangi untuk BLT BBM, maka akan mengorbankan rencana pembagunan yang sudah ditargetkan,” tambahnya.

Hergun juga mengingatkan pada 2022, Indonesia mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Pada kuartal I dan II 2022 sudah tercapai pertumbuhan sesuai target yakni masing-masing sebesar 5,01% dan 5,44%. Tugas selanjutnya ialah mencapai target rata-rata 5,17% pada kuartal III dan IV 2022. Target ini sulit tercapai jika daya beli masyarakat melemah, mengingat kontribusi konsumsi rumah tangga pada PDB mencapai 54,42%.

“Karena itu, untuk melindungi rakyat kecil dan pelaku UMKM serta untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi sesuai target, sebaiknya pemerintah menambah anggaran BLT agar distribusinya lebih merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat miskin dan kelompok rentan, serta tidak memberatkan Pemerintah Daerah,” pungkasnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *